Filsafat Hukum Islam


FILSAFAT DAN HIKMAH AL-TASYRI’
Disusun oleh ; Mohammad Nuh

A.    Pendahuluan
Segala sesuatu memiliki hakikat, dan hakikat segala sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. logika fenomenologis inilah yang didambakan oleh setiap orang yang bergaul dengan filsafat. Objek yang ada dan yang mungkin ada adalah bahasa tentang keberadaan segala yang ada, baik ada karena kasat mata atau mata tidak memiliki kemungkinan untuk melihatnya sehingga dibutuhkan media dan alat yang menunjangnya.
Oleh karena itu hakikat segala sesuatu adalah tidak ada yang tidak ada, sebab ketiadaan adalah keadaan tentang sesuatu yang ada yang berbeda dengan keberadaan yang terbayangkan oleh hukum lahiriyah alami.[1] Kaitannya dengan hukum islam hal ini berkaitan dengan ontologi hukum yang memang bersifat teosentris, maka hal ini sama halnya dengan membicarakan tentang siapa sesungguhnya yang melahirkan hukum islam.
Dengan demikian, muncul pertanyaan selanjutnya, bagaimana ia ditetapkan dan diberlakukan, untuk siapakah hukum itu, dan masih benyak lagi pertanyaan sekitar permasalahan ontologis, epistemologis dan aksiologis dari adanya sesuatu. Untuk memahami hal tersebut diperlukan upaya pemahaman filosofis yang menghantarkan kita untuk menemukan hakikat sesuatu tesebut. Disinilah dibutuhkan filsafat.
Dan utuk mengetahui hikmah perlu adanya upaya mendalam tentang hakikat dari hukum islam. Setelah mengetahui hukum islam maka kitapun dapat menemukan hikmah dari ditetapkannya hukum tersebut.
Makalah yang sederhana ini mencoba menemukan perbedaan antara filsafat dan hikmah dengan sistematika penulisan sebagai berikut; pendahuluan, sekilas tentang sejarah filsafat, pengertian filsafat dan hikmah al-tasyri’, persamaan dan perbedaan karakterisik antara filsafat dan hikmah, kesimpulan dan penutup.

