Wasiat
WASIAT
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS
Pendahuluan
Wasiat biasanya dipahami sebagai pesan yang disampaikan seseorang sebelum
kematian datang.[1]
Pada umumnya orang akan memahami bahwa objek wasiat berupa harta. Pemahaman
semacam ini memang tidak salah, karena ada hadits yang berbicara tentang wasiat
dengan redaksi yang menginformasikan tentang jumlah maksimal benda yang
diwasiatkan.[2]
Sehingga wasiat seakan dipahami hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai
harta.
Jika melihat pada redaksi ayat yang menjadi legitimasi atas wasiat secara
tekstual, maka kita akan melihatnya sebagai pesan terakhir tentang sesuatu peninggalan
yang diistilahkan dengan al-khair yang berarti harta.[3] Legitimasi
Allah SWT terhadap wasiat dalam Al-Qura’an surat Al-Baqarah 2/180[4] itu
memang sangat erat hubungannya dengan masalah harta peninggalan (waris). Bahkan
sebagian ulama memandang bahwa wasiat adalah cara pembagian waris sebelum
turunnya ayat waris, sehingga wajar jika pemahaman terhadap wasiat hanya
terbatas pada masalah harta.
Hadits Nabi, dalam hal
ini sebagai penjelas dan penafsir otoritatif pertama atas al-Qur’an, setidaknya
dapat membawa kita pada pengertian wasiat sebagai pesan terakhir tentang
kebaikan yang tidak hanya terbatas pada harta peninggalan. Sebagai contoh,
hadits riwayat Imam Bukhori yang menjelaskan tentang wasiat Nabi SAW.[5]
حدّثنا
خَلاّدُ بنُ يحيى حدَّثنا مالكٌ هوَ ابنُ مِغْوَلٍ حدَّثَنا طلْحَةُ بنُ مُصَرِّفٍ
قال: «سألتُ عبدَ اللهِ بنَ أبي أوفى رضيَ اللهُ عنهما : هل كانَ النبيُّ صلى الله
عليه وسلّم أوصى ؟ فقال: لا. فقُلتُ: كيفَ كُتِبَ على الناسِ الوَصيَّةُ أو أمِروا
بالوصيَّة ؟ قال : أوصى بكتابِ اللهِ.
Akan tetapi hadits lain justeru mengisyaratkan bahwa wasiat adalah salah
satu cara yang digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui
harta peninggalannya, seperti pada hadits yang diriwayatkan
oleh Mu’adz bin Jabal.[6]
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
رضي الله عنه قَالَ : قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّهَ
تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ ; زِيَادَةً فِي
حَسَنَاتِكُمْ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ (
Pemahaman atas hadits yang
pertama seakan menunjukkan bahwa wasiat merupakan pesan terhadap suatu peninggalan yang baik untuk dikerjakan.
Pesan yang disampaikannya pun tidak terbatas pada harta peninggalan saja. Yang
penting pesan-pesan baik yang disampaikan itu untuk dilaksanakan setelah
kematian yang memberi wasiat dan memberikan manfaat baik bagi pemberi wasiat
sebagai amal sholih maupun kepada yang diberi wasiat sebagai kebaikan bagi
kehidupannya di dunia.
Hadits yang pertama tentu sangat berbeda dengan hadits yang kedua.
Hadits ini secara jelas menunjukkan kata amwal sebagai objek dari wasiat
sebagai bentuk amal baik tambahan ketika akan meninggal.
Dalam makalah ini penulis ingin mengetahui sekelumit tentang wasiat
dalam perspektif al-Qur’an dan Hadits untuk mengetahui wasiat yang sebaiknya
dilakukan. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut; pendahuluan,
Pengertian wasiat dalam al-Qur’an dan Hadits, Subjek dan objek waiat dalam
al-Qur’an dan Hadits, Wasiat dalam perspektif fiqih, dan kesimpulan.
