Wasiat


WASIAT
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS


Pendahuluan 
Wasiat biasanya dipahami sebagai pesan yang disampaikan seseorang sebelum kematian datang.[1] Pada umumnya orang akan memahami bahwa objek wasiat berupa harta. Pemahaman semacam ini memang tidak salah, karena ada hadits yang berbicara tentang wasiat dengan redaksi yang menginformasikan tentang jumlah maksimal benda yang diwasiatkan.[2] Sehingga wasiat seakan dipahami hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai harta.
Jika melihat pada redaksi ayat yang menjadi legitimasi atas wasiat secara tekstual, maka kita akan melihatnya sebagai pesan terakhir tentang sesuatu peninggalan yang diistilahkan dengan al-khair yang berarti harta.[3] Legitimasi Allah SWT terhadap wasiat dalam Al-Qura’an surat Al-Baqarah 2/180[4] itu memang sangat erat hubungannya dengan masalah harta peninggalan (waris). Bahkan sebagian ulama memandang bahwa wasiat adalah cara pembagian waris sebelum turunnya ayat waris, sehingga wajar jika pemahaman terhadap wasiat hanya terbatas pada masalah harta.
Hadits Nabi, dalam hal ini sebagai penjelas dan penafsir otoritatif pertama atas al-Qur’an, setidaknya dapat membawa kita pada pengertian wasiat sebagai pesan terakhir tentang kebaikan yang tidak hanya terbatas pada harta peninggalan. Sebagai contoh, hadits riwayat Imam Bukhori yang menjelaskan tentang wasiat Nabi SAW.[5]
حدّثنا خَلاّدُ بنُ يحيى حدَّثنا مالكٌ هوَ ابنُ مِغْوَلٍ حدَّثَنا طلْحَةُ بنُ مُصَرِّفٍ قال: «سألتُ عبدَ اللهِ بنَ أبي أوفى رضيَ اللهُ عنهما : هل كانَ النبيُّ صلى الله عليه وسلّم أوصى ؟ فقال: لا. فقُلتُ: كيفَ كُتِبَ على الناسِ الوَصيَّةُ أو أمِروا بالوصيَّة ؟ قال : أوصى بكتابِ اللهِ.
Akan tetapi hadits lain justeru mengisyaratkan bahwa wasiat adalah salah satu cara yang digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui harta peninggalannya, seperti pada hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal.[6]
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ ; زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ  ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ (
Pemahaman atas hadits yang pertama seakan menunjukkan bahwa wasiat merupakan pesan terhadap suatu peninggalan yang baik untuk dikerjakan. Pesan yang disampaikannya pun tidak terbatas pada harta peninggalan saja. Yang penting pesan-pesan baik yang disampaikan itu untuk dilaksanakan setelah kematian yang memberi wasiat dan memberikan manfaat baik bagi pemberi wasiat sebagai amal sholih maupun kepada yang diberi wasiat sebagai kebaikan bagi kehidupannya di dunia.
Hadits yang pertama tentu sangat berbeda dengan hadits yang kedua. Hadits ini secara jelas menunjukkan kata amwal sebagai objek dari wasiat sebagai bentuk amal baik tambahan ketika akan meninggal.
Dalam makalah ini penulis ingin mengetahui sekelumit tentang wasiat dalam perspektif al-Qur’an dan Hadits untuk mengetahui wasiat yang sebaiknya dilakukan. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut; pendahuluan, Pengertian wasiat dalam al-Qur’an dan Hadits, Subjek dan objek waiat dalam al-Qur’an dan Hadits, Wasiat dalam perspektif fiqih, dan kesimpulan.

Pengertian Wasiat Dalam Al-Qur’an dan Hadits
A.    Pengertian Wasiat
Kata wasiat terambil dari kata washsha wa awsha yushi washiyatan, sama dengan wazan hadiyatan yang terambil dari kata fi’il ahda yuhdy. Secara terminologi bermakna berwasiat atau berpesan. Wasiat merupakan kata tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah Al-washaya[7]. Kata wasiat terambil dari kata washsha yuwashshi[8] wa awsha yushy washiyatan. Secara terminologi bermakna pesan atau berpesan. Contoh ungkapan wasiat dalam bahasa Arabnya adalah sebagai berikut;
وصيت الشيء إذا وصلته
Aku berpesan (berwasiat) tentang sesuatu apabila sampai padaku (kematian).
