FILSAFAT HUKUM PERADILAN ISLAM
Disusun Oleh; Mohammad Nuh

A.  PENDAHULUAN
Islam sejak awal mula kemunculannya merupakan agama yang melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) di Madinah sebagai contoh masyarakat berperadaban di muka bumi ini. Komunitas masyarakat madani ini merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebuah peradaban baru dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Maka dikenallah Islam sebagai agama, pemerintahan, politik dan hukum, sebab apa yang dibawa Islam, atau misi Islam ialah memperbaiki umat manusia dalam segala aspek kehidupannya, baik urusan keagamaan, urusan kemasyarakatan maupun urusan hukum dan peradilan. Oleh karena itu, sudah barang tentu memerlukan pemerintahan, pegangan hukum yang adil dan tegaknya kebenaran, juga memerlukan perlengkapan untuk mempertahankan agama dan negara serta hak-hak individu dalam mencari keadilan. Sehubungan dengan itu, Islam mempunyai beberapa pokok dan kaidah sebagai landasannya.[1] Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, prinsip peradilan, prinsip perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan, prinsip ketaatan rakyat.[2]
Islam tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Bahkan Islam mengancam, bahwa akan datang kehancuran bila suatu urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, apa lagi kaitannya dengan masalah keadilan dan hukum. “Apabila satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya” (HR. al-Bukhari). Terlebih lagi kaitannya dengan penetapan hukum suatu masalah yang disidangkan dalam sebuah peradilan. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 58.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya; Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Peradilan tidak hanya diperlukan dalam rangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak individu dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi juga peradilan diperlukan untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar. Begitu pula dengan proses peradilan yang harus dilakukan menjadi sangat penting sebagai cara penguatan sistem peradilan bagi masyarakat.
Pada dasarnya masing-masing orang bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya. Hal ini ditandaskan dalam surat at-Tahrim ayat 6 dengan redaksi sebagai berikut;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ini menandakan bahwa setiap kejahatan dan perselisihan adalah tanggung jawab masing-masing. Akan tetapi hal ini akan sulit tertangani karena setiap orang tidak mungkin dapat melakukannya dengan sempurna dan sesuai dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya. Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas dijelaskan oleh Al-Quran Surat Al-Nisā’: 65.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya; Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan hakikat peradilan dalam islam, penerapan dan fungsinya dalam kehidupan manusia, khususnya umat muslim. Untuk membatasi permasalahan, penusil akan melakukan pembahasan sekitar peradilan dalam islam dengan tinjauan filsafat hokum dengan sistematika penulisan sebagai berikut; Pendahuluan, Pengertian Peradilan dalam Islam, Dasar Hukum dan metodologi Peradilan dalam Islam, Peranan dan fungsi peradilan dalam islam dan ditutup dengan Kesimpulan dan Penutup.
B.   PENGERTIAN PERADILAN DALAM ISLAM
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenenai perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti yang banyak, yaitu dewan atau majlis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim yang mengadili perkara; mahkamah perkara.[3] Peradilan terkadang diartikan sama dengan pengadilan dan terkadang dikemukakan pengertian yang berbeda. Sedangkan menurut istilah, peradilan adalah daya upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.[4]
Adapun dalam islam, peradilan terambil dari kata qadla yang secara etimologi berarti menetapkan sesuatu dan menghukuminya. Adapun qadla menurut istilah adalah memutuskan perselisihan yang terjadi pada dua orang yang berselisih atau lebih dengan hukum Allah SWT.[5] Orang yang menjalankan peradilan disebut dengan qadli atau disebut hakim. Disebut qadli karena terambil dari wazan isim fa’ilnya lafadz qadla yang berarti orang yang menetapkan hukum. Sedangkan disebut hakim karena qadli adalah orang yang menjalankan hukum Allah terhadap orang yang berperkara. Kata hakim juga disebutkan dengan jelas dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan redaksi sebagai berikut;
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر       (رواه مسلم)
Dengan demikian, peradilan dimaksudkan untuk menetapkan suatu perkara secara adil sesuai dengan ketentuan hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Peradilan dalam islam diposisikan sejajar dengan kepemimpinan (imamah) sebagai kewajiban yang bukan bersifat personal, tetapi merupakan fardlu kifayah.[6] Yakni kewajiban yang dapat gugur dengan adanya salah seorang dari kaum muslimin yang mendudukinya. Artinya, jika ada beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi hakim kemudian tidak satupun yang mendudukinya sekalipun pemimpin mengharapkannya, maka berdosalah semua orang karena tidak ada yang mewakili kepentingan semua orang dalam mencari keadilan melalui peradilan.
Pemimpin pun memiliki hak untuk memaksa seseorang yang dianggap cakap dan mampu menjadi hakim dan tidak boleh mengangkat hakim dari orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu. Jika ada orang yang tidak memiliki kemampuan menjadi hakim maka haram hukumnya menerima pengangkatan menjadi hakim dan meminta jabatan itu. Bagi orang yang mampu menjadi hakim, jika ia ditunjuk untuk menjadi hakim, maka tidak boleh menolak.
Dengan demikian, bidang peradilan merupakan hal penting yang menjadi perhatian bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Karena pada umumnya kewajiban yang bersifat sosial itu bertujuan untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial dan melindungi kewajiban personal dari setiap individu. Sedangkan penetapan hukum dalam peradilan sebagai fardlu kifayah adalah berdasarkan pada ijma’ ulama.[7] Masuk dalam kategori fardlu kifayah karena termasuk kedalam upaya memerintahkan pada kebaikan dan mencegah pada perbuatan munkar (amar ma’ruf nahi munkar).