B.     Sejarah dan Pengertian filsafat
1.      Sejarah Filsafat
Filsafat pertama kali muncul di Yunani pada abad ke-6 sebelum Masehi. Pada mulanya filsafat bukan sebuah ilmu yang berada disisi ilmu-ilmu lainnya, melainkan meliputi segala pengetahuan ilmiyah. Orang yang pertama kali menggunakan kata filsafat adalah Pythagora, tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktifitasnya tercampur dengan legenda-legenda sehingga sering kali kebenaran tidak dapat dibedakan dari berbagai rekaan. Yang pasti dalam kalangan Sokrates dan Plato (abad ke 5 sebelum Masehi) nama filsafat sudah lazim digunakan. Dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros misalnya kita membaca; “Nama yang bijaksana terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk Tuhan (Allah)”. Ia lebih baik dipanggil Philoshopos (pecinta kebijaksanaan) dari pada dipanggil sebagai orang yang bijaksana.[2]
Dalam sejarah filsafat yang dikenal sebagai filosof pertama adalah Thales, Anaximandros dan Anaximenes yang tinggal di sebuah kota yang bernama Miletos. Thales oleh Aristoteles disebut sebagai “filosof yang pertama” yang lahir pada abad ke 6 s.M. salah satu pemikirannya adalah tentag prinsip alam semesta. Menurutnya, semuanya berasal dari air dan semuanya akan kembali lagi menjadi air.
Filsafat yang lahir dari filosof pertama merupkan filsafat alam. Hampir semua pemikiran filsafatnya berkaitan dengan alam semesta, mulai dari pencipaan, pergantian musim, pasang surutnya air dan lain sebgainya.
Selanjutnya diikuti oleh Pythagoras yang melahirkan madzhab Pythagorean. Diantara hasil pemikiran filsafatnya adalah tentang jiwa yang dapat bereinkarnasi. Disamping itu madzhab ini juga yang dianggap mempunyai jasa besar dalam memperkenalkan ilmu pasti dengan memperkenalkan tentang prinsip bilangan-bilangan. Mereka juga yang memperkenalkan tentang harmoni yang memperdamaaikan hal-hal yang berlawanan dalam keseluruhan kosmos.[3]
Ada beberapa nama besar setelah Pythagoras, diantaranya Xenophanes yang lahir di Kolophan di Asia Kecil kemudian ia meninggalkan kota kelahirannya menuju ke Yunani. Kemudian Herakleitos yang memiliki inti pemikiran bahwa tiap-tiap benda terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan akan tetapi tetap memiliki satu kesatuan.[4]
Jauh sebelum Sokrates telah lahir beberpa nama yang menghantarkan filsafat pada sebuah pengetahuan yang berharga. Setelah Herakleitos muncul madzhab Elea yang sebagai tokohnya terdapat tiga orang, yakni Parmenides, Zeno dan Melisos. Dan muncul pula para filosof pluralis dan atomis dimana Demokritos sebagai salah satu tokohnya.
Barulah kemudian muncul kaum sofis yang selalu bertentangan dengan pandangan Sokratis. Tokoh filosof yang menjadi sumber rujukan setiap filosof zaman berikutnya. Muridnya Plato muncul kemudian yang disusul oleh Aristoteles sebagai murid dari Plato sendiri.
Islam mengenal filsafat melalui perjalanan yang cukup panjang. Dilihat dari aspek sejarah, islam mengenal filsafat dilatar belakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak pusat-pusat ilmu pengetahuan purbakala yang ada di Yunani dan Alexandria, dan sebelumnya Mesir serta Babilonia maupun Persia, jatuh ketangan  kaum Muslim. Menjelang berakhirnya bani Umayah dan permulaan bani Abbasiyah, penerjemahan bahasa-bahasa purbaakala kedalam bahasa Arab mulai dilakukan dengan bantuan orang-orang terpelajar dari berbagai kota seperti Antioch, Edessa, Harran, dan Jundhishapur yang merupakan kota-kota bagian dari Dar al-Islam.
Pada masa Harun al-Rasyid lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles dan Persia, kemudian pada masa al-Makmun, penerjemahan lebih aktif lagi dan disertai dengan pengiriman tim-tim ahli ke negara tetangga, seperti Cyrus dan Romawi untuk mendapatkan buku-buku filsafat. Pada giliran berikutnya muncul filosof-filosof muslim yang terkenal seperti al-Kindi, al-Faraby, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.[5]