Pengertian
Wasiat Dalam Al-Qur’an dan Hadits
A. Pengertian Wasiat
Kata
wasiat terambil dari kata washsha wa awsha yushi washiyatan, sama dengan
wazan hadiyatan yang terambil dari kata fi’il ahda yuhdy. Secara
terminologi bermakna berwasiat atau berpesan. Wasiat merupakan kata tunggal, sedangkan
bentuk jamaknya adalah Al-washaya[7]. Kata wasiat terambil dari kata washsha yuwashshi[8]
wa awsha yushy washiyatan.
Secara
terminologi bermakna pesan atau berpesan. Contoh ungkapan wasiat dalam bahasa
Arabnya adalah sebagai berikut;
وصيت
الشيء إذا وصلته
Atau dikatakan :
وصي و
أوصي فلانا
بكذا
Seseorang
berwasiat, berpesan kepada si anu dengan itu.[9]
Secara
etimologi pengertian wasiat adalah perintah untuk mengerjakan sesuatu atau
meninggalkannya dari sesuatu yang bermanfaat, baik bagi orang yang diperintahkannya
atau bagi orang yang memerintahkan (orang yang berwasiat) yang dilakukan pada
saat meninggalnya orang yang berwasiat, yang bermanfaat dalam hidupnya (orang
yang diwasiati) atau pada sesuatu setelah meninggalnya (orang yang berwasiat).[10]
Dari pengertian tadi, dapat kita pahami
bahwa makna wasiat adalah perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu
yang sifatnya tidak terbatas pada jenis tertentu. Bisa saja perintah itu berupa
sesuatu yang harus dikerjakan terhadap suatu benda, atau suatu pekerjaan yang
baik, atau meninggalkan pekerjaan buruk. Seperti berwasiat untuk selalu
melakukan amar makruf dan nahi munkar, meninggalkan bidang pekerjaan yang
secara syara’ diharamkan dan lain sebagainya.
Sesuatu yang diwasiatkan pun harus jelas
manfaatnya baik bagi orang yang berwasiat setelah meninggalnya atau bagi
kehidupan orang yang menerima wasiat. Dan
telah dipahami pula kemutlakan makna wasiat sebagai perintah terhadap sesuatu
yang baik setelah kematian orang yang berwasiat.[11] Demikian jika kita merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an tentang
wasiat Allah dan para Nabi serta hadits Rasulullah SAW dari ‘Irbadh ibn Sariyah
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Turmudzi, Abu Dawud dan Ibnu Hibban, maka
wasiat yang terdapat dalam hadits ini bukan benda yang bersifat materil.[12] Ini berarti hadits pun mengindikasikan pada wasiat yang bukan
berupa benda materil.
B. Makna Wasiat dalam al-Quran dan Hadits
Kata
wasiat dalam Al-Qur’an dengan wazan mashdar dalam bentuk kata tunggal
tertulis sejumlah 8 kata, dan kata derivasi dari kata masdar wasiat disebut
sebanyak 24 kali yang tersebar pada 22 ayat dan terdapat dalam 13 surah.[13]
Kata wasiat dalam Al-Qur’an bisa berarti berpesan, menetapkan dan memerintahkan
seperti dalam QS. Al-An’am ayat 151, 152, 153,[14] dan
An-Nisa ayat 131,[15]
bisa juga bermakna mewajibkan seperti dalam QS Al-Ankabut ayat 8, Luqman ayat
14, Asy-Syura ayat 13 dan Al-Ahqaf ayat 15, dan bermakna mensyari’atkan seperti
dalam QS An-Nisa ayat 11.[16]
Kata
yang menunjukan kepada makna wasiat dan derivasinya dalam al-qur’an dapat
dilihat dari setiap ayat yang menunjukkan kata yang bermakna wasiat. Kata wasiat yang tersebut sebanyak 8 kali itu tersebar dalam tiga
surat. Tercatat dua kali pada surat Al-Baqarah 2/180 dan 240, terbanyak sejumlah
lima kali terdapat pada surat An-Nisa 4/11-12, dan termaktub satu kali pada
surat Al-Maidah 5/106.[17]
Term
wasiat dalam bentuk fi’il madli (kata kerja lampau) yakni kata washsha
yang berarti telah berwasiat, terulang dalam al-Qur’an sebanyak 2 kali dalam
dua surat, yaitu surat al-Baqarah 2/132 dan surat asy-Syura 42/13. Pengguanan kosa
kata washsha pada kedua ayat tersebut menceritakan tentang Nabi Ibrahim
dan Nabi Ya’kub yang telah berwasiat kepada anak-anaknya agar tetap dalam agam
islam.[18]
Sedangkan
wasiat dalam bentuk fi’il madli yang diikuti oleh dlamir jamak sebagai
objek penerima wasiat (washshakum) terulang dalam al-Qur’an sebanyak
empat kali[19]
dan tercatat dalam satu surat yaitu
surat al-An’am 6/144, 151, 152 dan 153.