Atau dikatakan :
وصي و أوصي فلانا بكذا
Seseorang berwasiat, berpesan kepada si anu dengan itu.[9]
Secara etimologi pengertian wasiat adalah perintah untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya dari sesuatu yang bermanfaat, baik bagi orang yang diperintahkannya atau bagi orang yang memerintahkan (orang yang berwasiat) yang dilakukan pada saat meninggalnya orang yang berwasiat, yang bermanfaat dalam hidupnya (orang yang diwasiati) atau pada sesuatu setelah meninggalnya (orang yang berwasiat).[10]
Dari pengertian tadi, dapat kita pahami bahwa makna wasiat adalah perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang sifatnya tidak terbatas pada jenis tertentu. Bisa saja perintah itu berupa sesuatu yang harus dikerjakan terhadap suatu benda, atau suatu pekerjaan yang baik, atau meninggalkan pekerjaan buruk. Seperti berwasiat untuk selalu melakukan amar makruf dan nahi munkar, meninggalkan bidang pekerjaan yang secara syara’ diharamkan dan lain sebagainya.
Sesuatu yang diwasiatkan pun harus jelas manfaatnya baik bagi orang yang berwasiat setelah meninggalnya atau bagi kehidupan orang yang menerima wasiat. Dan telah dipahami pula kemutlakan makna wasiat sebagai perintah terhadap sesuatu yang baik setelah kematian orang yang berwasiat.[11] Demikian jika kita merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an tentang wasiat Allah dan para Nabi serta hadits Rasulullah SAW dari ‘Irbadh ibn Sariyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Turmudzi, Abu Dawud dan Ibnu Hibban, maka wasiat yang terdapat dalam hadits ini bukan benda yang bersifat materil.[12] Ini berarti hadits pun mengindikasikan pada wasiat yang bukan berupa benda materil.

B.     Makna Wasiat dalam al-Quran dan Hadits
Kata wasiat dalam Al-Qur’an dengan wazan mashdar dalam bentuk kata tunggal tertulis sejumlah 8 kata, dan kata derivasi dari kata masdar wasiat disebut sebanyak 24 kali yang tersebar pada 22 ayat dan terdapat dalam 13 surah.[13] Kata wasiat dalam Al-Qur’an bisa berarti berpesan, menetapkan dan memerintahkan seperti dalam QS. Al-An’am ayat 151, 152, 153,[14] dan An-Nisa ayat 131,[15] bisa juga bermakna mewajibkan seperti dalam QS Al-Ankabut ayat 8, Luqman ayat 14, Asy-Syura ayat 13 dan Al-Ahqaf ayat 15, dan bermakna mensyari’atkan seperti dalam QS An-Nisa ayat 11.[16]
Kata yang menunjukan kepada makna wasiat dan derivasinya dalam al-qur’an dapat dilihat dari setiap ayat yang menunjukkan kata yang bermakna wasiat. Kata wasiat yang tersebut sebanyak 8 kali itu tersebar dalam tiga surat. Tercatat dua kali pada surat Al-Baqarah 2/180 dan 240, terbanyak sejumlah lima kali terdapat pada surat An-Nisa 4/11-12, dan termaktub satu kali pada surat Al-Maidah 5/106.[17]
Term wasiat dalam bentuk fi’il madli (kata kerja lampau) yakni kata washsha yang berarti telah berwasiat, terulang dalam al-Qur’an sebanyak 2 kali dalam dua surat, yaitu surat al-Baqarah 2/132 dan surat asy-Syura 42/13. Pengguanan kosa kata washsha pada kedua ayat tersebut menceritakan tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’kub yang telah berwasiat kepada anak-anaknya agar tetap dalam agam islam.[18]
Sedangkan wasiat dalam bentuk fi’il madli yang diikuti oleh dlamir jamak sebagai objek penerima wasiat (washshakum) terulang dalam al-Qur’an sebanyak empat kali[19] dan  tercatat dalam satu surat yaitu surat al-An’am 6/144, 151, 152 dan 153.
Term washshaina yang berarti kami berwasiat (kami mewajibkan) tercatat sebanyak lima kali, yaitu pada surah An-Nisa 4/131, Al-Ankabut 28/8, Al-Luqman 31/14, Al-Syura 42/32, Al-Ahqof 46/15
Kata awsha dalam bentuk muta’addi tercantum sebanyak satu kali[20] yaitu pada surah Maryam 19/31. Term ini merupakan fi’il madli dalam bentuk tsulasi mazid dari wazan af’ala-yuf’ilu. Dalam menterjemahkan wazan ini mendapatkan tambahan awalan “me” dan akhiran “kan”. Pada surah Maryam 19/31 kata awshani mempunyai arti memerintahkan[21].
Derivasi kata wasiat yang terambil dari wazan fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukan masa kini dan akan datang) dengan pelaku yang berbeda terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali yang terdapat di dalam surat Al-Nisa 4/11-12.[22]
Kata tawaashau menunujukan pada pengertian saling berwasiat atau berpesan satu sama lain.[23] Term ini tercatat [24]sebanyak lima  kali,[25] yaitu satu kali pada surat Al-Zariyat 51/53, dua kali pada surat Al-Balad 90/17 dan dua kali pada surat Al-‘Ashr 103/3. Sedangkan kata mushi tercantum sekali[26] pada surah Al-Baqarah 2/182. Kata ini merupakan bentuk isim fa’il yang berarti pelaku wasiat.
