Filsafat Hukum Islam
FILSAFAT DAN HIKMAH AL-TASYRI’
Disusun oleh ; Mohammad Nuh
A. Pendahuluan
Segala sesuatu memiliki
hakikat, dan hakikat segala sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. logika
fenomenologis inilah yang didambakan oleh setiap orang yang bergaul dengan
filsafat. Objek yang ada dan yang mungkin ada adalah bahasa tentang keberadaan
segala yang ada, baik ada karena kasat mata atau mata tidak memiliki
kemungkinan untuk melihatnya sehingga dibutuhkan media dan alat yang
menunjangnya.
Oleh karena itu hakikat
segala sesuatu adalah tidak ada yang tidak ada, sebab ketiadaan adalah keadaan
tentang sesuatu yang ada yang berbeda dengan keberadaan yang terbayangkan oleh
hukum lahiriyah alami.[1]
Kaitannya dengan hukum islam hal ini berkaitan dengan ontologi hukum yang
memang bersifat teosentris, maka hal ini sama halnya dengan membicarakan
tentang siapa sesungguhnya yang melahirkan hukum islam.
Dengan demikian, muncul
pertanyaan selanjutnya, bagaimana ia ditetapkan dan diberlakukan, untuk
siapakah hukum itu, dan masih benyak lagi pertanyaan sekitar permasalahan
ontologis, epistemologis dan aksiologis dari adanya sesuatu. Untuk memahami hal
tersebut diperlukan upaya pemahaman filosofis yang menghantarkan kita untuk
menemukan hakikat sesuatu tesebut. Disinilah dibutuhkan filsafat.
Dan utuk mengetahui
hikmah perlu adanya upaya mendalam tentang hakikat dari hukum islam. Setelah
mengetahui hukum islam maka kitapun dapat menemukan hikmah dari ditetapkannya
hukum tersebut.
Makalah yang sederhana
ini mencoba menemukan perbedaan antara filsafat dan hikmah dengan sistematika
penulisan sebagai berikut; pendahuluan, sekilas tentang sejarah filsafat, pengertian
filsafat dan hikmah al-tasyri’, persamaan dan perbedaan karakterisik antara
filsafat dan hikmah, kesimpulan dan penutup.
B. Sejarah dan Pengertian filsafat
1. Sejarah Filsafat
Filsafat pertama kali
muncul di Yunani pada abad ke-6 sebelum Masehi. Pada mulanya filsafat bukan
sebuah ilmu yang berada disisi ilmu-ilmu lainnya, melainkan meliputi segala
pengetahuan ilmiyah. Orang yang pertama kali menggunakan kata filsafat adalah
Pythagora, tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktifitasnya
tercampur dengan legenda-legenda sehingga sering kali kebenaran tidak dapat
dibedakan dari berbagai rekaan. Yang pasti dalam kalangan Sokrates dan Plato
(abad ke 5 sebelum Masehi) nama filsafat sudah lazim digunakan. Dalam dialog
Plato yang berjudul Phaidros misalnya kita membaca; “Nama yang bijaksana
terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk Tuhan
(Allah)”. Ia lebih baik dipanggil Philoshopos (pecinta kebijaksanaan) dari pada
dipanggil sebagai orang yang bijaksana.[2]
Dalam sejarah filsafat
yang dikenal sebagai filosof pertama adalah Thales, Anaximandros dan Anaximenes
yang tinggal di sebuah kota yang bernama Miletos. Thales oleh Aristoteles
disebut sebagai “filosof yang pertama” yang lahir pada abad ke 6 s.M. salah
satu pemikirannya adalah tentag prinsip alam semesta. Menurutnya, semuanya
berasal dari air dan semuanya akan kembali lagi menjadi air.
Filsafat yang lahir
dari filosof pertama merupkan filsafat alam. Hampir semua pemikiran filsafatnya
berkaitan dengan alam semesta, mulai dari pencipaan, pergantian musim, pasang
surutnya air dan lain sebgainya.
