FILSAFAT HUKUM PERADILAN ISLAM
FILSAFAT HUKUM PERADILAN ISLAM
Disusun Oleh; Mohammad Nuh
Perdais Semester I
A.
PENDAHULUAN
Islam sejak
awal mula kemunculannya merupakan agama yang melahirkan sebuah komunitas
masyarakat madani (civil society) di Madinah sebagai
contoh masyarakat berperadaban di muka bumi ini. Komunitas
masyarakat madani ini merupakan fase terpenting dibangunnya
prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebuah
peradaban baru dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun
berbagai tata cara praktis sebagai sumber keteladanan generasi-generasi
berikutnya.
Maka dikenallah Islam sebagai agama,
pemerintahan, politik dan hukum, sebab apa yang dibawa Islam, atau misi Islam
ialah memperbaiki umat manusia dalam segala aspek kehidupannya, baik urusan
keagamaan, urusan kemasyarakatan maupun urusan hukum dan peradilan. Oleh karena
itu, sudah barang tentu memerlukan pemerintahan, pegangan hukum yang adil dan
tegaknya kebenaran, juga memerlukan perlengkapan untuk mempertahankan agama dan
negara serta hak-hak individu dalam mencari keadilan. Sehubungan
dengan itu, Islam mempunyai beberapa pokok dan kaidah sebagai landasannya.[1] Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini antara lain meliputi kekuasaan
sebagai amanah, musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, prinsip peradilan,
prinsip perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan, prinsip ketaatan
rakyat.[2]
Islam tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada
orang yang bukan ahlinya. Bahkan Islam
mengancam, bahwa akan datang kehancuran bila suatu urusan telah diserahkan
kepada orang yang bukan ahlinya, apa lagi kaitannya dengan masalah keadilan dan
hukum. “Apabila satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya,
tunggulah saat kehancurannya” (HR. al-Bukhari).
Terlebih lagi kaitannya dengan penetapan hukum
suatu masalah yang disidangkan dalam sebuah peradilan. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat
an-Nisa ayat 58.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya; Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Peradilan tidak hanya diperlukan dalam rangka penegakan keadilan dan
pemeliharaan hak-hak individu dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi juga
peradilan diperlukan untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia dalam bingkai
amar ma’ruf nahi munkar. Begitu pula dengan proses peradilan yang harus
dilakukan menjadi sangat penting sebagai cara penguatan sistem peradilan bagi
masyarakat.
Pada dasarnya
masing-masing orang bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya.
Hal ini ditandaskan dalam surat at-Tahrim ayat 6 dengan redaksi sebagai
berikut;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ
لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.
Ini menandakan bahwa setiap kejahatan dan perselisihan adalah tanggung
jawab masing-masing. Menjaga stabilitas kehidupan manusia akan sulit tertangani apabila dilakukan oleh setiap individu, karena setiap
orang tidak mungkin dapat melakukannya dengan sempurna dan sesuai dengan hukum
yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya otoritas legislasi
dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya. Otoritas jurisdiksi
yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas dijelaskan oleh Al-Quran
Surat Al-Nisā’: 65.
فَلَا وَرَبِّكَ
لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا
فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya; Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Makalah ini
akan mencoba menjelaskan hakikat peradilan dalam islam, penerapan dan fungsinya
dalam kehidupan manusia, khususnya umat muslim. Untuk membatasi permasalahan,
penusil akan melakukan pembahasan sekitar peradilan dalam islam dengan tinjauan
filsafat hokum dengan sistematika penulisan sebagai berikut; Pendahuluan,
Pengertian Peradilan dalam Islam, Dasar Hukum dan metodologi Peradilan dalam
Islam, Peranan dan
fungsi peradilan dalam islam dan ditutup dengan
Kesimpulan dan Penutup.
B.
PENGERTIAN PERADILAN DALAM ISLAM
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenenai
perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti yang banyak, yaitu dewan
atau majlis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim
yang mengadili perkara; mahkamah perkara.[3]
Peradilan terkadang diartikan sama dengan pengadilan dan terkadang dikemukakan
pengertian yang berbeda. Sedangkan menurut istilah, peradilan adalah daya upaya
untuk mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan
menurut peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.[4]
Adapun
dalam islam, peradilan terambil dari kata qadla yang secara etimologi berarti menetapkan sesuatu dan menghukuminya. Adapun qadla menurut
istilah adalah memutuskan perselisihan yang terjadi pada dua orang yang
berselisih atau lebih dengan hukum Allah SWT.[5] Orang yang menjalankan
peradilan disebut dengan qadli atau disebut hakim. Disebut qadli karena
terambil dari wazan isim fa’ilnya lafadz qadla yang berarti orang yang
menetapkan hukum. Sedangkan disebut hakim karena qadli adalah orang yang
menjalankan hukum Allah terhadap orang yang berperkara. Kata hakim juga
disebutkan dengan jelas dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dengan redaksi sebagai berikut;
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد
ثم أخطأ فله أجر (رواه مسلم)
Dengan demikian, peradilan dimaksudkan untuk menetapkan
suatu perkara secara adil sesuai dengan ketentuan hukum yang bersumber dari
al-Qur’an dan hadits. Peradilan dalam islam diposisikan sejajar dengan
kepemimpinan (imamah) sebagai kewajiban yang bukan bersifat personal,
tetapi merupakan fardlu kifayah.[6]
Yakni kewajiban yang dapat gugur dengan adanya salah seorang dari kaum
muslimin yang mendudukinya. Artinya, jika ada beberapa orang yang memiliki
kemampuan untuk menjadi hakim kemudian tidak satupun yang mendudukinya
sekalipun pemimpin mengharapkannya, maka berdosalah semua orang karena tidak
ada yang mewakili kepentingan semua orang dalam mencari keadilan melalui
peradilan.
Pemimpin pun memiliki hak untuk memaksa seseorang yang
dianggap cakap dan mampu menjadi hakim dan tidak boleh mengangkat hakim dari
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu. Jika ada orang yang tidak
memiliki kemampuan menjadi hakim maka haram hukumnya menerima pengangkatan
menjadi hakim dan meminta jabatan itu. Bagi orang yang mampu menjadi hakim,
jika ia ditunjuk untuk menjadi hakim, maka tidak boleh menolak.