Peradilan tidak hanya berarti menetapkan hukum antara manusia dengan lainnya, tetapi juga berarti menetapkan sesuatu dengan hukum syara’.[8] Artinya, peradilan ini tidak hanya menyangkut perkara perselisihan yang bersifat perdata saja, tetapi juga menyangkut hal-hal seperti pernikahan, pembunuhan, harta benda dan lain sebagainya.[9]
Pada mulanya peradilan dalam islam dilakukan sendiri oleh Nabi SAW. Beliau melakukannya atas dasar perintah Allah SWT sebagai Dzat yang paling berhak menghukum manusia. Karena pada hakikatnya menetapkan hukum itu adalah hak Allah sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya yang terdapat pada surat al-An’am ayat 57 dengan redaksi sebagai berikut;
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Artinya; Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
Kemudian Allah memberikan otoritas peradilan kepada Nabi SAW sebagai wakilnya di muka bumi untuk melakukannya karena beliau telah melakukan peradilan dengan sebaik-baiknya seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 65. Tetapi setelah islam menyebar luas ke berbagai wilayah dan daerah sekitar jazirah Arabia, maka disamping sebagai Rasul yang mempunyai tugas untuk menyampaikan risalah dari Allah, juga sebagai pemimpin umat islam ketika itu, beliau mengangkat qadli untuk daerah lain. Salah satu contohnya Ali ibn Abi Thalib yang diangkat Nabi SAW untuk menjadi qadli di Yaman.
Berdasarkan pada apa yang dilakukan Nabi SAW tersebut, para sahabatpun mengikuti apa yang telah dilakukan beliau sehingga menjadi ijma’ umat islam ketika itu, bahwa yang berkewajiban mengangkat qadli adalah pemimpin. Adapun yang berkewajiban mengangkat hakim atau qadli adalah pemimpin atau pemerintah.
Jika demikian, maka yang mempunyai kewajiban memutuskan masalah hukum sebenarnya adalah pemimpin. Namun karena pemimpin tidak mungkin dapat melakukan putusan setiap permasalahan di berbagai daerah, maka ia wajib mengangkat qadli sebagai wakil pemimpin dalam urusan peradilan di daerah kekuasaannya. Adapun hukum untuk menjadi hakim bagi setiap orang adalah fardlu kifayah. Hal ini karena kewajiban itu hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja yang dianggap layak dan mampu menjadi wakil dari pemimpin dalam mengurusi masalah peradilan.

C.  DASAR HUKUM DAN METODOLOGI PERADILAN ISLAM
Adapun dasar hukum peradilan dalam islam adalah al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama.[10] Dalil peradilan dalam al-Qur’an para ulama biasanya menggunakan surat Shad ayat 26 yang berbunyi sebagai berikut;
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَاب
Artinya; Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (QS Shad;26).
Ayat lain yang menjadi dasar peradilan dalam islam adalah ayat 42 dari surat al-Maidah[11] yang menjelaskan tentang perintah Allah atas Nabi SAW dalam menetapkan hukum itu harus berasaskan pada keadilan sekalipun yang meminta keadilan itu adalah orang Yahudi. Padahal dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang Yahudi yang datang itu suka mendengar berita bohong dan suka memakan barang haram. Ibnu Abbas menjelaskan kaitannya dengan hal ini bahwa orang Yahudi ketika menetapkan hukum pada suatu perkara, mereka menerima pemberian (sogokan) dan menetapkan hukum berdasarkan kebohongan.[12]
Berkaitan dengan keadilan, al-Qur’an memerintahkannya tidak hanya pada masalah hukum saja, tetapi berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Maka, keadilan ini menjadi asas dan prinsip dalam setiap penetapan hukum tidak hanya sebatas pada penetapan dalam peradilan saja.[13]
Hadits Nabi SAW yang dijadikan dasar hukum pelaksanaan peradilan diantaranya hadits yang menceritakan tentang Nabi SAW melakukan penetapan hukum dalam sebuah perselisihan dan mengangkat wakil pemerintahan Nabi sekaligus untuk menyelesaikan berbagai sengketa (menjadi qadli) untuk daerah lain seperti Ali ibn Abi Thalib yang diutus untuk menjadi qadli di Yaman.[14]
Beberapa riwayat juga menunjukkan bahwa Nabi SAW menganggap penting menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah meminta `Amr ibn al-`Ash untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amr: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amr.” Maka `Amr merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”[15]
Dan masih banyak riwayat hadits yang menjelaskan tentang hal serupa yang dilakukan Nabi terhadap sahabat-sahabat beliau. Ini menandakan bahwa peradilan dalam islam sangat penting untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan sebagai upaya melindungi hak dan kewajiban individu, kelompok dan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan asas, prinsip dan tujuan dari hukum islam itu sendiri. Dengan adanya peradilan dalam islam kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu pun terlindungi, persamaan hak setiap individu didepan hukum maupun dalam kehidupan sosial terjaga, dan jaminan sosial bagi setiap individu dan masyarakat dapat terwujudkan.