Selanjutnya diikuti
oleh Pythagoras yang melahirkan madzhab Pythagorean. Diantara hasil pemikiran
filsafatnya adalah tentang jiwa yang dapat bereinkarnasi. Disamping itu madzhab
ini juga yang dianggap mempunyai jasa besar dalam memperkenalkan ilmu pasti
dengan memperkenalkan tentang prinsip bilangan-bilangan. Mereka juga yang
memperkenalkan tentang harmoni yang memperdamaaikan hal-hal yang berlawanan
dalam keseluruhan kosmos.[3]
Ada beberapa nama besar
setelah Pythagoras, diantaranya Xenophanes yang lahir di Kolophan di Asia Kecil
kemudian ia meninggalkan kota kelahirannya menuju ke Yunani. Kemudian
Herakleitos yang memiliki inti pemikiran bahwa tiap-tiap benda terdiri dari
hal-hal yang saling berlawanan akan tetapi tetap memiliki satu kesatuan.[4]
Jauh sebelum Sokrates
telah lahir beberpa nama yang menghantarkan filsafat pada sebuah pengetahuan
yang berharga. Setelah Herakleitos muncul madzhab Elea yang sebagai tokohnya
terdapat tiga orang, yakni Parmenides, Zeno dan Melisos. Dan muncul pula para
filosof pluralis dan atomis dimana Demokritos sebagai salah satu tokohnya.
Barulah kemudian muncul
kaum sofis yang selalu bertentangan dengan pandangan Sokratis. Tokoh filosof
yang menjadi sumber rujukan setiap filosof zaman berikutnya. Muridnya Plato
muncul kemudian yang disusul oleh Aristoteles sebagai murid dari Plato sendiri.
Islam mengenal filsafat
melalui perjalanan yang cukup panjang. Dilihat dari aspek sejarah, islam
mengenal filsafat dilatar belakangi oleh adanya usaha penerjemahan
naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak
pusat-pusat ilmu pengetahuan purbakala yang ada di Yunani dan Alexandria, dan sebelumnya
Mesir serta Babilonia maupun Persia, jatuh ketangan kaum Muslim. Menjelang berakhirnya bani Umayah
dan permulaan bani Abbasiyah, penerjemahan bahasa-bahasa purbaakala kedalam
bahasa Arab mulai dilakukan dengan bantuan orang-orang terpelajar dari berbagai
kota seperti Antioch, Edessa, Harran, dan Jundhishapur yang merupakan kota-kota
bagian dari Dar al-Islam.
Pada masa Harun
al-Rasyid lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles dan Persia,
kemudian pada masa al-Makmun, penerjemahan lebih aktif lagi dan disertai dengan
pengiriman tim-tim ahli ke negara tetangga, seperti Cyrus dan Romawi untuk
mendapatkan buku-buku filsafat. Pada giliran berikutnya muncul filosof-filosof
muslim yang terkenal seperti al-Kindi, al-Faraby, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.[5]
2. Pengertian filsafat
Istilah
‘filsafat’ atau ‘falsafah’ dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab yang
merupakan bentuk kata yang terambil dari bahasa yunani yang merupakan kata majemuk
(philosophia) sebagai penggabungan dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan/kebijaksanaan).
Sudah
kita ketahui bahwa kata philosophia diperkenalkan pertama kali oleh
Pythagoras (abad 6 SM)[6].
Adapun kebijaksanaan sendiri memiliki makna yang hampir sepadan dengan hikmah
dalam bahasa Arab. Dengan demikian maka seorang filosof adalah orang yang
mencintai hikmah.[7]
Adapun menurut Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib
(logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, agama dan dogma) dan dengan
sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[8]
Sedangkan
menurut Aristoteles filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenarn,
yang didalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika atau ilmu yang menyelidiki sebab dan asas segala benda.[9]
Demikianlah
istilah ‘filsafat’ berarti ilmu pengetahuan yang dicapai manusia dengan akal
pikirannya. Para filsuf/filosof mempelajari aneka persoalan alam semesta,
langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, mineral dan lain sebagainya
sehingga Immanuel Kant mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dari segala
pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu;
1.
Metafisika
untuk mengetahui segala sesuatu
2.