Dengan demikian, bidang peradilan merupakan hal penting
yang menjadi perhatian bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Karena pada
umumnya kewajiban yang bersifat sosial itu bertujuan untuk menjaga stabilitas
kehidupan sosial dan melindungi kewajiban personal dari setiap individu.
Sedangkan penetapan hukum dalam peradilan sebagai fardlu kifayah adalah
berdasarkan pada ijma’ ulama.[7] Masuk
dalam kategori fardlu kifayah karena termasuk kedalam upaya memerintahkan pada
kebaikan dan mencegah pada perbuatan munkar (amar ma’ruf nahi munkar).
Peradilan tidak hanya berarti menetapkan hukum antara
manusia dengan lainnya, tetapi juga berarti menetapkan sesuatu dengan hukum
syara’.[8] Artinya,
peradilan ini tidak hanya menyangkut perkara perselisihan yang bersifat perdata
saja, tetapi juga menyangkut hal-hal seperti pernikahan, pembunuhan, harta
benda dan lain sebagainya.[9]
Pada mulanya peradilan dalam islam dilakukan sendiri oleh
Nabi SAW. Beliau melakukannya atas dasar perintah Allah SWT sebagai Dzat yang
paling berhak menghukum manusia. Karena pada hakikatnya menetapkan hukum itu
adalah hak Allah sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya yang terdapat pada
surat al-An’am ayat 57 dengan redaksi sebagai berikut;
قُلْ
إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا
تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ
الْفَاصِلِينَ
Artinya; Katakanlah:
"Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (Al Qur'an) dari
Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab)
yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan
yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
Kemudian Allah memberikan otoritas peradilan kepada Nabi
SAW sebagai wakilnya di muka bumi untuk melakukannya karena beliau telah
melakukan peradilan dengan sebaik-baiknya seperti yang dijelaskan dalam surat
an-Nisa ayat 65. Tetapi setelah islam menyebar luas ke berbagai wilayah dan
daerah sekitar jazirah Arabia, maka disamping sebagai Rasul yang mempunyai
tugas untuk menyampaikan risalah dari Allah, juga sebagai pemimpin umat islam ketika
itu, beliau mengangkat qadli untuk daerah lain. Salah satu contohnya Ali
ibn Abi Thalib yang diangkat Nabi SAW untuk menjadi qadli di Yaman.
Berdasarkan pada apa yang dilakukan Nabi SAW tersebut,
para sahabatpun mengikuti apa yang telah dilakukan beliau sehingga menjadi
ijma’ umat islam ketika itu, bahwa yang berkewajiban mengangkat qadli adalah
pemimpin. Adapun yang berkewajiban mengangkat hakim atau qadli adalah
pemimpin atau pemerintah.
Jika demikian, maka yang mempunyai kewajiban memutuskan
masalah hukum sebenarnya adalah pemimpin. Namun karena pemimpin tidak mungkin
dapat melakukan putusan setiap permasalahan di berbagai daerah, maka ia wajib
mengangkat qadli sebagai wakil pemimpin dalam urusan peradilan di daerah
kekuasaannya. Adapun hukum untuk menjadi hakim bagi setiap orang adalah fardlu
kifayah. Hal ini karena kewajiban itu hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu
saja yang dianggap layak dan mampu menjadi wakil dari pemimpin dalam mengurusi
masalah peradilan.
C.
DASAR HUKUM DAN METODOLOGI
PERADILAN ISLAM
Adapun dasar hukum peradilan dalam islam adalah
al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama.[10] Dalil
peradilan dalam al-Qur’an para ulama biasanya menggunakan surat Shad ayat 26
yang berbunyi sebagai berikut;
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا
نَسُوا يَوْمَ الْحِسَاب
Artinya; Hai Daud, sesungguhnya
Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (QS Shad;26).
Ayat lain yang menjadi dasar peradilan dalam
islam adalah ayat 42 dari surat al-Maidah[11]
yang menjelaskan tentang perintah Allah atas Nabi SAW dalam menetapkan hukum
itu harus berasaskan pada keadilan sekalipun yang meminta keadilan itu adalah
orang Yahudi. Padahal dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang Yahudi yang datang
itu suka mendengar berita bohong dan suka memakan barang haram. Ibnu Abbas
menjelaskan kaitannya dengan hal ini bahwa orang Yahudi ketika menetapkan hukum
pada suatu perkara, mereka menerima pemberian (sogokan) dan menetapkan hukum
berdasarkan kebohongan.[12]
Berkaitan dengan keadilan, al-Qur’an
memerintahkannya tidak hanya pada masalah hukum saja, tetapi berhubungan dengan
seluruh aspek kehidupan manusia. Maka, keadilan ini menjadi asas dan prinsip
dalam setiap penetapan hukum tidak hanya sebatas pada penetapan dalam peradilan
saja.[13]
Hadits Nabi SAW yang dijadikan
dasar hukum pelaksanaan peradilan diantaranya hadits yang menceritakan tentang
Nabi SAW melakukan penetapan hukum dalam sebuah perselisihan dan mengangkat
wakil pemerintahan Nabi sekaligus untuk menyelesaikan berbagai sengketa
(menjadi qadli) untuk daerah lain seperti Ali ibn Abi Thalib yang
diutus untuk menjadi qadli di Yaman.[14]
Beberapa riwayat juga menunjukkan bahwa Nabi SAW menganggap penting
menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus
persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah meminta `Amr ibn al-`Ash
untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang
datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda
kepada `Amr: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amr.”