Berikutnya adalah kata taushiyah. Kata ini tersebut dalam Al-Quran hanya satu kali[27] dalam surat Yasin 36/50. Taushiyah adalah bentuk kata mashdar yang terambil dari kata washsha dengan menggunakan tasydid. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang musyrik tidak kuasa untuk berwasiat apapun ketika sangkakala ditiup.[28]
Adapun kata lain yang sepadan dengan kata wasiat adalah kata wa’adza ya’idzu  yang artinya menasehati. Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Umar dalam menfsirkan kata ya’idzukum la’allakum tadzakkarun dalam surat An-Nahl 16/90 bahwa ya’idzukum bermakna yushikum.[29]



Subjek dan Objek Wasiat dalam al-Qur’an dan Hadits
Jika kita mengamati wasiat yang terdapat dalam al-Quran, maka wasiat yang tergambarkan seolah-olah tidak terbatas pada masalah harta saja. Kita bisa mengamati pada ayat-ayat tentang kisah nabi-nabi terdahulu, hampir seluruhnya menggambarkan wasiat yang menunjukkan pada sesuatu yang bukan harta, melainkan wasiat tentang kebaikan. Begitu pula yang terdapat dalam surat al-‘Ashr 3/3, begitu jelasnya ayat ini menganjurkan untuk saling berwasiat dalam kebenaran[30] dan dalam kesabaran.[31]
Beberapa perbedaan subjek dan objek wasiat yang ada dalam al-Qur’an dapat dilihat dari ayat-ayat tentang wasiat. Adapun perbedaan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.       Wasiat Allah kepada ahli kitab berupa perintah taqwa. Hal ini termaktub dalam surat an-Nisa 3/131. Dalam ayat lain Allah SWT berwasiat kepada umat manusia melalui rasulnya. Biasanya bentuk wasiat yang datang dari Allah adalah berupa perintah berbuat baik dan bertakwa atau berupa ketetapan hukum yang harus dilakukan oleh setiap hambanya, seperti yang dijelaskan dalam QS Al Ankabut 29/8:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ .
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepadaKu-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(al-Ankabut; 29/8)
Hal senada juga yang terdapat pada surat Luqman 31/14 dan al-Ahqaf 46/15. Keduanya memiliki makna wasiat yang sama, yakni berbuat baik kepada orang tua. Dan wasiat Alah kepada Siti Maryam dalam surat Maryam 19/31 yang isisnya berupa perintah untuk mendirikan sholat dan menunaikan zakat.[32] Dalam suarat asy-Syura 42/13 juga Allah berwasiat kepada Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS dan kepada Nabi Muhammad SAW sendiri. Adapun wasiatnya berupa perintah menegakkan agama dan larangan bercerai berai tentangnya.
Disamping itu, Allah juga berwasiat kepada manusia untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan dengan menggunakan kata wa’adza ya’idzu dalam surat An-Nahl 16/90.[33] Tentunya masih banyak lagi wasiat Allah SWT kepada manusia tentang hal berbagai macam kebajikan yang tidak dapat disebutkan semuanya.
Adapun wasiat Allah yang terdapat dalam surat an-Nisa 3/11 adalah tentang hukum waris yang didahului dengan kata yushikumullah yang berarti bahwa Allah berwasiat kepada kalian.
b.      Wasiat Nabi kepada umat dan anak cucunya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dalam surat al-baqarah 2/132:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
c.       Wasiat yang dilakukan oleh antar orang muslim, seperti dalam beberapa ayat yang diantaranya memerintahkan untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran yang terapat pada surat al-‘Ashr 103/3.
Begitu juga yang terdapat dalam surat al-Balad 90/17 yang menjelaskan tentang sifat orang mukmin yang saling berwasiat (berpesan) dalam bersabar dan dalam kasih sayang.
d.      Wasiat yang dilakukan orang pada hartanya. Wasiat ini merupakan wasiat yang secara khusus dibahas dalam surat al-Baqarah 2/180. Ayat ini sebagai dasar hukum wasiat dalam fiqih islam.