Etika
untuk mengetahui apa yang boleh kita lakukan
3.
Antropologi
untukmengetahui apakah makna manusia itu
4.
Agama
untuk mengetahui sampai dimana penghargaan kita terhadap kehidupan[10]
Filsafat
adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dari sikap yang
dijunjung tinggi. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan
mencari. Sikap itu merupakan sikap yang toleran dan terbuka dalam melihat
persoalan dengan berbagai sudut pandang dan tanpa prasangka. Berfilsafat tidak
hanya berarti membaca dan mengetahui filsafat. Seseorang memerlukan kebolehan
berargumentsi, memakai teknik analisis serta mengetahui sejumlah bahan
pengetahuan sehingga ia memikirkan dan merasakan secara falsafi. Filsafat
mengantarkan semua yang mempelajarinya ke dalam refleksi pemikiran yang
mendalam dan penuh dengan hikmah.[11]
Sifat
kritis filsafat ditunjukkan dengan tiga pendekatan dalam filsafat, yakni
pendekatan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Jika filsafat digandengkan
dengan hukum islam, maka hukum islam akan dikritisi dari sisi hakikatnya,
sumber pengetahuan dan fungsi pragmatisnya, serta etika dan estetikanya. Dapat
diambil kesimpulan tentang pengertian filsafat dengan lima hal mendasar, yaitu;
1.
Pengetahuan
tentang cara berfikir kritis
2.
Pengetahuan
tentang kritik yang radikal
3.
Pengetahuan
tentang berpikir kritis sistematis
4.
Pengetahuan
tentang pemahaman universal terhadap semua persoalan
5.
Pengetahuan
tentang kebenaran pemikiran yang tanpa batas dan masalah yang tidak pernah
tuntas.[12]
3. Pengertian hikmah al-tasyri’
Hikmah al-tasyri’ merupakan dua rangkaian kata hikmah dan
tasyri’. Hikmah berasal dari kata hakama yang berarti “mengikat” atau
“tali kendali” jika dari lafadz masdarnya (hikmah). Hikmah bisa juga digunakan
untuk kata filsafat, karena hikmah sendiri memiliki arti kebijaksanaan, dan
berarti pula sebagai penghalang bagi orang untuk berprilaku buruk. Imam Musa
bin Ja’far As bersabda: “Yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan
akal.” Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hikmah merupakan satu kondisi dan
tipologi pencerapan dan pencerahan yang bersandar pada ilmu yang sejatinya
adalah milik Allah. Hal senada juga diungkapkan oleh al-Raghib bahwa hikmah
adalah memperoleh kebenaran dengan perantara ilmu dan akal.[13]
Bahkan sebagaimana kata-kata Imam Ja’far Shadiq
As, “Allah Swt merupakan ilmu itu sendiri dimana tiada jalan bagi kebodohan di
dalamnya.” “Hikmah” adalah sampainya kepada kebenaran dan realitas melalui
media ilmu dan akal. Hikmah berasal dari klausul “hukm” yang bermakna
menahan dan menawan. Dan makna pertamanya adalah menghukum yang menjadi sebab
tercegahnya dan tertahannya kezaliman. Di antara tipologi hikmah adalah menahan
manusia dari kebodohan dan kepandiran. Hikmah adalah muhkam (kokoh) dan mutqan
(mantap)-nya bentuk ilmu.[14]
Hikmah yang sering disebut oleh para ulama mujtahid
sebagai Asror al-Ahkam, secara etimologis berarti mengetahui keunggulan
sesuatu melalui suatu pengetahuan sempurna, bijaksana, dan sesuatu yang
bergantung kepadanya akibat suatu yang terpuji. Adapun secara terminologi
adalah suatu motifasi dalam pensyari'atan hukum dalam rangka mencapai suatu
kemashlahatan atau menolak suatu kemafsadatan.[15]
Adapun tasyri adalah kata yang terambil dari lafadz syari’ah
yang artinya jalan yang lurus. Secara terminologi tasyri’ oleh para fuqaha
diartikan sebagai hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hambanya
yang diungkapkan melalui perantaraan Rasulullah SAW. Syari’at secara harfiah bermakana “sumber air”
atau “sumber kehidupan”, sedangkan syariat dalam kalangan ahli hokum islam
mempunyai pengertian umum dan khusus.