Maka `Amr merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya
sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”[15]
Dan masih banyak riwayat hadits yang
menjelaskan tentang hal serupa yang dilakukan Nabi terhadap sahabat-sahabat
beliau. Ini menandakan bahwa peradilan dalam islam sangat penting untuk
mewujudkan keadilan dan kemaslahatan sebagai upaya melindungi hak dan kewajiban
individu, kelompok dan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan
asas, prinsip dan tujuan dari hukum islam itu sendiri. Dengan adanya peradilan
dalam islam kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu pun terlindungi,
persamaan hak setiap individu didepan hukum maupun dalam kehidupan sosial
terjaga, dan jaminan sosial bagi setiap individu dan masyarakat dapat
terwujudkan.
Kaitannya dengan dasar hukum lainnya, yakni ijma’ ulama, dijelaskan
bahwa Abu Bakar (Khalifah pertama) mengutus Anas bin Malik menjadi qadli di
Bahrein, sedangkan Umar ibn al-Khattab mengutus Abu Musa al-Asy’ary menjadi qadli
di Bashrah, dan Abdullah ibn Mas’ud di Kufah.[16]
Tidak ada seorang ulama dari suatu madzhab manapun yang mengingkari adanya
peradilan dan urgensinya dalam kehidupan manusia. Semua ulama fiqih dalam
kitabnya menjelaskan bahwa peradilan (qadla) adalah kesepakatan ulama
(ijma’) yang berdasarkan pada al-Qur’an dan peristiwa sejarah yang hidup
melalui perbuatan para sahabat Nabi SAW dan hadits Nabi sendiri.
Peradilan dalam islam merupakan upaya hukum dalam menemukan hakikat
kebenaran atas perselisihan atau sengketa dan permasalahan hukum lainnya baik
menyangkut masalah perdata maupun pidana untuk memutuskan perkara hukumnya.
Dalam pelaksanaan peradilan islam selalu berpegangan teguh pada al-Qur’an dan
hadits, sehingga putusan dari hasil peradilan merupakan
implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi,[17]
dan dalam memutuskan perkara hukumnya pun tidak akan terlepas dari aturan
hukum menurut al-Qur’an dan hadits, seperti keputusan Nabi SAW terhadap kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang perempuan dari Bani
Makhzum dengan pemotongan
tangan, sebagai pelaksanaan atas kandungan ayat
QS. Al-Ma’idah ayat
38.[18]
Namun, islam bukan merupakan agama yang menutup peran serta akal untuk
menemukan prinsip kebenaran dalam setiap aspek kehidupan manusia. Sekalipun
demikian, islam juga tidak berarti menyerahkan semua persoalan pada akal. Dalam
hal ini, akal digunakan untuk sebatas membantu menemukan kebenaran yang tidak
secara eksplisit atau dijelaskan secara gradual oleh wahyu.
Hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Nabi SAW ketika memutuskan suatu
perkara dengan ijtihad beliau dalam beberapa hal yang tidak terdapat nash-nya
secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan
kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya
ketika keduanya bercerai.[19]
Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan secara
lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri ketika memberikan putusan
kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW
bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا
أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya
aku memutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang
diturunkan kepadaku”.[20]
Kaitannya dengan metode pengambilan keputusan dengan menggunakan ijtihad secara lebih
jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah
seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya:
“Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”.
“Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz.
Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam
Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut
Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak
ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah,
bagaimana?” Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya
saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.” Mendengar jawaban itu,
Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah,
kepada apa yang diridlainya.”[21]
Peradilan dalam islam memiliki prinsip ketauhidan sebagai prinsip umum
hukum islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu
ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha
Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman
Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam termasuk peradilan merupakan ibadah. Namun,
sekalipun peradilan itu ibadah, bukan berarti setiap orang bisa menjadi hakim
atau qadli sebagai pelaksana peradilan. Ketentuan pengangkatan hakim
atau qadli diatur sedemikian rupa. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya kekeliruan yang besar jika peradilan dilakukan oleh orang tidak
berilmu.
Prinsip ketauhidan dalam peradilan dapat terlihat pada setiap proses dan
pelaksanaan hingga pada hasil putusannya. Dalam proses peradilan islam
al-Qur’an adalah sebagai sumber utama dalam setiap mengambil keputusan hukum,
kemudian diikuti oleh hadits Nabi dan selanjutnya ijtihad. Oleh sebab itu,
seorang hakim atau qadli harus berpredikat mujtahid. Hal ini sejalan
dengan hadits Nabi yang dijelaskan oleh al-Nawawi tentang hakim yang berijtihad
jika benar maka ia memperoleh dua pahala dan jika keliru ia hanya dapat satu
pahala.[22]
Beliau menjelaskan bahwa hakim yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah hakim
yang faqih dan ahli di dalam hukum. Hakim yang demikian memperoleh pahala dari
hasil ijtihadnya dan dari kebenaran keputusannya. Dan jika keputusannya itu
keliru, maka hanya memperoleh pahala dari ijtihadnya saja.[23]
Adapun orang yang tidak berilmu dan tidak ahli dalam hukum, maka hukumnya
haram menetapkan hukum, dan jika ia menetapkan suatu hukum maka ia berdosa dan
hukumnya tidak bisa dianggap sekalipun hasil penetapannya itu benar. Inilah
yang dimaksudkan dalam hadits Nabi SAW[24]
berikut;
القضاة ثلاثة، قاضيانِ في النارِ
وقاضٍ في الجنةِ. فأما الذي في الجنةِ فرجلٌ عرفَ الحقَّ وقضَى بهِ، واللذانِ في النارِ
رجلٌ عرفَ الحقَّ فجارَ في الحقِّ، ورجلٌ قضى للناسِ على جهلٍ
Oleh sebab itulah para ulama menetapkan syarat secara ketat bagi hakim atau
qadli. Karena jika tidak ditentukan syarat akan dikhawatirkan semua
orang berkeinginan menduduki posisi menjadi hakim karena kemudahan syaratnya.
Jika semua orang dapat dengan mudah menjadi hakim sekalipun dari orang yang
tidak mengerti hukum, maka yang terjadi adalah kekacauan hasil keputusan yang
tidak dapat memunculkan rasa keadilan bagi setiap orang yang sedang mencari
keadilan. Dengan demikian maka hukum peradilan islam telah lepas dari prinsip
dasar hukum islam itu sendiri yang mengedepankan prinsip ketauhidan dan prinsip
keadilan.