2.      Pengertian filsafat
Istilah ‘filsafat’ atau ‘falsafah’ dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab yang merupakan bentuk kata yang terambil dari bahasa yunani yang merupakan kata majemuk (philosophia) sebagai penggabungan dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan/kebijaksanaan).
Sudah kita ketahui bahwa kata philosophia diperkenalkan pertama kali oleh Pythagoras (abad 6 SM)[6]. Adapun kebijaksanaan sendiri memiliki makna yang hampir sepadan dengan hikmah dalam bahasa Arab. Dengan demikian maka seorang filosof adalah orang yang mencintai hikmah.[7] Adapun menurut Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, agama dan dogma) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[8]
Sedangkan menurut Aristoteles filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenarn, yang didalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika atau ilmu yang menyelidiki sebab dan asas segala benda.[9]
Demikianlah istilah ‘filsafat’ berarti ilmu pengetahuan yang dicapai manusia dengan akal pikirannya. Para filsuf/filosof mempelajari aneka persoalan alam semesta, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, mineral dan lain sebagainya sehingga Immanuel Kant mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu;
1.      Metafisika untuk mengetahui segala sesuatu
2.      Etika untuk mengetahui apa yang boleh kita lakukan
3.      Antropologi untukmengetahui apakah makna manusia itu
4.      Agama untuk mengetahui sampai dimana penghargaan kita terhadap kehidupan[10]
Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dari sikap yang dijunjung tinggi. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan mencari. Sikap itu merupakan sikap yang toleran dan terbuka dalam melihat persoalan dengan berbagai sudut pandang dan tanpa prasangka. Berfilsafat tidak hanya berarti membaca dan mengetahui filsafat. Seseorang memerlukan kebolehan berargumentsi, memakai teknik analisis serta mengetahui sejumlah bahan pengetahuan sehingga ia memikirkan dan merasakan secara falsafi. Filsafat mengantarkan semua yang mempelajarinya ke dalam refleksi pemikiran yang mendalam dan penuh dengan hikmah.[11]
Sifat kritis filsafat ditunjukkan dengan tiga pendekatan dalam filsafat, yakni pendekatan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Jika filsafat digandengkan dengan hukum islam, maka hukum islam akan dikritisi dari sisi hakikatnya, sumber pengetahuan dan fungsi pragmatisnya, serta etika dan estetikanya. Dapat diambil kesimpulan tentang pengertian filsafat dengan lima hal mendasar, yaitu;
1.      Pengetahuan tentang cara berfikir kritis
2.      Pengetahuan tentang kritik yang radikal
3.      Pengetahuan tentang berpikir kritis sistematis
4.      Pengetahuan tentang pemahaman universal terhadap semua persoalan
5.      Pengetahuan tentang kebenaran pemikiran yang tanpa batas dan masalah yang tidak pernah tuntas.[12]