Syariat dalam
pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam islam, atau seperti yang
diungkapkan oleh At-Tahanami penulis kitab Kasyafu istilahati al-funun yang
dikutip langsung oleh Wahbah Zuhaili bahwa Syariat adalah apa yang telah
disyariatkan oleh Allah untuk hambanya dari beberapa hokum yang dibawa oleh seorang
Nabi dan para nabi, baik yang berkaitan dengan cara melakukan sesuatu yang
disebut syari’ah far’iyah atau syari’ah amaliyah, hal ini termaktub dalam ilmu
fiqih.
Jika berkenaan
dengan akidah disebut dengan syari’at ashliyah atau syari’at
I’tiqodiyah yang dikaji dalam ilmu kalam.[16] Syari’at dalam pengertian ini sering
disebut dengan fiqih akbar yang mencakup akidah, syariat dan akhlak.[17]
Dalam pengertian semacam ini, syariat dipahami sebagai syariat agama secara
keseluruhan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Syari’at
juga sering ditujukan pada ajaran islam yang dipahamai langsung dari Al-Quran
dan Sunnah, yang merupakan realitas metafisika yang diketahui melalui keduanya.
Adapun syari’at dalam pengertian khusus dikenal sebagai hokum amaliyah yang
ditetapkan Allah untuk umat manusia melalui wahyu yang disampaikan oleh Rosul
sebagai jalan menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat
kelak.[18]
Namun dalam kata tasyri’
ini terkandung makna menciptakan hukum atau undang-undang dan membuat
kaidah-kaidah. Tasyri’ dalam pengertian tersebut adalah “membuat
undang-undang’ baik undang-undang yang dibuat bersumber dari ajaran agama yang
di sebut dengan tsyri’ samawiy maupun dari perbuatan manusia dan hasil
pemikirannya yang dinamakan dengan istilah tasyri’ wad’iy.[19]
Dari pengertian diatas
dapat dipahami bahwa tasyri’ yang dimaksud adalah proses pembuatan
undang-undang yang dimbil dari syari’at. Maka yang dimaksud dengan hikmah al-tasyri’
adalah pengetahuan yang mendalam, kokoh dan mantap dalam menciptakan
undang-undang dari sumber hukumnya, yakni syari’at.
C.
Persamaan dan Perbedaan Karakteristik antara Filsafat dan Hikmah
1.
Persamaan karakteristik Filsafat dan Hikmah
Dalam
tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum dipakai untuk
‘sophia’. Pertama, hikmah: istilah ini dipakai oleh
generasi awal pemikir Muslim sebagai padanan kata ‘sophia’. Kata ini tampaknya
sengaja dipilih supaya lebih mudah diterima oleh kaum Muslim supaya terkesan
bahwa filsafat itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan justru berhulu
dan bermuara pada al-Qur’an.
Al-Amiri,
misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang
pertama kali dianugerahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya
ketujuh filsuf Yunani kuno sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah) –yaitu
Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon. Demikian juga
al-Kindi yang menerangkan bahwa secara harfiah kata ‘falsafah’ artinya hubb
al-hikmah (cinta pada kearifan).
Pandangan
yang kurang lebih sama ditegaskan Ibn Sina dalam buku filsafat yang ditulisnya:
hikmah adalah
kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan
mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya
sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur
al-umur wa ttashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri
thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ beginilah yang
mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Artinya,
ada kesamaan antara filsafat dengan hikmah, yakni sama-sama menggunakan akal
untuk menemukan hakikat kebenaran dari sesuatu sekalipun hanya sebatas pada
kemampuan yang dimiliki manusia.
2. Perbedaan antara Filsafat dan Hikmah
Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan
istilah ini. Di antara yang paling keras menentangnya ialah Imam al-Ghazali.