Keluar dari prinsip ketauhidan karena dalam menetapkan dan memutuskan suatu
perkara hukumnya tidak berdasar pada perintah Allah dan bahkan menyalahi
perintahNya tentang menghukumi dengan hukum Allah,[25]
memutuskan hukum dengan benar (hak)[26]
dan dengan adil.[27]
Kemudian keluar dari prinsip keadilan karena keputusan hukum yang dihasilkan
tidak berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana memperlakukan orang yang sedang
berperkara dan memutuskan hukum tanpa didasari oleh pengetahuan tentang konsep
keadilan Tuhan yang terdapat dalam aturan hukum syari’at islam.
Syarat menjadi hakim harus memenuhi tiga kriteria, pertama; yang
berkaitan dengan kecakapan dalam bertindak di hadapan hukum menurut islam.
Syarat hakim dalam hal ini harus beragama islam, baligh, berakal dan merdeka
(bukan hamba sahaya).[28]
Kedua; yang berkaitan dengan kecakapan khusus dalam mempertanggung
jawabkan validitas kebenaran dalam mengemban amanat. Seorang hakim harus orang
yang ‘adil (bukan orang fasiq), tujuannya adalah untuk menjaga
nilai-nilai kejujuran dalam menentukan keputusan yang adil. Hakim juga harus
bisa berbicara dengan baik dan jelas, bisa mendengar dan melihat dengan
sempurna, bisa menulis, dan tajam ingatannya.[29]
Tujuannya adalah supaya seorang hakim dapat memutuskan setiap perkara dengan
sempurna. Seluruh ulama bersepakat bahwa laki-laki menjadi syarat untuk menjadi
hakim karena kesempurnaannya dalam mendapatkan hak kepemimpinan. Sedangkan
perempuan tidak memiliki kesempurnaan itu. Sekalipun demikian, ada beberapa ulama
yang memperbolehkan perempuan menduduki jabatan hakam. Imam Hanafi membolehkan
perempuan menjabat sebagai hakim untuk hukum perdata (selain dari jinayat
seperti pelanggaran terhadap jinayah hudud), sedangkan Ibnu Jarir membolehkan
perempuan menduduki jabatan sebagai hakim secara mutlak.[30]
Ketiga, kecakapan khusus dalam
menentukan hukum suatu masalah dengan berijtihad. Syarat ini sebenarnya
merupakan syarat bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Persyaratan ini
ada karena seorang hakim dalam memutuskan perkara hukum harus berdasarkan hukum
islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Nabi. Jika ada masalah baru yang
hukumnya tidak terdapat pada keduanya, maka hakim harus berijtihad. Oleh karena
itulah seorang hakim sebaiknya adalah seorang mujtahid, atau setidaknya sebagai
orang yang mengetahui tata cara ijtihad dengan baik sekalipun tidak masuk dalam
kategori mujtahid mutlak.
Ulama bersepakat bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan dalam
berijtihad. Adapun persyaratan yang ketiga ini mencakup; mengetahui hukum-hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits melalui jalan ijtihad, sekalipun tidak
disyaratkan dan tidak dituntut hafal terhadap semua ayat-ayatnya atau
hadits-haditsnya, mengetahui ijma’ dan perbedaan pendapat para ulama, termasuk
pendapatnya para sahabat atau yang dikenal dengan qaul shahaby, khususnya
yang berkaitan dengan masalah hukum yang telah difatwakan.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Abu Ali al-kalabisy, salah satu murid Imam
Syafi’i yang menjelaskan bahwa tidak ditemukan perbedaan pendapat diantara para
ulama bahwa orang yang paling berhak memutuskan perkara diantara orang-orang
muslim ialah orang yang tampak jelas kelebihannya, kejujurannya, keilmuannya,
kewara’annya, rajin mengaji al-Qur’an, mengerti sebagian besar hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya, memahami sunnah-sunnah Rasul SAW dan hafal sebagian
besar sunnah beliau, demikian pula dengan mayoritas perkataan sahabat. Kemudian
seorang hakim juga hendaknya dari orang yang cerdas dan tidak memperhatikan
tuntutan hawa nafsu.[31]
Hakim juga dituntut mengetahui ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, ‘am, khash,
mutlak, muqayad, mujmal, mubayan, nash, dzahir, nasikh dan mansukh. Begitu juga
mengetahui tentang macam-macam hadits dan kualitasnya berdasarkan pada proses
periwayatannya.[32]
Dengan demikian, seorang hakim dapat memutuskan suatu perkara dengan hasil
ijtihadnya berdasarkan metodologi ijtihad yang benar dan menjaga nilai-nilai
keadilan karena menetapkan dan memutuskan hukum yang berdasarkan pada hukum
Allah sebagai Tuhan yang Maha Adil. Hasilnya pun terjaga dari putusan yang
berdasarkan nafsu amarah yang jelas-jelas dilarang Allah dan oleh Nabi-Nya.
Salah satu hal yang memberi petunjuk kita tentang asas
dasar berkenaan dengan persoalan pokok ini ialah isi surat Umar ibn al-Khattab,
khalifah kedua dari al-khulafa al-rasyidun kepada Abu Musa al-Asy’ari, gubernur
di Basrah, Irak:
“Sesungguhnya
menegakkan hukum (al-qadla) adalah suatu kewajiban
yang pasti dan tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika
sesuatu diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya berbicara
mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan. Bersikaplah ramah antara
sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majelismu, sehingga seorang yang berkedudukan
tinggi (syarif)
tidak sempat berharap akan keadilanmu. Memberi bukti adalah wajib atas orang
yang menuduh, dan mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari
(tuduhan). Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai) diperbolehkan
diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram
dan mengharamkan hal yang halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk
kembali pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau putuskan
kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau
mendapat petunjuk kearah jalanmu yang lebih benar; sebab kebenaran itu tetap
abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan
dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam
dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah, kemudian temukanlah
segi-segi kemiripan dan kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang
berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang paling mirip dengan yang
benar. Untuk orang yang mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang
waktu yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia berhasil datang
membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan haknya.