Adapun dalam hadits Nabi SAW pembahasan wasiat tidak hanya didominasi oleh wasiat yang bersifat maeril. Akan tetapi karena hadits tentang wasiat yang bersifat material itu berkaitan dengan masalah hukum, maka hadits-hadits yang bernuansa materil cenderung lebih mudah didapat dalam kitb-kitab klasik dan buku-buku ketimbang hadits wasiat yang bersifat imateril. Mungkin hal ini karena berkaitan dengan masalah hukum wasiat atas harta peninggalan yang memiliki pengaruh pada faktor kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama kaitannya dengan permasalahan warisan bagi keluarga. Namun, tidak sedikit pula hadits yang menjelaskan wasiat Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat imateril. Diantaranya, hadits dari Jabir tentang larangan berbuat syirik kepada Allah SWT diikuti dengan wasiat lainnya[34] dan wasiat Nabi SAW ketika menjelang wafatnya. Beliau berwasiat tenang sholat dan hamba sahaya[35] dengan redaksi sebagai berikut:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَ سَفِينَةُ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ كَانَ عَامَّةُ وَصِيَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيضُ بِهَا لِسَانُهُ
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa objek wasiat yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun Hadits ada dua macam, yakni objek wasiat yang bersifat materil yang dalam bahasa al-Qur’annya disebut dengan al-khair yang berarti harta yang banyak, begitu juga dengan Hadits yang menjelaskan tentang jumlah maksimal dari harta yang dikeluarkan untuk wasiat, yaitu 1/3 dari harta.
Adapun yang bersifat imateril adalah berupa takwa kepada Allah, kewajiban menyembah hanya kepada Allah, menetapi agama islam, perintah agama dalam berbuat baik, berlaku adil, memberi kaum kerabat, meninggalkan perbuatan keji dan munkar serta permusuhan. Dan tentunya masih sangat banyak wasiat yang bersifat imateril yang terdapat di dalam al-Qur’an. Begitu juga dengan Hadits Nabi SAW, telah diterangkan di atas bahwa wasiat bisa berupa perintah terhadap sesuatu yang mutlak, bersifat umum dan tidak mengikat hanya pada bentuk benda yang bersifat materil.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan masalah hukum wasiat, semua ulama sepakat bahwa dasar hukum wasiat adalah ayat 180 dari surat al-Baqarah/2. Bahkan secara dzahir dari ayat tersebut ulama sepakat bahwa wasiat itu wajib hukumnya. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Wasiat dalam perspektif Fiqih
Namun, ada perbedaan dalam masalah apakah ayat ini muhkam atau mansukh.[36] Perbedaan ini pun membawa konsekwensi hukum yang berbeda pula. Ulama yang mengatakan bahwa ayat ini muhkam, maka konsekwensinya adalah wasiat itu tetap hukumnya wajib.[37] Bagi ulama yang berpendapat bahwa ayat tersebut mansukh,[38] maka wasiat dihukumi sunnah atau tathawu’.[39] Sebelum diturunkannya ayat waris yang menjadi nasikh bagi ayat wasiat ini, Allah telah menjelaskan bahwa wasiat itu wajib, adapun wasiat itu wajib diberikan kepada orang yang disebut dalam ayat ini dengan (lil walidaini wal aqrobina), yaitu mewajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dekat, akan tetapi setelah turunnya ayat tentang waris, maka ayat ini termansukh.[40]
Wasiat merupakan pesan yang harus dilaksanakan setelah kematian orang yang berwasiat. Pesan itu disampaikan sebelum kematian benar-benar datang menghampiri.[41] Pada mulanya hukum wasiat dalam al-Qur’an ditetapkan sebagai kewajiban bagi kaum muslimin menyangkut harta benda yang ditinggalkan. Ayat ini seakan menggambarkan pembagian waris saat belum turunnya ayat waris. Tentu ini masih perlu pengkajian lebih dalam lagi berkaitan dengan asumsi tersebut.
Pada kenyataannya memang pada masa jahiliyah harta peninggalan itu hanya dapat dimiliki oleh anak laki-laki atau kerabat laki-laki saja. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya bahwa pada masa jahiliyah bangsa Arab memiliki adat jika seorang mati meninggalkan seorang atau lebih dari anak laki-laki, maka hartanya itu untuk anak-naknya tanpa memberikan sedikitpun untuk orang tua dan kerabat dekat lainnya. Dan jika tidak memiliki anak laki-laki, maka hartanya akan dikuasai oleh kerabat laki-laki paling dekat seperti ayah, paman, atau anak paman. Pemilik harta terkadang berwasiat terhadap sebagian atau seluruh hartanya untuk sebagian anak-anak laki-lakinya, kerabatnya, atau temannya.[42]
Kemudian al-Qur’an memperbaiki wasiat ini dengan menentukan siapa yang harus mendapatkan wasiat terlebih dahulu. Dalam surat al-Baqarah 2/180 sangat jelas disebutkan bahwa yang didahulukan mendapatkan wasiat itu adalah kedua orang tua dan kerabat dekat baik laki-laki maupun perempuan. Dalam pembagian warisan pada masa jahiliyah, keduanya sering diabaikan jika ada anak laki-laki, atau bahkan tidak mendapatkan apapun lantaran telah diwasiatkan seluruhnya untuk orang tertentu seperti anak laki-laki, kerabatnya atau bahkan temannya.