 Kaitannya dengan dasar hukum lainnya, yakni ijma’ ulama, dijelaskan bahwa Abu Bakar (Khalifah pertama) mengutus Anas bin Malik menjadi qadli di Bahrein, sedangkan Umar ibn al-Khattab mengutus Abu Musa al-Asy’ary menjadi qadli di Bashrah, dan Abdullah ibn Mas’ud di Kufah.[16] Tidak ada seorang ulama dari suatu madzhab manapun yang mengingkari adanya peradilan dan urgensinya dalam kehidupan manusia. Semua ulama fiqih dalam kitabnya menjelaskan bahwa peradilan (qadla) adalah kesepakatan ulama (ijma’) yang berdasarkan pada al-Qur’an dan peristiwa sejarah yang hidup melalui perbuatan para sahabat Nabi SAW dan hadits Nabi sendiri.
Peradilan dalam islam merupakan upaya hukum dalam menemukan hakikat kebenaran atas perselisihan atau sengketa dan permasalahan hukum lainnya baik menyangkut masalah perdata maupun pidana untuk memutuskan perkara hukumnya. Dalam pelaksanaan peradilan islam selalu berpegangan teguh pada al-Qur’an dan hadits, sehingga putusan dari hasil peradilan merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi,[17] dan dalam memutuskan perkara hukumnya pun tidak akan terlepas dari aturan hukum menurut al-Qur’an dan hadits, seperti keputusan Nabi SAW terhadap kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang perempuan dari Bani Makhzum dengan pemotongan tangan, sebagai pelaksanaan atas kandungan ayat QS. Al-Ma’idah ayat 38.[18]
Namun, islam bukan merupakan agama yang menutup peran serta akal untuk menemukan prinsip kebenaran dalam setiap aspek kehidupan manusia. Sekalipun demikian, islam juga tidak berarti menyerahkan semua persoalan pada akal. Dalam hal ini, akal digunakan untuk sebatas membantu menemukan kebenaran yang tidak secara eksplisit atau dijelaskan secara gradual oleh wahyu.
Hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Nabi SAW ketika memutuskan suatu perkara dengan ijtihad beliau dalam beberapa hal yang tidak terdapat nash-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai.[19] Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku memutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.[20]
Kaitannya dengan metode pengambilan keputusan dengan menggunakan ijtihad secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.”[21]
Peradilan dalam islam memiliki prinsip ketauhidan sebagai prinsip umum hukum islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam termasuk peradilan merupakan ibadah. Namun, sekalipun peradilan itu ibadah, bukan berarti setiap orang bisa menjadi hakim atau qadli sebagai pelaksana peradilan. Ketentuan pengangkatan hakim atau qadli diatur sedemikian rupa. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kekeliruan yang besar jika peradilan dilakukan oleh orang tidak berilmu.
Prinsip ketauhidan dalam peradilan dapat terlihat pada setiap proses dan pelaksanaan hingga pada hasil putusannya. Dalam proses peradilan islam al-Qur’an adalah sebagai sumber utama dalam setiap mengambil keputusan hukum, kemudian diikuti oleh hadits Nabi dan selanjutnya ijtihad. Oleh sebab itu, seorang hakim atau qadli harus berpredikat mujtahid. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang dijelaskan oleh al-Nawawi tentang hakim yang berijtihad jika benar maka ia memperoleh dua pahala dan jika keliru ia hanya dapat satu pahala.[22] Beliau menjelaskan bahwa hakim yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah hakim yang faqih dan ahli di dalam hukum. Hakim yang demikian memperoleh pahala dari hasil ijtihadnya dan dari kebenaran keputusannya. Dan jika keputusannya itu keliru, maka hanya memperoleh pahala dari ijtihadnya saja.[23]
Adapun orang yang tidak berilmu dan tidak ahli dalam hukum, maka hukumnya haram menetapkan hukum, dan jika ia menetapkan suatu hukum maka ia berdosa dan hukumnya tidak bisa dianggap sekalipun hasil penetapannya itu benar. Inilah yang dimaksudkan dalam hadits Nabi SAW[24] berikut;
القضاة ثلاثة، قاضيانِ في النارِ وقاضٍ في الجنةِ. فأما الذي في الجنةِ فرجلٌ عرفَ الحقَّ وقضَى بهِ، واللذانِ في النارِ رجلٌ عرفَ الحقَّ فجارَ في الحقِّ، ورجلٌ قضى للناسِ على جهلٍ
Oleh sebab itulah para ulama menetapkan syarat secara ketat bagi hakim atau qadli. Karena jika tidak ditentukan syarat akan dikhawatirkan semua orang berkeinginan menduduki posisi menjadi hakim karena kemudahan syaratnya. Jika semua orang dapat dengan mudah menjadi hakim sekalipun dari orang yang tidak mengerti hukum, maka yang terjadi adalah kekacauan hasil keputusan yang tidak dapat memunculkan rasa keadilan bagi setiap orang yang sedang mencari keadilan. Dengan demikian maka hukum peradilan islam telah lepas dari prinsip dasar hukum islam itu sendiri yang mengedepankan prinsip ketauhidan dan prinsip keadilan.
Keluar dari prinsip ketauhidan karena dalam menetapkan dan memutuskan suatu perkara hukumnya tidak berdasar pada perintah Allah dan bahkan menyalahi perintahNya tentang menghukumi dengan hukum Allah,[25] memutuskan hukum dengan benar (hak)[26] dan dengan adil.[27] Kemudian keluar dari prinsip keadilan karena keputusan hukum yang dihasilkan tidak berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana memperlakukan orang yang sedang berperkara dan memutuskan hukum tanpa didasari oleh pengetahuan tentang konsep keadilan Tuhan yang terdapat dalam aturan hukum syari’at islam.