Tetapi jika tidak, maka anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya,
sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan lebih jelas
dari ketidakpastian (al-a’ma, kebutaan, kegelapan)…
Barang siapa telah benar niatnya kemudian teguh memegang pendiriannya, maka
Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang
banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu
yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya (tidak tulus), maka Allah akan
menghinakannya …”[33]
Pada dasarnya proses peradilan dalam islam itu berdasarkan pada asas
kesederhanaan. Sehingga tidak terjadi proses peradilan yang berkepanjangan.
Namun meskipun proses peradilan ini berdasarkan pada asas kesederhanaan, ketika
terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran, seorang
hakim dalam mengambil sebuah keputusan hukum harus mempertimbangkan pengaduan
dari kedua belah pihak. Seorang hakim tidak boleh mengambil keputusan kecuali
setelah sang pengambil keuputusan (qadli) mendengarkan pengaduan dari
kedua belah pihak secara sempurna hingga tidak ada lagi keraguan tentang
kebenaran yang sesungguhnya.
عن علي قال :
قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى
تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang
kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri
putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari
orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”[34]
Dalam memutuskan suatu perkara hukum, harus disertakan alat pembuktian dari
setiap orang yang berperkara. Adapun alat bukti yang dimaksud dalam peradilan
islam adalah fakta kebenaran yang dikenal dengan nama bayinah, sumpah,
saksi, bukti tertulis dan pengakuan. Kaitannya dengan bukti dan sumpah
dijelaskan dalam
sebuah hadits dari Ibn
`Abbās Nabi SAW bersabda;
لو يعطى الناس
بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من
انكر
“Seandainya
diberikan kepada manusia apa-apa yang
mereka gugat, maka
orang-orang akan menggugat harta-harta
atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti itu didatangkan dari orang yang menggugat
dan sumpah itu didatangkan atas orang
yang tergugat”.[35]
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari
putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara
langsung. Kesimpulan
ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan
persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya.
Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan
separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan
putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri
wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[36]
Dalam Islam, selain istilah qadla’ (yang berarti peradilan secara
umum) dikenal pula istilah Hisbah, al-Madzalim dan Tahkim.
Hisbah merupakan istilah untuk sebuah peradilan yang berfungsi dalam
“memerintahkan hal-hal yang baik (ma`ruf) ketika hal yang baik itu telah
mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika hal itu banyak
dikerjakan”.[37]
Dalam perkembangan system peradilan Islam, hisbah dikenal sebagai sebuah
lembaga dengan petugasnya yang disebut dengan muhtasib. Hisbah bertugas
untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak
istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang
mungkin dikerjakan. Hisbah merupakan tugas yang menjadi kewajiban bagi
pemimpin dengan mengangkat orang yang dianggap cakap.
Lembaga yang disebut hisbah ini berdasarkan pada perbuatan
Nabi SAW. Sebagaimana
diriwayatkan, bahwa beliau senantiasa
memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat
berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai setumpuk makanan dijual di pasar Madinah. Makanan yang dijajakkan itu
tampak sangat menarik, tetapi setelah beliau memasukkan tangannya ke dalam
makanan itu, maka tampaklah kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang
makanan itu dengan menyembunyikan makananyang buruk dibawah makanan yang baik.
Kemudian Nabi SAW mengangkat beberapa orang petugas untuk memperhatikan keadaan
pasar. Beliau mengangkat Sa’id ibn ‘Ash ibn Muawiyah.[38]
Madzalim adalah suatu kekuasaan
dalam bidang pengadilan yaang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan muhtashib.
Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang
hakim biasa. Lembaga ini memeriksa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa
termasuk didalamnya hakim, atau anak-anak penguasa. Lembaga ini merupakan
pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari kedzaliman para penguasa baik
dalam kebijakannya maupun dalam tugas kepemimpinannya. Peradilan ini dilakukan
karena adanya unsur kesulitan bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Di
zaman Nabi SAW masih hidup, maka beliau sendiri yang melakukan penyeleaian
terhadap segala macam pengaduan terhadap kedzaliman para pejabat.[39]
Adapun tahkim secara bahasa dipahami sebagai menyerahkan pada
seseorang dan menerima putusaan itu. Sedangkan menurut istilah adalah
pengangkatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih terhadap seseorang untuk menyelesaikan
sengketa dan mengadilinya dengan menerapkan hukum syara’ atas sengketa mereka
itu. Keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat kepada orang yang bersengketa.
Tahkim tidak memiliki kekuatan hukum apapun dan dapat ditarik kembali
oleh pihak yang berperkara jika muhakkam belum memutuskan perkaranya.
Biasanya hal ini dilakukan dalam persengketaan kecil dan orang yang bersengketa
itu memandang tidak perlu untuk mengadukan perkara mereka kepada hakim yang
harus mereka turuti putusannya. Persengketaan yang boleh dilakukan dalam tahkim
hanya pada persoalan perdata yang bersifat kebendaan. Sedangkan dalam
persoalan pidana, talak dan nikah tahkim tidak diperbolehkan.[40]
D. PERANAN DAN FUNGSI PERADILAN ISLAM
Dalam Islam
peradilan merupakan sebuah system. Selain mencakup proses
peradilan dan arbitrasi yang
mencakup permasalahan hukum sosial pada
umumnya seperti pidana dan perdata, juga berkaitan dengan sistem
peradilannya itu sendiri. Adapun peranan dari
peradilan itu sendiri adalah untuk melaksanakan perintah Allah sebagai lembaga
legal yang diamanatkan oleh pemimpin dalam menjalankan Amar ma’ruf Nahi
munkar.