Adapun mengenai batasan harta yang boleh dikeluarkan dalam wasiat adalah 1/3 dari harta peninggalan.[43] Artinya, jika seseorang ingin berwasiat, ia harus terlebih dahulu mengetahui jumlah hartanya, baru kemudian berwasiat. Atau, jika seseorang melakukan wasiat dan ternyata melebihi batas dari 1/3 hartanya, maka yang harus dikeluarkan untuk wasiat itu harus tidak boleh lebih dari 1/3.
Wasiat dengan jumlah 1/3 dari harta sebenarnya merupakan jumlah yang sangat besar, sedangkan 2/3nya untuk ahli waris yang ditinggalkan. Permasalahannya karena harta peninggalan merupakan hak milik ahli waris ketika pemilik hartanya meninggal. Sedangkan dalam pembagian warisan sering kali terjadi permasalahan keluarga yang diakibatkannya. Jika terlalu besar yang dikeluarkan untuk orang lain, tentu bisa berakibat buruk juga bagi ahli waris yang ditinggalkan. Mungkin demikian yang dimaksudkan oleh Nabi SAW dengan menetapkan 1/3 untuk wasiat, yakni seperti yang dijelaskan oleh Nabi SAW sendiri ketika Sa’ad bin Abi Waqos ingin berwasiat, padahal ia hanya meninggalkan satu orang putri saja. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Saad bin Abi Waqos ra berkata, “ya Rasulullah, saya punya harta tetapi saya tidak punya ahli waris kecuali seorang putri, bolehkah aku berwasiat dua pertiga dari hartaku? Jawab Nabi Saw, “tidak boleh” Saad berkata, “jika tidak boleh, maka bagaimana jika setengah dari hartaku? Jawab Nabi, “tidak boleh”, Saad berkata; ”jika tidak boleh, maka bagaimana jika sepertiga?” Jawab Nabi Saw, “sepertiga itu sudah banyak, sesungguhnya jika anda meninggalkan ahli warismu kaya itu lebih baik dari pada anda meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga terpaksa minta kepada orang lain.........”[44]
Dalam hadits ini seakan Nabi SAW menginginkan kebaikan seseorang itu terlebih dahulu dikhususkan untuk keluarga dekat. Hal ini terbukti dengan pernyataan Nabi SAW sendiri bahwa meninggalkan ahli waris dengan kondisi ekonomi yang baik itu lebih baik.
Wasiat dalam islam sangat dianjurkan. Bahkan ada beberapa ulama yang mewajibkannya. Beberapa hadits pun menggambarkan begitu pentingnya makna wasiat bagi orang yang akan meninggal. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari bahwa shadaqah yang dilakukan ketika akan datangnya maut adalah shadaqah yang lebih utama.[45] Hadits senada juga diriwayatkan oleh al-Daruquthny dari Mu’adz bin Jabal.[46] Bahkan ada hadits yang menganjurkan agar orang yang memiliki harta untuk menuliskan wasiat.[47] Pemilikan wasiat baru dapat terlaksana jika orang yang berwasiat[48] telah meninggal. Dalam pembagiannya, wasiat harus didahulukan dari pada pembagian warisan.
Kesimpulan dan Penutup
Wasiat merupakan pesan seseorang untuk dilaksanakan setelah kematian orang yang berwasiat. Wasiat adalah perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang sifatnya tidak terbatas pada jenis tertentu. Bisa saja perintah itu berupa sesuatu yang harus dikerjakan terhadap suatu benda atau suatu pekerjaan yang baik, atau meninggalkan pekerjaan buruk. Seperti berwasiat untuk selalu melakukan amar makruf dan nahi munkar, meninggalkan bidang pekerjaan yang secara syara’ diharamkan, dan lain sebagainya.
Wasiat dalam islam sangat dianjurkan. Bahkan ada beberapa ulama yang mewajibkannya. Beberapa hadits pun menggambarkan begitu pentingnya makna wasiat bagi orang yang akan meninggal. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari bahwa shadaqah yang dilakukan ketika akan datangnya maut adalah shadaqah yang lebih utama.
Biasanya objek wasiat merupakan harta benda atau manfaat dari sesuatu, sekalipun ada bentuk wasiat yang berupa perintah untuk melakukan sesuatu yang baik. Objek wasiat yang terdapat didalam al-Qur’an maupun Hadits ada dua macam, yakni objek wasiat yang bersifat materil yang dalam bahasa al-Qur’annya disebut dengan al-khair yang berarti harta yang banyak, begitu juga dengan Hadits yang menjelaskan tentang jumlah maksimal dari harta yang dikeluarkan untuk wasiat, yaitu 1/3 dari harta.