Syarat menjadi hakim harus memenuhi tiga kriteria, pertama; yang berkaitan dengan kecakapan dalam bertindak di hadapan hukum menurut islam. Syarat hakim dalam hal ini harus beragama islam, baligh, berakal dan merdeka (bukan hamba sahaya).[28] Kedua; yang berkaitan dengan kecakapan khusus dalam mempertanggung jawabkan validitas kebenaran dalam mengemban amanat. Seorang hakim harus orang yang ‘adil (bukan orang fasiq), tujuannya adalah untuk menjaga nilai-nilai kejujuran dalam menentukan keputusan yang adil. Hakim juga harus bisa berbicara dengan baik dan jelas, bisa mendengar dan melihat dengan sempurna, bisa menulis, dan tajam ingatannya.[29] Tujuannya adalah supaya seorang hakim dapat memutuskan setiap perkara dengan sempurna. Seluruh ulama bersepakat bahwa laki-laki menjadi syarat untuk menjadi hakim karena kesempurnaannya dalam mendapatkan hak kepemimpinan. Sedangkan perempuan tidak memiliki kesempurnaan itu. Sekalipun demikian, ada beberapa ulama yang memperbolehkan perempuan menduduki jabatan hakam. Imam Hanafi membolehkan perempuan menjabat sebagai hakim untuk hukum perdata (selain dari jinayat seperti pelanggaran terhadap jinayah hudud), sedangkan Ibnu Jarir membolehkan perempuan menduduki jabatan sebagai hakim secara mutlak.[30]
Ketiga, kecakapan khusus dalam menentukan hukum suatu masalah dengan berijtihad. Syarat ini sebenarnya merupakan syarat bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Persyaratan ini ada karena seorang hakim dalam memutuskan perkara hukum harus berdasarkan hukum islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Nabi. Jika ada masalah baru yang hukumnya tidak terdapat pada keduanya, maka hakim harus berijtihad. Oleh karena itulah seorang hakim sebaiknya adalah seorang mujtahid, atau setidaknya sebagai orang yang mengetahui tata cara ijtihad dengan baik sekalipun tidak masuk dalam kategori mujtahid mutlak.
Ulama bersepakat bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan dalam berijtihad. Adapun persyaratan yang ketiga ini mencakup; mengetahui hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits melalui jalan ijtihad, sekalipun tidak disyaratkan dan tidak dituntut hafal terhadap semua ayat-ayatnya atau hadits-haditsnya, mengetahui ijma’ dan perbedaan pendapat para ulama, termasuk pendapatnya para sahabat atau yang dikenal dengan qaul shahaby, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum yang telah difatwakan.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Abu Ali al-kalabisy, salah satu murid Imam Syafi’i yang menjelaskan bahwa tidak ditemukan perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa orang yang paling berhak memutuskan perkara diantara orang-orang muslim ialah orang yang tampak jelas kelebihannya, kejujurannya, keilmuannya, kewara’annya, rajin mengaji al-Qur’an, mengerti sebagian besar hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, memahami sunnah-sunnah Rasul SAW dan hafal sebagian besar sunnah beliau, demikian pula dengan mayoritas perkataan sahabat. Kemudian seorang hakim juga hendaknya dari orang yang cerdas dan tidak memperhatikan tuntutan hawa nafsu.[31]
Hakim juga dituntut mengetahui ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, ‘am, khash, mutlak, muqayad, mujmal, mubayan, nash, dzahir, nasikh dan mansukh. Begitu juga mengetahui tentang macam-macam hadits dan kualitasnya berdasarkan pada proses periwayatannya.[32] Dengan demikian, seorang hakim dapat memutuskan suatu perkara dengan hasil ijtihadnya berdasarkan metodologi ijtihad yang benar dan menjaga nilai-nilai keadilan karena menetapkan dan memutuskan hukum yang berdasarkan pada hukum Allah sebagai Tuhan yang Maha Adil. Hasilnya pun terjaga dari putusan yang berdasarkan nafsu amarah yang jelas-jelas dilarang Allah dan oleh Nabi-Nya.