Dan fungsi peradilan itu sendiri adalah untuk menyelesaikan persengketaan antara dua orang
atau lebih dengan menampakkan hukumnya untuk diputuskan. Dalam hal ini hakim
hanya menerapkan hukum yang telah ada sebelumnya terhadap kasus yang
disidangkan. Artinya, hakim tidak menetapkan hukum sesuatu yang belum ada. Fungsi
peradilan lainnya adalah untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman
masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum, penegakan keadilan sekaligus menciptakan rasa keadilan dan menjamin
kemaslahatan umat secara umum dan umat muslim khususnya dengan tetap tegaknya hukum Islam. Menciptakan rasa keadilan karena dengan peradilan setiap orang
diperlakukan sama didepan hukum, tidak terkecuali orang yang memegang kekuasaan
dalam kepemimpinan negara.
Dalam peradilan setiap orang yang ditetapkan bersalah ditetapkanlah ia
sebagai orang yang bersalah, begitu pula kaitannya dengan kasus perdata, setiap
orang yang kalah dalam mempertahankan hak atau tuntutannya, maka ia tidak akan
memperoleh hak kepemilikan atas yang disengketakannya. Peristiwa Ali bin Abi
Thalib sebagai contohnya, padahal ketika itu beliau adalah seorang khalifah.
Dengan asas kesederajatan dimuka hukum, beliau duduk berdampingan dengan
seorang Yahudi yang digugatnya karena mengakui kepemilikan atas baju besi milik
Ali bin Abi Thalib. Ketika itu beliau tidak menuduh orang Yahudi itu mencuri,
karena memang beliau telah menghilangkannya dalam suatu peperangan dengan
kelompok Muawiyah. Apalagi tidak ada bukti bahwa Yahudi itu telah melakukannya.
Hakim memutuskan kemenangan atas Yahudi karena ali bin Abi Thalib tidak mampu
mendatangkan dua orang saksi yang benar. Ketika itu, beliau menunjuk Qunbur
budaknya dan Hasan putranya sebagai saksi. Karena Hasan adalah putranya, maka
hakim yang ketika itu dijabat oleh Syuraikh memutuskan bahwa baju besi itu
adalah milik Yahudi tersebut.[41]
Melalui peradilan, hak setiap orang terjamin dan terlindungi, kebebasan
setiap individu terjaga, dan keseimbangan dalam kehidupan sosial pun terwujud.
Atau lebih tepatnya untuk terjaminnya kemaslahatan manusia dalam upaya
memperoleh perlindungan secara hukum dalam menjaga kebebasan beragama, jiwa,
harta, akal dan kehormatan, serta keturunan.
E. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Peradilan merupakan
perintah Allah SWT kepada umat manusia unuk melindungi hak-hak manusia dalam
menjalani kehidupannya di dunia sehingga kemaslahatan hidup baik di dunia
maupun di akhirat kelak dapat diperoleh. Peradilan sangat diperlukan dalam
rangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat yang terkadang
mengalami perselisihan atau persengketaan. Begitu pula dengan proses peradilan yang harus
dilakukan menjadi sangat penting sebagai cara penguatan sistem peradilan bagi
masyarakat Negara.
peradilan dimaksudkan untuk menetapkan suatu
perkara secara adil sesuai dengan ketentuan hukum yang bersumber dari al-Qur’an
dan hadits. Peradilan dalam islam diposisikan sejajar dengan kepemimpinan (imamah)
sebagai kewajiban yang bukan bersifat personal, tetapi merupakan fardlu
kifayah. Yakni kewajiban yang dapat gugur dengan adanya salah seorang dari
kaum muslimin yang mendudukinya. Artinya, jika ada beberapa orang yang memiliki
kemampuan untuk menjadi hakim kemudian tidak satupun yang mendudukinya sekalipun
pemimpin mengharapkannya, maka berdosalah semua orang karena tidak ada yang
mewakili kepentingan semua orang dalam mencari keadilan melalui peradilan.
Namun, Islam tidak membiarkan begitu saja terhadap
peran peradilan yang begitu penting itu kepada orang yang bukan ahlinya. Ditetapkanlah
syarat khusus bagi orang yang menginginkan posisi itu, dengan harapan hukum
yang diputuskan nanti merupakan hukum yang benar-benar mewakili kebenaran Allah
dan tidak berdasarkan hawa nafsu syahwat manusia. Islam sangat melarang seorang
hakim menerima suap, bahkan hadiah dari orang yang berperkara.
Melalui prinsip-prisip hukum dalam peradilan
islam menunjukkan bahwa peradilan merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh
oleh semua manusia dengan tidak memandang dari golongan tertentu saja, berbeda
agama sekalipun, peradilan islam menganggap sederajat kepada para pihak. Itulah
hakikat dari peradilan yang sesungguhnya.