Jumlah maksimal harta benda yang boleh dikeluarkan untuk wasiat adalah 1/3. Semua sepakat dengan jumlah tersebut berdasarkan hadits Nabi. Namun demikian, ada beberapa pendapat tentang kesunnahan dalam jumlah harta yang diwasiatkan berdasarkan tindakan para sahabat yang berwasiat. Diantaranya Abu Bakar yang berwasiat dengan 1/5 hartanya dan Umar bin Khattab dengan ¼ hartanya.


[1] Dalam al-Qur’an disebutkan dengan kata idza hadlara. Maksudnya adalah jika datang sebab-sebab dan tampak tanda-tandanya. Lihat Nashiruddin Abu Khair Abdullah al-Baidhawy,Anwar al-Tanzil wa Asror al-Ta’wil,Maktabah Syamilah,juz 1,hlm. 215. Selanjutnya disebut al-Baidhawy,Anwar al-Tanzil.
[2] Muslim, Shahih Muslim,Juz 8,Maktabah Syamilah, hlm. 395. Selanjutnya disebut, Muslim,Shahi`h. Adapun redaksi haditsnya sebagai berikut:
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَنِي مَا تَرَى مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ لَا الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ )رواه مسلم(
Artinya: “Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah menjenguk saya waktu haji wada’ karena sakit keras yang saya alami sampai hampir saja saya meninggal. Lalu saya berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2/3 dari harta saya? Beliau menjawab “Tidak” saya mengatakan lagi bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau menjawab “Tidak” sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan, sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, menengadahkan tangan meminta-minta pada orang banyak. Apapun yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu”.
[3]  Al-Khair dalam ayat ini oleh Ibnu Abbas ditafsiri dengan kata al-maal (harta), begitu juga dengan al-Mujahid menjelaskan bahwa setiap kata al-khair yang terdapat dalam al-Qur’an berarti al-maal, seperti dalam ayat وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (QS. Al-Adhiyat/8) yang terjemahannya sebagai berikut “dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”. Lihat Muhammad ibn Jarir al-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz 3, Maktabah Syamilah, hlm. 384-393. Selanjutnya disebut al-Thabary,Tafsir al-Thabary. Lihat pula Abu Muhammad Husein bin Mas’ud al-Baghawi,Ma’alim al-Tanzil al-Syahir bi Tafsir al-Baghawi, juz 1,Maktabah Syamilah, hlm. 192. Selanjutnya disebut al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi. Lihat pula Muhammad Ali al-Sayis,Tafsir Ayat al-Ahkam,tt.hlm. 55. Selanjtnya disebut al-Sayis,Tafsir.akan tetapi terjadi perbedaan pendapat berkaitan dengan jumlah harta yang diwajibkan atas seseorang untuk berwasiat. Menurut Ali ibn Abi Thalib, Aisyah dan Ibnu Abbas 700 dinar itu sedikit, menurut Qatadah dari imam Hasan al-khair itu 1000 dinar atau lebih, dan menurut al-Sya’by antara 500 sampai dengan 1000 dinar. Lihat Muhammad ibn Ahmad Syamsuddin al-Qurtuby,Tafsir al-Qurtuby,juz 2,Maktabah Syamilah, hlm. 259.
[4] QS. Al-Baqarah ayat 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# ........
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta .....”
[5]HR Bukhari,Shahih Bukhary,juz 9,Maktabah Syamilah,hlm.268. Selanjutnya disebut Bukhary,Shahih Bukhary.
[6] HR Daruquthni,Sunan al-Daruquthny.Maktabah Syamilah, Juz 10 hlm. 72. Selanjutnya disebut Daruquthny,Sunan.
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah mengizinkan kepadamu bersedekah sepertiga dari hartamu waktu kamu akan meninggal untuk menambah kebaikanmu." Riwayat Daruquthni.
[7] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. XIV, 1563. Selanjutnya disebut Munawwir, Al-Munawwir.
[8] Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir wa al-Tanwir,juz 2,Maktabah Syamilah, hlm. 126. Selanjutnya disebut Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir.
[9] Munawwir, Al-Munawwir. 1563.
[10] Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,Juz 2,hlm. 126.
[11] Lihat Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,Juz 2,hlm. 126
[12] Lihat Imam Nawawi,Syarhu al-Arba’in al-Nawawiyah,Juz 1,Maktabah Syamilah,hlm. 25. Lihat pula Ibnu Majah,Sunan Ibnu Majah,Juz 1,Maktabah Syamilah,hlm. 49. Demikian redaksi Haditsnya:
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَوْعِظَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا. قَالَ: «أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ. وَإنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّـينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ، فَإنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ». رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان في صحيحه وقال الترمذي: حديث حسن صحيح.