Term
washshaina yang berarti kami berwasiat (kami mewajibkan) tercatat
sebanyak lima kali, yaitu pada surah An-Nisa 4/131, Al-Ankabut 28/8, Al-Luqman 31/14,
Al-Syura 42/32, Al-Ahqof 46/15
Kata awsha dalam
bentuk muta’addi tercantum sebanyak satu kali[20]
yaitu pada surah Maryam 19/31. Term ini merupakan fi’il madli dalam
bentuk tsulasi mazid dari wazan af’ala-yuf’ilu. Dalam
menterjemahkan wazan ini mendapatkan tambahan awalan “me” dan akhiran “kan”.
Pada surah Maryam 19/31 kata awshani mempunyai arti memerintahkan[21].
Derivasi
kata wasiat yang terambil dari wazan fi’il mudhari’ (kata kerja yang
menunjukan masa kini dan akan datang) dengan pelaku yang berbeda terdapat dalam
Al-Qur’an sebanyak lima kali yang terdapat di dalam surat Al-Nisa 4/11-12.[22]
Kata
tawaashau menunujukan pada pengertian saling berwasiat atau berpesan satu
sama lain.[23]
Term ini tercatat [24]sebanyak
lima kali,[25]
yaitu satu kali pada surat Al-Zariyat 51/53, dua kali pada surat Al-Balad 90/17
dan dua kali pada surat Al-‘Ashr 103/3. Sedangkan kata mushi tercantum sekali[26]
pada surah Al-Baqarah 2/182. Kata ini merupakan bentuk isim fa’il yang
berarti pelaku wasiat.
Berikutnya
adalah kata taushiyah. Kata ini tersebut dalam Al-Quran hanya satu kali[27]
dalam surat Yasin 36/50. Taushiyah adalah bentuk kata mashdar yang
terambil dari kata washsha dengan menggunakan tasydid. Dalam ayat ini
Allah menjelaskan bahwa orang-orang musyrik tidak kuasa untuk berwasiat apapun
ketika sangkakala ditiup.[28]
Adapun
kata lain yang sepadan dengan kata wasiat adalah kata wa’adza ya’idzu yang artinya menasehati. Seperti yang
dijelaskan oleh Ibnu Umar dalam menfsirkan kata ya’idzukum la’allakum
tadzakkarun dalam surat An-Nahl 16/90 bahwa ya’idzukum bermakna yushikum.[29]
Subjek dan Objek Wasiat
dalam al-Qur’an dan Hadits
Jika kita mengamati wasiat yang terdapat dalam al-Quran, maka wasiat
yang tergambarkan seolah-olah tidak terbatas pada masalah harta saja. Kita bisa
mengamati pada ayat-ayat tentang kisah nabi-nabi terdahulu, hampir seluruhnya
menggambarkan wasiat yang menunjukkan pada sesuatu yang bukan harta, melainkan
wasiat tentang kebaikan. Begitu pula yang terdapat dalam surat al-‘Ashr 3/3,
begitu jelasnya ayat ini menganjurkan untuk saling berwasiat dalam kebenaran[30]
dan dalam kesabaran.[31]
Beberapa perbedaan subjek dan objek wasiat yang ada dalam al-Qur’an
dapat dilihat dari ayat-ayat tentang wasiat. Adapun perbedaan tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut:
a. Wasiat Allah kepada ahli kitab berupa
perintah taqwa. Hal ini termaktub dalam surat an-Nisa 3/131. Dalam ayat lain
Allah SWT berwasiat kepada umat manusia melalui rasulnya. Biasanya bentuk
wasiat yang datang dari Allah adalah berupa perintah berbuat baik dan bertakwa atau
berupa ketetapan hukum yang harus dilakukan oleh setiap hambanya, seperti yang
dijelaskan dalam QS Al Ankabut 29/8:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ .
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya. Hanya kepadaKu-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.(al-Ankabut; 29/8)
Hal senada juga yang terdapat pada surat Luqman 31/14 dan al-Ahqaf
46/15. Keduanya memiliki makna wasiat yang sama, yakni berbuat baik kepada
orang tua. Dan wasiat Alah kepada Siti Maryam dalam surat Maryam 19/31 yang
isisnya berupa perintah untuk mendirikan sholat dan menunaikan zakat.[32]
Dalam suarat
asy-Syura 42/13 juga Allah berwasiat kepada Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS,
Isa AS dan kepada Nabi Muhammad SAW sendiri. Adapun wasiatnya berupa perintah
menegakkan agama dan larangan bercerai berai tentangnya.
Disamping
itu, Allah juga berwasiat kepada manusia untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,
dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan dengan menggunakan kata wa’adza ya’idzu dalam surat An-Nahl 16/90.[33]
Tentunya
masih banyak lagi wasiat Allah SWT kepada manusia tentang hal berbagai macam
kebajikan yang tidak dapat disebutkan semuanya.
Adapun wasiat Allah yang terdapat dalam surat an-Nisa 3/11 adalah tentang
hukum waris yang didahului dengan kata yushikumullah yang berarti bahwa
Allah berwasiat kepada kalian.
b. Wasiat Nabi kepada umat dan anak cucunya,
seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dalam surat
al-baqarah 2/132:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ
اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya: “Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub.
(Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam".
c.
Wasiat
yang dilakukan oleh antar orang muslim, seperti dalam beberapa ayat yang
diantaranya memerintahkan untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran yang
terapat pada surat al-‘Ashr 103/3.
Begitu juga
yang terdapat dalam surat al-Balad 90/17 yang menjelaskan tentang sifat orang
mukmin yang saling berwasiat (berpesan) dalam bersabar dan dalam kasih sayang.
d. Wasiat yang dilakukan orang pada hartanya.
Wasiat ini merupakan wasiat yang secara khusus dibahas dalam surat al-Baqarah
2/180. Ayat ini sebagai dasar hukum wasiat dalam fiqih islam.
Adapun dalam hadits Nabi SAW pembahasan wasiat tidak hanya didominasi oleh
wasiat yang bersifat maeril. Akan tetapi karena hadits tentang wasiat yang
bersifat material itu berkaitan dengan masalah hukum, maka hadits-hadits yang
bernuansa materil cenderung lebih mudah didapat dalam kitb-kitab klasik dan
buku-buku ketimbang hadits wasiat yang bersifat imateril. Mungkin hal ini
karena berkaitan dengan masalah hukum wasiat atas harta peninggalan yang
memiliki pengaruh pada faktor kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama kaitannya
dengan permasalahan warisan bagi keluarga. Namun, tidak sedikit pula hadits
yang menjelaskan wasiat Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan sesuatu yang
bersifat imateril. Diantaranya, hadits dari Jabir tentang larangan berbuat
syirik kepada Allah SWT diikuti dengan wasiat lainnya[34]
dan wasiat Nabi SAW ketika menjelang wafatnya. Beliau berwasiat tenang sholat
dan hamba sahaya[35]
dengan redaksi sebagai berikut:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَ سَفِينَةُ
مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ كَانَ عَامَّةُ وَصِيَّةِ نَبِيِّ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ
وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيضُ بِهَا لِسَانُهُ
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa objek wasiat yang terdapat di dalam
al-Qur’an maupun Hadits ada dua macam, yakni objek wasiat yang bersifat materil
yang dalam bahasa al-Qur’annya disebut dengan al-khair yang berarti
harta yang banyak, begitu juga dengan Hadits yang menjelaskan tentang jumlah
maksimal dari harta yang dikeluarkan untuk wasiat, yaitu 1/3 dari harta.