Salah satu hal yang memberi petunjuk kita tentang asas dasar berkenaan dengan persoalan pokok ini ialah isi surat Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua dari al-khulafa al-rasyidun kepada Abu Musa al-Asy’ari, gubernur di Basrah, Irak:
“Sesungguhnya menegakkan hukum (al-qadla) adalah suatu kewajiban yang pasti dan tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika sesuatu diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan. Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majelismu, sehingga seorang yang berkedudukan tinggi (syarif) tidak sempat berharap akan keadilanmu. Memberi bukti adalah wajib atas orang yang menuduh, dan mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari (tuduhan). Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai) diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau putuskan kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang lebih benar; sebab kebenaran itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah, kemudian temukanlah segi-segi kemiripan dan kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang paling mirip dengan yang benar. Untuk orang yang mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang waktu yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan haknya. Tetapi jika tidak, maka anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan lebih jelas dari ketidakpastian (al-a’ma, kebutaan, kegelapan)… Barang siapa telah benar niatnya kemudian teguh memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya (tidak tulus), maka Allah akan menghinakannya …”[33]
Pada dasarnya proses peradilan dalam islam itu berdasarkan pada asas kesederhanaan. Sehingga tidak terjadi proses peradilan yang berkepanjangan. Namun meskipun proses peradilan ini berdasarkan pada asas kesederhanaan, ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran, seorang hakim dalam mengambil sebuah keputusan hukum harus mempertimbangkan pengaduan dari kedua belah pihak. Seorang hakim tidak boleh mengambil keputusan kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qadli) mendengarkan pengaduan dari kedua belah pihak secara sempurna hingga tidak ada lagi keraguan tentang kebenaran yang sesungguhnya.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”[34]
Dalam memutuskan suatu perkara hukum, harus disertakan alat pembuktian dari setiap orang yang berperkara. Adapun alat bukti yang dimaksud dalam peradilan islam adalah fakta kebenaran yang dikenal dengan nama bayinah, sumpah, saksi, bukti tertulis dan pengakuan. Kaitannya dengan bukti dan sumpah dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda;

لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya diberikan kepada manusia apa-apa yang mereka gugat, maka orang-orang akan menggugat harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti itu didatangkan dari orang yang menggugat dan sumpah itu didatangkan atas orang yang tergugat”.[35] 
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[36]
Dalam Islam, selain istilah qadla’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah, al-Madzalim dan Tahkim. Hisbah merupakan istilah untuk sebuah peradilan yang berfungsi dalam “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`ruf) ketika hal yang baik itu telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika hal itu banyak dikerjakan”.[37] Dalam perkembangan system peradilan Islam, hisbah dikenal sebagai sebuah lembaga dengan petugasnya yang disebut dengan muhtasib. Hisbah bertugas untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan. Hisbah merupakan tugas yang menjadi kewajiban bagi pemimpin dengan mengangkat orang yang dianggap cakap.
Lembaga yang disebut hisbah ini berdasarkan pada perbuatan Nabi SAW. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai setumpuk makanan dijual di pasar Madinah. Makanan yang dijajakkan itu tampak sangat menarik, tetapi setelah beliau memasukkan tangannya ke dalam makanan itu, maka tampaklah kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan itu dengan menyembunyikan makananyang buruk dibawah makanan yang baik. Kemudian Nabi SAW mengangkat beberapa orang petugas untuk memperhatikan keadaan pasar. Beliau mengangkat Sa’id ibn ‘Ash ibn Muawiyah.[38]
Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yaang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan muhtashib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa termasuk didalamnya hakim, atau anak-anak penguasa. Lembaga ini merupakan pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari kedzaliman para penguasa baik dalam kebijakannya maupun dalam tugas kepemimpinannya. Peradilan ini dilakukan karena adanya unsur kesulitan bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Di zaman Nabi SAW masih hidup, maka beliau sendiri yang melakukan penyeleaian terhadap segala macam pengaduan terhadap kedzaliman para pejabat.[39]
Adapun tahkim secara bahasa dipahami sebagai menyerahkan pada seseorang dan menerima putusaan itu. Sedangkan menurut istilah adalah pengangkatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih terhadap seseorang untuk menyelesaikan sengketa dan mengadilinya dengan menerapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu. Keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat kepada orang yang bersengketa. Tahkim tidak memiliki kekuatan hukum apapun dan dapat ditarik kembali oleh pihak yang berperkara jika muhakkam belum memutuskan perkaranya. Biasanya hal ini dilakukan dalam persengketaan kecil dan orang yang bersengketa itu memandang tidak perlu untuk mengadukan perkara mereka kepada hakim yang harus mereka turuti putusannya. Persengketaan yang boleh dilakukan dalam tahkim hanya pada persoalan perdata yang bersifat kebendaan. Sedangkan dalam persoalan pidana, talak dan nikah tahkim tidak diperbolehkan.[40]
D.    PERANAN DAN FUNGSI PERADILAN ISLAM 
Dalam Islam peradilan merupakan sebuah system. Selain mencakup proses peradilan dan arbitrasi yang mencakup permasalahan hukum sosial pada umumnya seperti pidana dan perdata, juga berkaitan dengan sistem peradilannya itu sendiri. Adapun peranan dari peradilan itu sendiri adalah untuk melaksanakan perintah Allah sebagai lembaga legal yang diamanatkan oleh pemimpin dalam menjalankan Amar ma’ruf Nahi munkar.
Dan fungsi peradilan itu sendiri adalah untuk menyelesaikan persengketaan antara dua orang atau lebih dengan menampakkan hukumnya untuk diputuskan. Dalam hal ini hakim hanya menerapkan hukum yang telah ada sebelumnya terhadap kasus yang disidangkan. Artinya, hakim tidak menetapkan hukum sesuatu yang belum ada. Fungsi peradilan lainnya adalah untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum, penegakan keadilan sekaligus menciptakan rasa keadilan dan menjamin kemaslahatan umat secara umum dan umat muslim khususnya dengan tetap tegaknya hukum Islam. Menciptakan rasa keadilan karena dengan peradilan setiap orang diperlakukan sama didepan hukum, tidak terkecuali orang yang memegang kekuasaan dalam kepemimpinan negara.