[13] Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faadz Al-Qur`an Al-Karim (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t), 842. Selanjutnya disebut ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam.
[14] Lihat al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 3, hlm. 203.
[15] Lihat Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,juz 4, hlm. 50
[16] Lihat Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,juz 3, hlm. 344
[17] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[18]  Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz 3 hlm. 93
[19] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[20]‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[21] { وَأَوْصَانِي بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ } أي: أمرني بهما al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi, juz 5 hlm. 23.
[22]‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[23] Al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 7, hlm. 380
[24] Dalam membaca kata mushi pada ayat tersebut al-Kisa’i, Abu Bakar dan Ya’kub membacanya memfathahkan huruf wawu dan mentasydidkan huruf shad, sehingga terbaca muwashshy sebanding dengan wazan mufa’il bentuk isim fa’il dari fi’il madhi washsha. Lihat al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 1, hlm. 194.
[25] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[26] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[27] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[28] Lihat Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz 20, hlm. 530
[29]Lihat Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz 17, hlm. 280
[30]  Menurut imam Hasan dan imam Qatadah, Kebenaran yang dimasud adalah al-Qur’an, sedangkan menurut imam Muqatil adalah iman dan tauhid. Lihat al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 8, hlm.522.
[31]  Al-Baghawi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah saling berwasiat untuk sabar dalam menunaikan kewajiban dan menjalankan perintah Allah. al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 8, hlm. 522.
[32] Demikian redaksi ayatnya :
ÓÍ_n=yèy_ur %º.u$t7ãB tûøïr& $tB àMZà2 ÓÍ_»|¹÷rr&ur Ío4qn=¢Á9$$Î/ Ío4qŸ2¨9$#ur $tB àMøBߊ $|ym .
Artinya: “Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup..”
[33] Ibnu Abbas menfsiri kata ya’idzu dengan kata yushi dalam ayat tersebut. Ini berarti menurut Ibnu Abbas bahwa selain kata wasiat itu sendiri juga ada kata lain yang memiliki kandungan yang sama, yakni wa’adza yang berarti nasihat dalam bahasa Indonesia. Lihat Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz 17, hlm. 280
[34]Berikut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim,al-Mustadrok ala al-shahihin,juz 16, hlm. 99. Selanjutnya disebut al-Hakim,al-Mustadrok.
 عن جبير بن نفير قال : دخلت على أميمة مولاة رسول الله قالت: كنت يوماً أفرغ على يديه وهو يتوضأ، إذ دخل عليه رجل فقال: يا رسول الله إني أريد الرجوع إلى أهلي فأوصني بوصية أحفظها، فقال: «لا تُشْرِكَنَّ بِالله شَيْئاً وَإِنْ قُطِّعْتَ وَحُرِّقْتَ بِالنّارِ، وَلا تَعْصِيَنَّ وَالِدَيْكَ، وَإِنْ أَمراكَ أَنْ تَخَلّى مِنْ أَهْلِكَ وَدُنْياكَ فَتَخَلَّ، وَلا تَتْرُكْ صلاةً مُتَعَمِّداً فَمَنْ تَرَكَها مُتَعَمِّداً بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ الله عَزَّ وَجَلَّ وَذِمَّةُ رَسولِهِ وَلا تَشْرَبَنَّ الْخَمْرَ فَإِنّها رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَلا تَزْدَدْ في تُخومٍ فَإِنَّكَ تَأْتِي يَوْمَ الْقِيامَةِ وَعَلَى عُنُقِكَ مِقْدارُ سَبْعِ أَرضينَ، وَلا تفُرَّنَّ يَوْمَ الزَّحْفِ فَإِنَّهُ مَنْ فَرَّ يَوْمَ الزَّحْفِ فَقَدْ باءَ بِغَضَبٍ مِنَ الله وَمَأْواهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصير، وَأَنْفِقْ على أَهْلِكَ مِنْ طَوْلِكَ وَلا تَرْفَعْ عَصاكَ عَنْهُمْ وَأَخِفْهُمْ في الله عَزَّ وَجَلَّ».
[35] Hadits riwayat Imam Ahmad,Musnad Ahmad,juz 54,Maktabah Syamilah, hlm. 124
[36] Lihat al-Sayis,Tafsir, hlm. 55, lihat pula al-Thabary,Tafsir al-Thabary,juz 3, hlm. 385.