Peranan dari peradilan itu adalah untuk melaksanakan perintah Allah sebagai
lembaga legal yang diamanatkan oleh pemimpin dalam menjalankan Amar ma’ruf
Nahi munkar. Sedangkan fungsi peradilan adalah untuk menyelesaikan persengketaan antara dua orang
atau lebih dan memutuskan hukum atasnya. Intinya, peradilan itu bertujuan untuk
menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya
hukum, penegakan keadilan sekaligus menciptakan rasa keadilan
dan menjamin kemaslahatan umat secara umum dan umat muslim khususnya dengan tetap tegaknya hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Rasyid
Ridla, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,
Cet. 1, thn.1983)
Muhammad Thahir
Azhari, Negara Hukum: Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, thn.1987)
Depdikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Renika Cipta), hal. 7
Zaini Ahmad
Nuh, Hakim Agama dari Masa ke Masa (Jakarta: Munas Ikaha, cet. 1,
thn.1995,)
Muhammad ibn Ahmad
al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,(Bairut; Dar
al-Kutub al-‘ilmiyah, Juz 2, thn. 1998)
Muhyiddin Yahya ibn Syarf, Raudlah al-Thalibin wa
‘Umdah al-Muftin,(Bairut, Dar al-Fikr,Juz 9,thn.1994)
Ahmad ibn Ahmad al-Qalyuby,Hasyiyah al-Qalyuby wa
‘Amirah,(Bairut;Dar al-Fikr,Juz 4,thn. 1998)
Muhammad ibn Habib al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir fi
al-Fiqh al-Islami,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,Juz 20,tanpa tahun)
Muhammad ibn Jarir al-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
al-Qur’an,(Bairut; al-Ma’rifah, Juz 6,thn. 1990)
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;LPPM
Unisba, thn. 1995)
Muhammad ibn Ahmad Syamsuddin al-Suyuthi,Jawahir
al-‘Uqud wa Mu’ayyan al-Qadlah wa al-Muwaqqi’in wa al-Syuhud,(Bairut;Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah,Juz 2,thn. 1996)
Ahmad Ibn Hanbal,Musnad al-Imam Ahmad,(Bairut;Dar
Ihya al-Turats al-‘araby,juz 5,tanpa tahun)
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby,al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an; Tafsir al-Qurthuby,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,juz
6,tanpa tahun)
Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy`ats
al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Bairut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi,juz
6,tanpa tahun)
Abu Zakaria Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh al-Nawawi ‘ala
Shahih Muslim,(Bairut;Dar al-Fikr,juz 12,thn. 1995)
Muhammad bin Isma’il al-Shan’any,Subul al-Salam,(Bairut;Dar
al-Fikr,Juz 4,thn. 1995)
Ibnu Hajar Ahmad ibn Ali al-Asqalany,Fath al-Bary
Syarh al-shahih al-Bukhary,(Bairut;Dar al-Fikr,juz 15,thn. 1993)
Abu Hasan Ali bin Umar al-Daruquthny,Sunan
al-Daruquthny,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,juz 4,thn. 2003)
Muhammad ibn Isa Abu Isa
al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi,(Bairut; Dar al-Kutub al-ilmiyah, juz
4,thn. 1994)
Ali bin Muhammad al-Mawardy,al-Ahkam al-Sulthaniyah wa
al-wilayah al-Diniyah,(Bairut,Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tanpa tahun)
Teuku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy,Peradilan dan Hukum
Acara Islam,(Semarang,PT Pustaka Rizki Putra,cet. 2,Edisi 2,thn. 2001)
[1]
Muhammad Rasyid Ridla, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, Cet. 1, thn.1983), hlm. 461. Selanjutnya disebut
Rasyid Ridla,Wahyu Ilahi.
[2] Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum: Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, thn.1987), hlm. 79.
Selanjutnya disebut Azhari,Negara Hukum.
[3]
Depdikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Renika Cipta),
hal. 7
[4] Zaini Ahmad
Nuh, Hakim Agama dari Masa ke Masa (Jakarta: Munas Ikaha, cet. 1,
thn.1995,), hal. 15. Selanjutnya disebut Zaini,Hakim Agama.
[5] Lihat Muhammad ibn Ahmad al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi
Syuja’ Hasyiyah,(Bairut; Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, Juz 2, thn. 1998), hlm.
602. Selanjutnya disebut al-Syarbini,al-Iqna’.
[6] Lihat Muhyiddin Yahya ibn Syarf, Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdah
al-Muftin,(Bairut, Dar al-Fikr,Juz 9,thn.1994),hlm. 263. Selanjutnya
disebut Muhyiddin,Raudlah.
[8] Lihat Ahmad ibn Ahmad al-Qalyuby,Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Amirah,(Bairut;Dar
al-Fikr,Juz 4,thn. 1998),hlm. 296. Selanjutnya disebut al-Qalyuby,Hasyiyah
al-Qalyuby.
[9] Lihat al-Qalyuby,Hasyiyah al-Qalyuby,hlm. 297.
[10] Lihat Muhammad ibn Habib al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir fi al-Fiqh
al-Islami,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,Juz 20,tanpa tahun),hlm. 53. Selanjutnya
disebut al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir.
وَإِنْ حَكَمْتَ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين
Artinya; Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang adil.
[12] Lihat Muhammad ibn Jarir al-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an,(Bairut;
al-Ma’rifah, Juz 6,thn. 1990), hlm. 154. Selanjutnya disebut al-Thabary,Jami’
al-Bayan.
[13] Lihat Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;LPPM Unisba, thn.
1995),hlm. 69. Selanjutnya disebut Juhaya,Filsafat.
[14] Muhammad ibn Ahmad Syamsuddin al-Suyuthi,Jawahir al-‘Uqud wa Mu’ayyan
al-Qadlah wa al-Muwaqqi’in wa al-Syuhud,(Bairut;Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah,Juz 2,thn. 1996),hlm. 280. Selanjutnya disebut al-Suyuthy,Jawahir
al-‘Uqud.
[15] Ahmad Ibn Hanbal,Musnad al-Imam Ahmad,(Bairut;Dar Ihya al-Turats
al-‘araby,juz 5,tanpa tahun),hlm. 233. Selanjutnya disebut Ahmad,Musnad.
[17]Setiap perkara hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an selalu disertakan saksi
jika akan diperkarakan, baik yang menyangkut masalah pidana maupun perdata.
Begitu pula dalam hadits, secara jelas menuturkan tentang bukti dan saksi
terhadap suatu peristiwa hukum jika ingin disidangkan dan berdasarkan dari
keduanyalah suatu persengketaan hukum dapat ditetapkan di depan sidang.
[18] Nabi SAW memutuskan
hukum potong tangan terhadap al-Khiyar ibn ‘Adi dan seorang perempuan dari Bani
Makhzum yang bernama Murrah binti Sufyan. Lihat Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby,al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an; Tafsir al-Qurthuby,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,juz
6,tanpa tahun),hlm. 159. Selanjutnya disebut al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthub.
Redaksinya sebagai berikut:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[19] Lihat Abu Dawud
Sulaiman ibn al-Asy`ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Bairut, Dar Ihya
al-Turats al-`Arabi,juz 6,tanpa tahun), hlm. 371. Selanjutnya disebut Abu
Dawud,Sunan.
[20] HR Abu Dawud ,Sunan,Juz 9, hlm. 503.
[22]Berikut ini adalah redaksi haditsnya;
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم
أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
[23] Abu Zakaria Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim,(Bairut;Dar
al-Fikr,juz 12,thn. 1995),hlm. 12. Selanjutnya disebut Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh
al-Nawawi.