Dalam peradilan setiap orang yang ditetapkan bersalah ditetapkanlah ia sebagai orang yang bersalah, begitu pula kaitannya dengan kasus perdata, setiap orang yang kalah dalam mempertahankan hak atau tuntutannya, maka ia tidak akan memperoleh hak kepemilikan atas yang disengketakannya. Peristiwa Ali bin Abi Thalib sebagai contohnya, padahal ketika itu beliau adalah seorang khalifah. Dengan asas kesederajatan dimuka hukum, beliau duduk berdampingan dengan seorang Yahudi yang digugatnya karena mengakui kepemilikan atas baju besi milik Ali bin Abi Thalib. Ketika itu beliau tidak menuduh orang Yahudi itu mencuri, karena memang beliau telah menghilangkannya dalam suatu peperangan dengan kelompok Muawiyah. Apalagi tidak ada bukti bahwa Yahudi itu telah melakukannya. Hakim memutuskan kemenangan atas Yahudi karena ali bin Abi Thalib tidak mampu mendatangkan dua orang saksi yang benar. Ketika itu, beliau menunjuk Qunbur budaknya dan Hasan putranya sebagai saksi. Karena Hasan adalah putranya, maka hakim yang ketika itu dijabat oleh Syuraikh memutuskan bahwa baju besi itu adalah milik Yahudi tersebut.[41]
Melalui peradilan, hak setiap orang terjamin dan terlindungi, kebebasan setiap individu terjaga, dan keseimbangan dalam kehidupan sosial pun terwujud. Atau lebih tepatnya untuk terjaminnya kemaslahatan manusia dalam upaya memperoleh perlindungan secara hukum dalam menjaga kebebasan beragama, jiwa, harta, akal dan kehormatan, serta keturunan.

E.     KESIMPULAN DAN PENUTUP
Peradilan merupakan perintah Allah SWT kepada umat manusia unuk melindungi hak-hak manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia sehingga kemaslahatan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak dapat diperoleh. Peradilan sangat diperlukan dalam rangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan. Begitu pula dengan proses peradilan yang harus dilakukan menjadi sangat penting sebagai cara penguatan sistem peradilan bagi masyarakat Negara.
peradilan dimaksudkan untuk menetapkan suatu perkara secara adil sesuai dengan ketentuan hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Peradilan dalam islam diposisikan sejajar dengan kepemimpinan (imamah) sebagai kewajiban yang bukan bersifat personal, tetapi merupakan fardlu kifayah. Yakni kewajiban yang dapat gugur dengan adanya salah seorang dari kaum muslimin yang mendudukinya. Artinya, jika ada beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi hakim kemudian tidak satupun yang mendudukinya sekalipun pemimpin mengharapkannya, maka berdosalah semua orang karena tidak ada yang mewakili kepentingan semua orang dalam mencari keadilan melalui peradilan.
Namun, Islam tidak membiarkan begitu saja terhadap peran peradilan yang begitu penting itu kepada orang yang bukan ahlinya. Ditetapkanlah syarat khusus bagi orang yang menginginkan posisi itu, dengan harapan hukum yang diputuskan nanti merupakan hukum yang benar-benar mewakili kebenaran Allah dan tidak berdasarkan hawa nafsu syahwat manusia. Islam sangat melarang seorang hakim menerima suap, bahkan hadiah dari orang yang berperkara.
Melalui prinsip-prisip hukum dalam peradilan islam menunjukkan bahwa peradilan merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh semua manusia dengan tidak memandang dari golongan tertentu saja, berbeda agama sekalipun, peradilan islam menganggap sederajat kepada para pihak. Itulah hakikat dari peradilan yang sesungguhnya.
Peranan dari peradilan itu adalah untuk melaksanakan perintah Allah sebagai lembaga legal yang diamanatkan oleh pemimpin dalam menjalankan Amar ma’ruf Nahi munkar. Sedangkan fungsi peradilan adalah untuk menyelesaikan persengketaan antara dua orang atau lebih dan memutuskan hukum atasnya. Intinya, peradilan itu bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum, penegakan keadilan sekaligus menciptakan rasa keadilan dan menjamin kemaslahatan umat secara umum dan umat muslim khususnya dengan tetap tegaknya hukum Islam.
 
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Rasyid Ridla, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, Cet. 1, thn.1983)
Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum: Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, thn.1987)
Depdikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Renika Cipta), hal. 7
Zaini Ahmad Nuh, Hakim Agama dari Masa ke Masa (Jakarta: Munas Ikaha, cet. 1, thn.1995,)
 Muhammad ibn Ahmad al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,(Bairut; Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, Juz 2, thn. 1998)
Muhyiddin Yahya ibn Syarf, Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin,(Bairut, Dar al-Fikr,Juz 9,thn.1994)
Ahmad ibn Ahmad al-Qalyuby,Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Amirah,(Bairut;Dar al-Fikr,Juz 4,thn. 1998)
Muhammad ibn Habib al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir fi al-Fiqh al-Islami,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,Juz 20,tanpa tahun)
Muhammad ibn Jarir al-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an,(Bairut; al-Ma’rifah, Juz 6,thn. 1990)
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;LPPM Unisba, thn. 1995)
Muhammad ibn Ahmad Syamsuddin al-Suyuthi,Jawahir al-‘Uqud wa Mu’ayyan al-Qadlah wa al-Muwaqqi’in wa al-Syuhud,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,Juz 2,thn. 1996)
Ahmad Ibn Hanbal,Musnad al-Imam Ahmad,(Bairut;Dar Ihya al-Turats al-‘araby,juz 5,tanpa tahun)
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby,al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an; Tafsir al-Qurthuby,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,juz 6,tanpa tahun)
Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy`ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Bairut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi,juz 6,tanpa tahun)
Abu Zakaria Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim,(Bairut;Dar al-Fikr,juz 12,thn. 1995)
Muhammad bin Isma’il al-Shan’any,Subul al-Salam,(Bairut;Dar al-Fikr,Juz 4,thn. 1995)
Ibnu Hajar Ahmad ibn Ali al-Asqalany,Fath al-Bary Syarh al-shahih al-Bukhary,(Bairut;Dar al-Fikr,juz 15,thn. 1993)
Abu Hasan Ali bin Umar al-Daruquthny,Sunan al-Daruquthny,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,juz 4,thn. 2003)
Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi,(Bairut; Dar al-Kutub al-ilmiyah, juz 4,thn. 1994)
Ali bin Muhammad al-Mawardy,al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-wilayah al-Diniyah,(Bairut,Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tanpa tahun)
Teuku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy,Peradilan dan Hukum Acara Islam,(Semarang,PT Pustaka Rizki Putra,cet. 2,Edisi 2,thn. 2001)



[1] Muhammad Rasyid Ridla, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, Cet. 1, thn.1983), hlm. 461. Selanjutnya disebut Rasyid Ridla,Wahyu Ilahi.