3.      Pengertian hikmah al-tasyri’
Hikmah al-tasyri’ merupakan dua rangkaian kata hikmah dan tasyri’. Hikmah berasal dari kata hakama yang berarti “mengikat” atau “tali kendali” jika dari lafadz masdarnya (hikmah). Hikmah bisa juga digunakan untuk kata filsafat, karena hikmah sendiri memiliki arti kebijaksanaan, dan berarti pula sebagai penghalang bagi orang untuk berprilaku buruk. Imam Musa bin Ja’far As bersabda: “Yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan akal.” Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hikmah merupakan satu kondisi dan tipologi pencerapan dan pencerahan yang bersandar pada ilmu yang sejatinya adalah milik Allah. Hal senada juga diungkapkan oleh al-Raghib bahwa hikmah adalah memperoleh kebenaran dengan perantara ilmu dan akal.[13]
Bahkan sebagaimana kata-kata Imam Ja’far Shadiq As, “Allah Swt merupakan ilmu itu sendiri dimana tiada jalan bagi kebodohan di dalamnya.” “Hikmah” adalah sampainya kepada kebenaran dan realitas melalui media ilmu dan akal. Hikmah berasal dari klausul “hukm” yang bermakna menahan dan menawan. Dan makna pertamanya adalah menghukum yang menjadi sebab tercegahnya dan tertahannya kezaliman. Di antara tipologi hikmah adalah menahan manusia dari kebodohan dan kepandiran. Hikmah adalah muhkam (kokoh) dan mutqan (mantap)-nya bentuk ilmu.[14]
Hikmah yang sering disebut oleh para ulama mujtahid sebagai Asror al-Ahkam, secara etimologis berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu pengetahuan sempurna, bijaksana, dan sesuatu yang bergantung kepadanya akibat suatu yang terpuji. Adapun secara terminologi adalah suatu motifasi dalam pensyari'atan hukum dalam rangka mencapai suatu kemashlahatan atau menolak suatu kemafsadatan.[15]
Adapun tasyri adalah kata yang terambil dari lafadz syari’ah yang artinya jalan yang lurus. Secara terminologi tasyri’ oleh para fuqaha diartikan sebagai hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hambanya yang diungkapkan melalui perantaraan Rasulullah SAW. Syari’at secara harfiah bermakana “sumber air” atau “sumber kehidupan”, sedangkan syariat dalam kalangan ahli hokum islam mempunyai pengertian umum dan khusus.
Syariat dalam pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam islam, atau seperti yang diungkapkan oleh At-Tahanami penulis kitab Kasyafu istilahati al-funun yang dikutip langsung oleh Wahbah Zuhaili bahwa Syariat adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah untuk hambanya dari beberapa hokum yang dibawa oleh seorang Nabi dan para nabi, baik yang berkaitan dengan cara melakukan sesuatu yang disebut syari’ah far’iyah atau syari’ah amaliyah, hal ini termaktub dalam ilmu fiqih.
Jika berkenaan dengan akidah disebut dengan syari’at ashliyah atau syari’at I’tiqodiyah yang dikaji dalam ilmu kalam.[16] Syari’at dalam pengertian ini sering disebut dengan fiqih akbar yang mencakup akidah, syariat dan akhlak.[17] Dalam pengertian semacam ini, syariat dipahami sebagai syariat agama secara keseluruhan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Syari’at juga sering ditujukan pada ajaran islam yang dipahamai langsung dari Al-Quran dan Sunnah, yang merupakan realitas metafisika yang diketahui melalui keduanya. Adapun syari’at dalam pengertian khusus dikenal sebagai hokum amaliyah yang ditetapkan Allah untuk umat manusia melalui wahyu yang disampaikan oleh Rosul sebagai jalan menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak.[18]
Namun dalam kata tasyri’ ini terkandung makna menciptakan hukum atau undang-undang dan membuat kaidah-kaidah. Tasyri’ dalam pengertian tersebut adalah “membuat undang-undang’ baik undang-undang yang dibuat bersumber dari ajaran agama yang di sebut dengan tsyri’ samawiy maupun dari perbuatan manusia dan hasil pemikirannya yang dinamakan dengan istilah tasyri’ wad’iy.[19]
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa tasyri’ yang dimaksud adalah proses pembuatan undang-undang yang dimbil dari syari’at. Maka yang dimaksud dengan hikmah al-tasyri’ adalah pengetahuan yang mendalam, kokoh dan mantap dalam menciptakan undang-undang dari sumber hukumnya, yakni syari’at.

C.    Persamaan dan Perbedaan Karakteristik antara Filsafat dan Hikmah
1.      Persamaan karakteristik Filsafat dan Hikmah
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum dipakai untuk ‘sophia’.  Pertama, hikmah: istilah ini dipakai oleh generasi awal pemikir Muslim sebagai padanan kata ‘sophia’. Kata ini tampaknya sengaja dipilih supaya lebih mudah diterima oleh kaum Muslim supaya terkesan bahwa filsafat itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan justru berhulu dan bermuara pada al-Qur’an.
Al-Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama kali dianugerahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah) –yaitu Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon. Demikian juga al-Kindi yang menerangkan bahwa secara harfiah kata ‘falsafah’ artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan).
Pandangan yang kurang lebih sama ditegaskan Ibn Sina dalam buku filsafat yang ditulisnya: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa ttashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ beginilah yang mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Artinya, ada kesamaan antara filsafat dengan hikmah, yakni sama-sama menggunakan akal untuk menemukan hakikat kebenaran dari sesuatu sekalipun hanya sebatas pada kemampuan yang dimiliki manusia.