[37] Ulama yang berpendapat bahwa ayat ini muhkam karena perspektif nasikh mansukh yang berbeda. Menurut mereka, antara ayat nasikh dan ayat mansukh keduanya harus satu makna, sedangkan wasiat dan waris jelas merupakan dua makna yang berbeda, maka hukum waris tidak dapat menasakh hukum wasiat. Lihat al-Thabary,Tafsir al-Thabary,juz 3, hlm. 384-385.
[38] Ulama yang berpendapat bahwa wasiat itu dinasakh oleh hukum waris adalah karena ada keterngan hadits tidak mendapatkan wasiat bagi ahli waris. Disamping itu beberapa keterangan Sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang dinasakhnya ayat wasiat dengan ayat waris. Pendapat ini yang dipegang oleh jumhur ulama. Lihat al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 1, hlm. 192. Lihat pula Isma’il ibn Umar ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adzim,Juz 1,Maktabah Syamilah, hlm. 492. Bahkan hampir seluruh tafsir al-Qur’an membahasnya.
[39] Imam Syafi’i adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa surat al-Baqarah 2/180 itu dinasakh oleh ayat yang menjelaskan hukum waris. Beliau berpandangan bahwa karena Allah SWT telah memerintahkan wasiat, sedangkan Allah telah menetapkan bagian harta warisan, maka wasiat itu menjadi sunnah (tathawu’). Lihat Muhammad ibn Idris al-Syafi’i,Ahkam al-Qur’an li al-Syafi’i.Maktabah Syamilah,juz
[40]Lihat Hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhory dalam kitab haditsnya,shahih Bukhary,juz 9,Maktabah Syamilah,hlm. 280. Hadits ini cukup menjelaskan tentang dinasakhnya wasiat dengan ayat waris, demikian haditsnya;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ;
كَانَ الْمَالُ لِلْوَلَدِ وَكَانَتْ الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ فَنَسَخَ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ مَا أَحَبَّ فَجَعَلَ لِلذَّكَرِ مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَجَعَلَ لِلْأَبَوَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسَ وَجَعَلَ لِلْمَرْأَةِ الثُّمُنَ وَالرُّبُعَ وَلِلزَّوْجِ الشَّطْرَ وَالرُّبُع
[41] Fakhruddin al-Razi, Tafsir Kabir,juz 3,Maktabah Syamilah, hlm. 73. Selanjutnya disebut al-Razi,Tafsir Kabir.
[42] Ibnu ‘Asyur,Al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 2, Maktabah Syamilah, hlm. 125. Selanjutnya disebut Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir.
[43]Orang yang pertama kali wasiat dengan jumlah 1/3 hartanya adalah Bara’ ibn Ma’rur.Lihat Ibnu Hajar,Fath al-Bari,juz 8,Maktabah Syamilah, hlm. 298. Lihat pula hadist riwayat Bukhary,Shahih Bukhary,juz 9,hlm. 279.
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
مَرِضْتُ فَعَادَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ لَا يَرُدَّنِي عَلَى عَقِبِي قَالَ لَعَلَّ اللَّهَ يَرْفَعُكَ وَيَنْفَعُ بِكَ نَاسًا قُلْتُ أُرِيدُ أَنْ أُوصِيَ وَإِنَّمَا لِي ابْنَةٌ قُلْتُ أُوصِي بِالنِّصْفِ قَالَ النِّصْفُ كَثِيرٌ قُلْتُ فَالثُّلُثِ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ قَالَ فَأَوْصَى النَّاسُ بِالثُّلُثِ وَجَازَ ذَلِكَ لَهُم
[44] Hadits riwayat Bukhary,Shahih Bukhari,juz 9,hlm. 271. Lihat pula Muslim,Shahih Muslim,juz 8, hlm.395.
[45] Ulama hadits memasukkan bentuk shadaqah ini kedalam bab wasiat. Shadaqah yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah wasiat. Lihat Bukhari,Shahih Bukhari,Juz 9, hlm. 282.
[46] HR Daruquthni,Sunan, Juz 10 hlm. 72
[47] Haditsnya sebagai berikut;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عُمَرَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَه.
[48] Orang yang berwasiat biasa disebut sebagai Mushy, yakni setiap pemilik harta secara sah dalam kepemiliknnya, sedangkan orang yang menerima wasiat disebut dengan Musha lahu, yakni orang selain ahli waris, diutamakan dari krabat, bahkan menurut jumhur ulama hukumnya makruh wasiat kepada selain kerabat. Harta benda yang menjadi objek wasiat disebut Musha bihi. Ketiganya merupakan rukun wasiat. Sedangkan rukun wasiat yang terakhir adalah shighat wasiat. Lihat Ibnu Rusyd,Bidayath al-Mujtahid wa Nihyah al-Muqtashid,Daru ihya al-Kutub al-Arabiyah Indunisia,juz 2,tt.hlm, 250.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Hukum Islam

Tarikh Tasyri' Masa Sahabat