Menurut beliau, para filsuf telah membajak lafaz ‘hikmah’ untuk
kepentingan mereka, padahal ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci
al-Qur’an bukan filsafat, melainkan Syari‘at agama yang diturunkan Allah kepada
para nabi dan rasul. Yang dimaksud dengan hikmah adalah syariat-syariat (ilmu
tentang halal dan haram.) Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Dan Allah
mengajarkan kepadanya al-kitab dan hikmah (ilmu tentang halal dan haram) dan
Taurat.” (QS. Ali Imran 48)
Sebagian besar penafsir berpandangan bahwa yang
dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan al-Qur’an dan ilmu tentang nâsikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabih, muqaddam dan muakkhar dan sebagainya. Dan dalam
al-Qur’an disebutkan: “Allah akan menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah tersebut, ia benar-benar
telah dianugerahi kebaikan yang tak terhingga. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dan memahami hal ini).” (Qs. Baqarah
[2]:269)
Yang
kedua adalah falsafah, istilah yang dimasukkan
ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Al-Kindi
termasuk yang mempopulerkan istilah asing ini melalui karyanya Fi
al-Falsafah al-Ula (Tentang Filsafat Utama). Menurut beliau,
filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan
manusia. Filsafat teoritis bertujuan menemukan kebenaran, sedangkan filsafat
praktis bertujuan mengarahkan prilaku kita agar selaras dengan kebenaran.
Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan.
Filsafat
adalah upaya manusia mengenal dirinya, tambah al-Kindi. Abu Hayyan at-Tawhidi
mencatat tak kurang dari enam definisi filsafat. Sementara kumpulan cendekiawan
yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa’ (boleh jadi nama ini merupakan
terjemahan bebas namun puitis dari philosophoi – kawan-kawan ‘sophia’)
berkata: ‘Permulaan filsafat itu suka kepada ilmu (yakni rasa ingin tahu).
Langkah
berikutnya adalah mengetahui hakikat segala sesuatu sesuai dengan kemampuan
manusia. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang
diketahui (al-falsafah
awwaluha mahabbatu l-‘ulum, wa awsathuha ma‘rifatu
haqa’iqi l-mawjudat bi-hasabi t-thaqati l-insaniyyah wa akhiruha al-qawl wa
l-‘amal bi-ma yuwafiqu l-‘ilma)’.[20]
Berbeda
dengan hikmah, filsafat tidak terkandung keharusan adanya pengetahuan tentang
ketuhanan, tentang manfaat dan faedah sesuatu yang direnungkan atas dasar wahyu
dari Allah. Sedangkan hikmah mengharuskan hal itu semua.[21]
Kesimpulan
1. Filsafat
adalah pengetahuan tentang kebjaksanaan dan bukan kebijaksanaan itu sendiri,
karena dari sisi karakteristiknya filsafat masih sebatas mencari makna
kebenaran dan nilai kebijaksanaan sehingga masih sangat dimungkinkan tidak
tercapainya hakikat dari kebijaksanaan yang dimaksud.
2. Kaitannya
dengan hikmatutasyri’iyah filsafat mempunyai peluang dalam menemukan hikmah
disyari’atkannya hukum tertentu, sehingga filsafat hanya sebatas alat
metodologis untuk menemukan nilai kebenaran yang aplikatif sehingga nilai-nilai
hikmah hukum tersebut benar-benar menyentuh pada tataran ontologis, metodolois
dan sampai pada ranah aksiologis sehingga tidak ada kesenjangan antara teks
hukum dengan konteks sosial.
3. Perbedaan
antara filsafat dan hikmah terletak pada nilai pemahamannya yang bersifat
relatif dan absolut. Hal ini dapat kita perhatikan dari pengertian tentang
filsafat sebagai ilmu yang
mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia, sedangkan hikmah
merupakan pengetahuan hakiki dari segala sesuatu yang disampaikan oleh Allah
kepada manusia melalui wahyunya. Adapun persamaannya adalah keduanya sama-sama
menggunakan akal dalam menemukan hakikat kebenaran.