2.      Perbedaan antara Filsafat dan Hikmah
Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Di antara yang paling keras menentangnya ialah Imam al-Ghazali. Menurut beliau, para filsuf telah membajak lafaz ‘hikmah’ untuk kepentingan mereka, padahal ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an bukan filsafat, melainkan Syari‘at agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul. Yang dimaksud dengan hikmah adalah syariat-syariat (ilmu tentang halal dan haram.) Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Dan Allah mengajarkan kepadanya al-kitab dan hikmah (ilmu tentang halal dan haram) dan Taurat.” (QS. Ali Imran 48)
Sebagian besar penafsir berpandangan bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan al-Qur’an dan ilmu tentang nâsikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, muqaddam dan muakkhar dan sebagainya. Dan dalam al-Qur’an disebutkan: “Allah akan menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah tersebut, ia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang tak terhingga. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dan memahami hal ini).” (Qs. Baqarah [2]:269)
Yang kedua adalah falsafah, istilah yang dimasukkan ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Al-Kindi termasuk yang mempopulerkan istilah asing ini melalui karyanya Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang Filsafat Utama). Menurut beliau, filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis bertujuan menemukan kebenaran, sedangkan filsafat praktis bertujuan mengarahkan prilaku kita agar selaras dengan kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan.
Filsafat adalah upaya manusia mengenal dirinya, tambah al-Kindi. Abu Hayyan at-Tawhidi mencatat tak kurang dari enam definisi filsafat. Sementara kumpulan cendekiawan yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa’ (boleh jadi nama ini merupakan terjemahan bebas namun puitis dari philosophoi – kawan-kawan ‘sophia’) berkata: ‘Permulaan filsafat itu suka kepada ilmu (yakni rasa ingin tahu).
Langkah berikutnya adalah mengetahui hakikat segala sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang diketahui (al-falsafah awwaluha mahabbatu l-‘ulum, wa awsathuha ma‘rifatu haqa’iqi l-mawjudat bi-hasabi t-thaqati l-insaniyyah wa akhiruha al-qawl wa l-‘amal bi-ma yuwafiqu l-‘ilma)’.[20]
Berbeda dengan hikmah, filsafat tidak terkandung keharusan adanya pengetahuan tentang ketuhanan, tentang manfaat dan faedah sesuatu yang direnungkan atas dasar wahyu dari Allah. Sedangkan hikmah mengharuskan hal itu semua.[21]

                 Kesimpulan
1.      Filsafat adalah pengetahuan tentang kebjaksanaan dan bukan kebijaksanaan itu sendiri, karena dari sisi karakteristiknya filsafat masih sebatas mencari makna kebenaran dan nilai kebijaksanaan sehingga masih sangat dimungkinkan tidak tercapainya hakikat dari kebijaksanaan yang dimaksud.
2.      Kaitannya dengan hikmatutasyri’iyah filsafat mempunyai peluang dalam menemukan hikmah disyari’atkannya hukum tertentu, sehingga filsafat hanya sebatas alat metodologis untuk menemukan nilai kebenaran yang aplikatif sehingga nilai-nilai hikmah hukum tersebut benar-benar menyentuh pada tataran ontologis, metodolois dan sampai pada ranah aksiologis sehingga tidak ada kesenjangan antara teks hukum dengan konteks sosial.
3.      Perbedaan antara filsafat dan hikmah terletak pada nilai pemahamannya yang bersifat relatif dan absolut. Hal ini dapat kita perhatikan dari pengertian tentang filsafat sebagai ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia, sedangkan hikmah merupakan pengetahuan hakiki dari segala sesuatu yang disampaikan oleh Allah kepada manusia melalui wahyunya. Adapun persamaannya adalah keduanya sama-sama menggunakan akal dalam menemukan hakikat kebenaran.

E.     Penutup
Pembahasan tentang filsafat tentu merupakan pembahasan yang menarik yang tidak ada habisnya untuk digali, akan tetapi kebenaran yang terukur secara falsafi belum tentu merupakan sebuah kebenaran yang telah sempurna. Kebenaran hakiki hanya milik Yang Kuasa, maka manusia hanya mampu menemukan tanda-tanda kebenaran itu dari apa yang telah Allah perlihatkan melalui wahyunya dan melalui tanda-tanda yang ada disekitar kita yang dikenal dengan istilah ayat kauniyah.
Tanda-tanda kebenaran yang terdapat dalam wahyu tidak dapat terbantahkan, dan inilah yang disebut hikmah. Adapun tanda-tanda yang terdapat diluar wahyu hanya sebatas pada ranah kebenaran relatif.
Wallahu a’lam bishshowab....