[2] Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum: Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, thn.1987), hlm. 79. Selanjutnya disebut Azhari,Negara Hukum.
[3] Depdikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Renika Cipta), hal. 7
[4] Zaini Ahmad Nuh, Hakim Agama dari Masa ke Masa (Jakarta: Munas Ikaha, cet. 1, thn.1995,), hal. 15. Selanjutnya disebut Zaini,Hakim Agama.
[5] Lihat Muhammad ibn Ahmad al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,(Bairut; Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, Juz 2, thn. 1998), hlm. 602. Selanjutnya disebut al-Syarbini,al-Iqna’.
[6] Lihat Muhyiddin Yahya ibn Syarf, Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin,(Bairut, Dar al-Fikr,Juz 9,thn.1994),hlm. 263. Selanjutnya disebut Muhyiddin,Raudlah.
[7] Muhyiddin,Raudlah,juz 9,hlm. 263
[8] Lihat Ahmad ibn Ahmad al-Qalyuby,Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Amirah,(Bairut;Dar al-Fikr,Juz 4,thn. 1998),hlm. 296. Selanjutnya disebut al-Qalyuby,Hasyiyah al-Qalyuby.
[9] Lihat al-Qalyuby,Hasyiyah al-Qalyuby,hlm. 297.
[10] Lihat Muhammad ibn Habib al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir fi al-Fiqh al-Islami,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,Juz 20,tanpa tahun),hlm. 53. Selanjutnya disebut al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir.
[11] Demikian redaksi ayatnya;
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين
Artinya; Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
[12] Lihat Muhammad ibn Jarir al-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an,(Bairut; al-Ma’rifah, Juz 6,thn. 1990), hlm. 154. Selanjutnya disebut al-Thabary,Jami’ al-Bayan.
[13] Lihat Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;LPPM Unisba, thn. 1995),hlm. 69. Selanjutnya disebut Juhaya,Filsafat.
[14] Muhammad ibn Ahmad Syamsuddin al-Suyuthi,Jawahir al-‘Uqud wa Mu’ayyan al-Qadlah wa al-Muwaqqi’in wa al-Syuhud,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,Juz 2,thn. 1996),hlm. 280. Selanjutnya disebut al-Suyuthy,Jawahir al-‘Uqud.
[15] Ahmad Ibn Hanbal,Musnad al-Imam Ahmad,(Bairut;Dar Ihya al-Turats al-‘araby,juz 5,tanpa tahun),hlm. 233. Selanjutnya disebut Ahmad,Musnad.
[16] Al-Suyuthy,Jawahir al-‘Uqud,Juz 2,hlm. 281.
[17]Setiap perkara hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an selalu disertakan saksi jika akan diperkarakan, baik yang menyangkut masalah pidana maupun perdata. Begitu pula dalam hadits, secara jelas menuturkan tentang bukti dan saksi terhadap suatu peristiwa hukum jika ingin disidangkan dan berdasarkan dari keduanyalah suatu persengketaan hukum dapat ditetapkan di depan sidang.
[18] Nabi SAW memutuskan hukum potong tangan terhadap al-Khiyar ibn ‘Adi dan seorang perempuan dari Bani Makhzum yang bernama Murrah binti Sufyan. Lihat Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby,al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an; Tafsir al-Qurthuby,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,juz 6,tanpa tahun),hlm. 159. Selanjutnya disebut al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthub. Redaksinya sebagai berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[19] Lihat Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy`ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Bairut, Dar Ihya al-Turats al-`Arabi,juz 6,tanpa tahun), hlm. 371. Selanjutnya disebut Abu Dawud,Sunan.
[20] HR Abu Dawud ,Sunan,Juz 9, hlm. 503.
[21] HR Abu Dawud,Sunan,juz 9,hlm. 509.
[22]Berikut ini adalah redaksi haditsnya;
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
[23] Abu Zakaria Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim,(Bairut;Dar al-Fikr,juz 12,thn. 1995),hlm. 12. Selanjutnya disebut Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh al-Nawawi.
[24] Hadits ini merupakan hadits populer tentang kategorisasi hakim. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Nasaiy, Ibnu Majjah, Abu Dawud, Turmudzi, Hakim dan Baihaqy. Lihat al-syarbiny,al-Iqna’,Juz 2,hlm. 601.
[25] QS al-Maidah ayat 49 dengan redaksi sebagai berikut;
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
[26]QS Shad ayat 26 dengan redaksi sebagai berikut;
يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق     
[27] QS an-Nisa ayat 58 dengan redaksi sebagai berikut;
وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل      
[28] Lihat Al-Syarbiny,Al-iqna’,juz 2, hlm. 602.
[29] Lihat Al-Syarbiny,Al-iqna’,juz 2, hlm. 607.