[24] Hadits ini merupakan hadits populer tentang kategorisasi hakim. Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Imam Nasaiy, Ibnu Majjah, Abu Dawud, Turmudzi, Hakim
dan Baihaqy. Lihat al-syarbiny,al-Iqna’,Juz 2,hlm. 601.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
[26]QS Shad ayat 26 dengan redaksi sebagai berikut;
يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق
وإذا حكمتم بين الناس
أن تحكموا بالعدل
[28] Lihat Al-Syarbiny,Al-iqna’,juz 2, hlm. 602.
[29] Lihat Al-Syarbiny,Al-iqna’,juz 2, hlm. 607.
[30] Lihat Muhammad bin Isma’il al-Shan’any,Subul al-Salam,(Bairut;Dar
al-Fikr,Juz 4,thn. 1995),hlm. 1923. Selanjutnya disebut al-Shan’any,subul
al-Salam.
[31] Ibnu Hajar Ahmad ibn Ali al-Asqalany,Fath al-Bary Syarh al-shahih
al-Bukhary,(Bairut;Dar al-Fikr,juz 15,thn. 1993),hlm. 45. Selanjutnya
disebut al-Asqalani,Fath al-Bary.
[33] Abu Hasan Ali bin Umar al-Daruquthny,Sunan al-Daruquthny,(Bairut;Dar
al-Kutub al-‘ilmiyah,juz 4,thn. 2003),hlm. 132. Selanjutnya disebut
al-Daruquthny,Sunan al-Daruquthny.
[34] Muhammad ibn Isa Abu Isa
al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi,(Bairut; Dar al-Kutub al-ilmiyah, juz
4,thn. 1994),hlm. 465. Selanjutnya disebut al-Tirmidzi,Sunan al-Tirmidzi.
[35]HR Muslim. Lihat Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh
al-Nawawi,juz 12, hlm. 3. Hadits senada yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dengan redaksi sebagai berikut;
أنَّ رَسُولَ الله
صلى الله عليه وسلّم قَضَى بالْيَمِينِ عَلَى المُدَّعَى عَلَيْهِ
حدثنا
أَحْمدُ بنُ صالحٍ أخبرنا ابنُ وَهْبٍ أخبرني يُونُسُ عن ابن شِهَابٍ قَالَ أخبرني
عبْدُ اللهِ بنُ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بنَ مَالِكٍ ، أَخْبَرَهُ «أَنَّهُ
تَقَاضَى ابنَ أبى حَدْرَدٍ دَيْناً كَانَ لَهُ عَلَيْهِ في عَهْدِ رسُولِ اللهِ صلى
الله عليه وسلّم في المَسْجِدِ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُما حَتَّى سَمِعَهَا (سَمِعَهُمَا)
رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلّم حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ
بنَ مَالِكٍ فقالَ يَا كَعْبُ، فقالَ (قالَ) لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ الله، فَأَشَارَ
لَهُ (إليهِ) بِيَدِهِ أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ. قَالَ كَعْبٌ: قَدْ فَعَلْتُ
يَا رَسُولَ الله. قالَ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلّم: قُمْ فَاقْضِهِ
[37] Ali bin Muhammad al-Mawardy,al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-wilayah
al-Diniyah,(Bairut,Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tanpa tahun),hlm. 298.
Selanjutnya disebut al-Mawardy,al-Ahkam al-Sulthaniyah.
[38] Teuku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy,Peradilan dan Hukum Acara Islam,(Semarang,PT
Pustaka Rizki Putra,cet. 2,Edisi 2,thn. 2001),hlm. 97. Selanjutnya disebut M.
Hasby,Peradilan dan Hukum.
[39] M. Hasby,Peradilan dan Hukum,hlm. 92-94
[40] M. Hasby,Peradilan dan Hukum,hlm. 81-85
[41] Lihat al-Shan’any,Subul al-Salam,juz 4,hlm. 1926 dengan redaksi
sebagai berikut;
والحديث دليل على شرعية قعود الخصمين بين يدي الحاكم،
ويسوّي بينهما في المجلس ما لم يكن أحدهما غير مسلم، فإنه يرفع المسلم كما في قصة عليّ
عليه السلام مع غريمه الذي عند شريح، وهي ما أخرجه أبو نعيم في الحلية بسنده قال:
«وجد علي بن أبي طالب
رضي الله تعالى عنه درعاً عند يهودي التقطها فعرفها فقال: درعي سقطت عن جمل لي أورق
فقال اليهودي: درعي وفي يدي، ثم قال اليهودي: بيني وبينك قاضي المسلمين، فأتوا شريحاً
فلما رأى علياً قد أقبل تحرف عن موضعه وجلس على فيه ثم قال علي: لو كان خصمي من المسلمين
لساويته في المجلس لكني سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقول: «لا تساووهم
في المجلس» وساق الحديث. قال شريح: ما تشاء يا أمير المؤمنين قال: درعي سقط عن جمل
لي أورق فالتقطها هذا اليهودي. قال شريح: ما تقول يا يهودي؟ قال: درعي وفي يدي. قال
شريح: صدقت والله يا أمير المؤمنين إنها لدرعك ولكن لا يد لك من شاهدين فدعا قنبراً
والحسن بن علي فشهدا إنه لدرعه. فقال شريح: أمّا شهادة مولاك فقد أجزناها. وأما شهادة
ابنك فلا نجيزها فقال عليه السلام:
ثكلتك أمك أما سمعت عمر بن الخطاب يقول: قال رسول
الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم: «الحسن و الحسين سيدا شباب أهل الجنة» قال:
اللهم نعم؛ قال: أفلا تجيز شهادة سيديْ شباب أهل الجنة؟ ثم قال لليهودي: خذ الدرع،
فقال اليهودي: أمير المؤمنين جاء معي إلى قاضي المسلمين فقضى لي، ورضي: صدقت والله
يا أمير المؤمنين إنها لدرعك سقطت عن جمل لك التقطتها أشهد أن لا إله إلا الله وأن
محمداً رسول الله فوهبها له عليّ رضي الله عنه وأجازه بتسعمائة، وقتل معه يوم صفين.
ا هــــ».
Komentar