[1] Beni Ahmad saebani,filsafat hukum islam(Bandung;Pustaka Setia,cet. I tahun 2008),hlm. 8,selanjutnya disebut saebani,filsafat Hukum
[2] K Bertens,sejarah filsafat Yunani,(Yogyakarta,Penerbit Kanisius;cet. 11 tahun 1994),hlm. 13,selanjutnya disebut Bertens,Sejarah.
[3] Bertens,Sejarah,37.
[4] Bertens,Sejarah,43
[5] Lihat,Dedi Supriyadi, M.Ag,Pengantar Filsafat Islam,(Bandung;CV Pustaka Setia,cet.II,thn. 2010),hlm. 35. Selanjutnya disebut Supriyadi,Pengantar. Lihat pula Harun Nasution,Filsafat Agama, (Jakarta; Bulan Bintang,cet, IV;tahun 1989),hlm. 11.
[6] Bertens,Sejarah.hlm.13
[7] Abu Ahmadi,Filsafat Islam,(Semarang,Penerbit;Toha Putra;tahun 1982),hlm.9
[8] Harun Nasution,filsafat Agama,(Jakarta; Bulan Bintang,cet, IV;tahun 1989),hlm. 3
[9] Saebani,Filsafat Hukum,hlm. 27
[10] Saebani,Filsafat Hukum,hlm. 28
[11]Saebani,Filsafat Hukum,hlm. 28, lihat pula Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;Yayasan Piara;tahun 1997),hlm. 2
[12] Saebani,Hukum Islam,hlm. 29
[13] Lihat Supriyadi,Pengantar,hlm. 17
[14] Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 2, hal. 351.
[15] Lihat Supriyadi,Pengantar,hlm. 15, lihat pula Ensiklopedia Hukum Islam,Depag RI, Jakarta,1997,hlm.550.
[16] Wahbah Zuhaili,Al-Qur’an, Paradigma Hukum dan Peradaban,(Surabaya: Risalah Gusti, cet.I,1996) hlm. 48
[17] Juhaya S. Praja,Tjun Surjaman(Ed.), Hukum Islam di Indonesia,(Bandung:PT Remaja Rosda Karya,cet.I;1991) hlm. v
[18] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih,jilid I;(Jakarta;Logos Wacana Ilmu,cet. I;1997) hlm. 4. selanjutnya disebut Syarifuddin,Ushul Fiqih
[19] Saebani,Filsafat Hukum,hlm. 49, lihat pula Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;Yayasan Piara;tahun 1997),hlm. 7

[20] Syamsuddin Arif, Mengenal Istilah Filsafat, http://www.inpasonline.com/
[21] Lihat Supriyadi,Pengantar,hlm. 17, lihat pula juhaya S. Praja,Filsafat Hukum,hlm. 4 dan 6

Komentar

Anonim mengatakan…
SAMBUX PTC No SCAM Terbaru!!! Dan 3 PTC Terpercaya Lainnya (Check it Out)!!!
Yang baru mewarnai dunia PTC saat ini. Sambux, online sejak Desember 2012, dengan sistem kerja hampir mirip Neobux ataupun Probux. So mari kita lihat bagaimana kiprahnya, apakah mampu menyamai ataupun mengungguli sang raja bux, Neobux. Semuanya biarlah waktu yang menjawabnya.
silahkan klik di bawah ini…
http://cpchenko.blogspot.com/2013/01/sambux-ptc-no-scam-terbaru-dan-3-ptc.html
Balas

Postingan populer dari blog ini

Tarikh Tasyri' Masa Sahabat

Wasiat