[30] Lihat Muhammad bin Isma’il al-Shan’any,Subul al-Salam,(Bairut;Dar al-Fikr,Juz 4,thn. 1995),hlm. 1923. Selanjutnya disebut al-Shan’any,subul al-Salam.
[31] Ibnu Hajar Ahmad ibn Ali al-Asqalany,Fath al-Bary Syarh al-shahih al-Bukhary,(Bairut;Dar al-Fikr,juz 15,thn. 1993),hlm. 45. Selanjutnya disebut al-Asqalani,Fath al-Bary.
[32] Lihat Al-Syarbiny,Al-iqna’,juz 2, hlm. 602-604.
[33] Abu Hasan Ali bin Umar al-Daruquthny,Sunan al-Daruquthny,(Bairut;Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,juz 4,thn. 2003),hlm. 132. Selanjutnya disebut al-Daruquthny,Sunan al-Daruquthny.
[34] Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi,(Bairut; Dar al-Kutub al-ilmiyah, juz 4,thn. 1994),hlm. 465. Selanjutnya disebut al-Tirmidzi,Sunan al-Tirmidzi.
[35]HR Muslim. Lihat Muhyiddin al-Nawawi,Syarkh al-Nawawi,juz 12, hlm. 3. Hadits senada yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan redaksi sebagai berikut;
أنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلّم قَضَى بالْيَمِينِ عَلَى المُدَّعَى عَلَيْهِ
[36] Abu Dawud, Sunan,  juz 9 halaman 516. Redaksi haditsnya adalah sebagai berikut;
حدثنا أَحْمدُ بنُ صالحٍ أخبرنا ابنُ وَهْبٍ أخبرني يُونُسُ عن ابن شِهَابٍ قَالَ أخبرني عبْدُ اللهِ بنُ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بنَ مَالِكٍ ، أَخْبَرَهُ «أَنَّهُ تَقَاضَى ابنَ أبى حَدْرَدٍ دَيْناً كَانَ لَهُ عَلَيْهِ في عَهْدِ رسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلّم في المَسْجِدِ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُما حَتَّى سَمِعَهَا (سَمِعَهُمَا) رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلّم حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بنَ مَالِكٍ فقالَ يَا كَعْبُ، فقالَ (قالَ) لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ الله، فَأَشَارَ لَهُ (إليهِ) بِيَدِهِ أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ. قَالَ كَعْبٌ: قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ الله. قالَ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلّم: قُمْ فَاقْضِهِ

[37] Ali bin Muhammad al-Mawardy,al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-wilayah al-Diniyah,(Bairut,Dar al-Kutub al-Ilmiyah,tanpa tahun),hlm. 298. Selanjutnya disebut al-Mawardy,al-Ahkam al-Sulthaniyah.
[38] Teuku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy,Peradilan dan Hukum Acara Islam,(Semarang,PT Pustaka Rizki Putra,cet. 2,Edisi 2,thn. 2001),hlm. 97. Selanjutnya disebut M. Hasby,Peradilan dan Hukum.
[39] M. Hasby,Peradilan dan Hukum,hlm. 92-94
[40] M. Hasby,Peradilan dan Hukum,hlm. 81-85
[41] Lihat al-Shan’any,Subul al-Salam,juz 4,hlm. 1926 dengan redaksi sebagai berikut;
والحديث دليل على شرعية قعود الخصمين بين يدي الحاكم، ويسوّي بينهما في المجلس ما لم يكن أحدهما غير مسلم، فإنه يرفع المسلم كما في قصة عليّ عليه السلام مع غريمه الذي عند شريح، وهي ما أخرجه أبو نعيم في الحلية بسنده قال:
«وجد علي بن أبي طالب رضي الله تعالى عنه درعاً عند يهودي التقطها فعرفها فقال: درعي سقطت عن جمل لي أورق فقال اليهودي: درعي وفي يدي، ثم قال اليهودي: بيني وبينك قاضي المسلمين، فأتوا شريحاً فلما رأى علياً قد أقبل تحرف عن موضعه وجلس على فيه ثم قال علي: لو كان خصمي من المسلمين لساويته في المجلس لكني سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقول: «لا تساووهم في المجلس» وساق الحديث. قال شريح: ما تشاء يا أمير المؤمنين قال: درعي سقط عن جمل لي أورق فالتقطها هذا اليهودي. قال شريح: ما تقول يا يهودي؟ قال: درعي وفي يدي. قال شريح: صدقت والله يا أمير المؤمنين إنها لدرعك ولكن لا يد لك من شاهدين فدعا قنبراً والحسن بن علي فشهدا إنه لدرعه. فقال شريح: أمّا شهادة مولاك فقد أجزناها. وأما شهادة ابنك فلا نجيزها فقال عليه السلام:
ثكلتك أمك أما سمعت عمر بن الخطاب يقول: قال رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم: «الحسن و الحسين سيدا شباب أهل الجنة» قال: اللهم نعم؛ قال: أفلا تجيز شهادة سيديْ شباب أهل الجنة؟ ثم قال لليهودي: خذ الدرع، فقال اليهودي: أمير المؤمنين جاء معي إلى قاضي المسلمين فقضى لي، ورضي: صدقت والله يا أمير المؤمنين إنها لدرعك سقطت عن جمل لك التقطتها أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله فوهبها له عليّ رضي الله عنه وأجازه بتسعمائة، وقتل معه يوم صفين. ا هــــ».

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Hukum Islam

Tarikh Tasyri' Masa Sahabat

Wasiat