E. Penutup
Pembahasan
tentang filsafat tentu merupakan pembahasan yang menarik yang tidak ada
habisnya untuk digali, akan tetapi kebenaran yang terukur secara falsafi belum
tentu merupakan sebuah kebenaran yang telah sempurna. Kebenaran hakiki hanya
milik Yang Kuasa, maka manusia hanya mampu menemukan tanda-tanda kebenaran itu
dari apa yang telah Allah perlihatkan melalui wahyunya dan melalui tanda-tanda
yang ada disekitar kita yang dikenal dengan istilah ayat kauniyah.
Tanda-tanda
kebenaran yang terdapat dalam wahyu tidak dapat terbantahkan, dan inilah yang
disebut hikmah. Adapun tanda-tanda yang terdapat diluar wahyu hanya sebatas
pada ranah kebenaran relatif.
Wallahu
a’lam bishshowab....
[1] Beni Ahmad
saebani,filsafat hukum islam(Bandung;Pustaka Setia,cet. I tahun
2008),hlm. 8,selanjutnya disebut saebani,filsafat Hukum
[2] K Bertens,sejarah
filsafat Yunani,(Yogyakarta,Penerbit Kanisius;cet. 11 tahun 1994),hlm.
13,selanjutnya disebut Bertens,Sejarah.
[3] Bertens,Sejarah,37.
[4] Bertens,Sejarah,43
[5] Lihat,Dedi
Supriyadi, M.Ag,Pengantar Filsafat Islam,(Bandung;CV Pustaka
Setia,cet.II,thn. 2010),hlm. 35. Selanjutnya disebut Supriyadi,Pengantar.
Lihat pula Harun Nasution,Filsafat Agama, (Jakarta; Bulan Bintang,cet,
IV;tahun 1989),hlm. 11.
[6] Bertens,Sejarah.hlm.13
[7] Abu Ahmadi,Filsafat
Islam,(Semarang,Penerbit;Toha Putra;tahun 1982),hlm.9
[8] Harun
Nasution,filsafat Agama,(Jakarta; Bulan Bintang,cet, IV;tahun 1989),hlm.
3
[9] Saebani,Filsafat
Hukum,hlm. 27
[10] Saebani,Filsafat
Hukum,hlm. 28
[11]Saebani,Filsafat
Hukum,hlm. 28, lihat pula Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;Yayasan
Piara;tahun 1997),hlm. 2
[12] Saebani,Hukum
Islam,hlm. 29
[13] Lihat
Supriyadi,Pengantar,hlm. 17
[14] Allamah
Thabathabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 2, hal.
351.
[15] Lihat
Supriyadi,Pengantar,hlm. 15, lihat pula Ensiklopedia Hukum Islam,Depag
RI, Jakarta,1997,hlm.550.
[16] Wahbah
Zuhaili,Al-Qur’an, Paradigma Hukum dan Peradaban,(Surabaya: Risalah Gusti,
cet.I,1996) hlm. 48
[17] Juhaya S.
Praja,Tjun Surjaman(Ed.), Hukum Islam di Indonesia,(Bandung:PT Remaja
Rosda Karya,cet.I;1991) hlm. v
[18] Amir
Syarifuddin,Ushul Fiqih,jilid I;(Jakarta;Logos Wacana Ilmu,cet. I;1997)
hlm. 4. selanjutnya disebut Syarifuddin,Ushul Fiqih
[19] Saebani,Filsafat
Hukum,hlm. 49, lihat pula Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung;Yayasan
Piara;tahun 1997),hlm. 7
[21] Lihat
Supriyadi,Pengantar,hlm. 17, lihat pula juhaya S. Praja,Filsafat
Hukum,hlm. 4 dan 6
Komentar
Yang baru mewarnai dunia PTC saat ini. Sambux, online sejak Desember 2012, dengan sistem kerja hampir mirip Neobux ataupun Probux. So mari kita lihat bagaimana kiprahnya, apakah mampu menyamai ataupun mengungguli sang raja bux, Neobux. Semuanya biarlah waktu yang menjawabnya.
silahkan klik di bawah ini…
http://cpchenko.blogspot.com/2013/01/sambux-ptc-no-scam-terbaru-dan-3-ptc.html
Balas