Adapun yang bersifat imateril adalah berupa takwa kepada Allah,
kewajiban menyembah hanya kepada Allah, menetapi agama islam, perintah agama
dalam berbuat baik, berlaku adil, memberi kaum kerabat, meninggalkan perbuatan
keji dan munkar serta permusuhan. Dan tentunya masih sangat banyak wasiat yang
bersifat imateril yang terdapat di dalam al-Qur’an. Begitu juga dengan Hadits
Nabi SAW, telah diterangkan di atas bahwa wasiat bisa berupa perintah terhadap
sesuatu yang mutlak, bersifat umum dan tidak mengikat hanya pada bentuk benda
yang bersifat materil.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan masalah hukum wasiat, semua ulama
sepakat bahwa dasar hukum wasiat adalah ayat 180 dari surat al-Baqarah/2. Bahkan
secara dzahir dari ayat tersebut ulama sepakat bahwa wasiat itu wajib hukumnya.
Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِينَ.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”
Wasiat dalam perspektif Fiqih
Namun, ada perbedaan dalam masalah apakah ayat ini muhkam atau mansukh.[36]
Perbedaan ini pun membawa konsekwensi hukum yang berbeda pula. Ulama yang
mengatakan bahwa ayat ini muhkam, maka konsekwensinya adalah wasiat itu
tetap hukumnya wajib.[37]
Bagi ulama yang berpendapat bahwa ayat tersebut mansukh,[38]
maka wasiat dihukumi sunnah atau tathawu’.[39]
Sebelum diturunkannya ayat waris yang menjadi nasikh bagi ayat wasiat ini,
Allah telah menjelaskan bahwa wasiat itu wajib, adapun wasiat itu wajib diberikan
kepada orang yang disebut dalam ayat ini dengan (lil walidaini wal aqrobina),
yaitu mewajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dekat, akan tetapi
setelah turunnya ayat tentang waris, maka ayat ini termansukh.[40]
Wasiat merupakan pesan yang harus dilaksanakan setelah
kematian orang yang berwasiat. Pesan itu disampaikan sebelum kematian
benar-benar datang menghampiri.[41]
Pada mulanya hukum wasiat dalam al-Qur’an ditetapkan sebagai kewajiban bagi
kaum muslimin menyangkut harta benda yang ditinggalkan.
Ayat ini seakan menggambarkan pembagian waris saat belum turunnya ayat
waris. Tentu ini masih perlu pengkajian lebih dalam lagi berkaitan dengan
asumsi tersebut.
Pada kenyataannya memang pada masa jahiliyah harta
peninggalan itu hanya dapat dimiliki oleh anak laki-laki atau kerabat laki-laki
saja. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya bahwa pada
masa jahiliyah bangsa Arab memiliki adat jika seorang mati meninggalkan seorang
atau lebih dari anak laki-laki, maka hartanya itu untuk anak-naknya tanpa
memberikan sedikitpun untuk orang tua dan kerabat dekat lainnya. Dan jika tidak
memiliki anak laki-laki, maka hartanya akan dikuasai oleh kerabat laki-laki
paling dekat seperti ayah, paman, atau anak paman. Pemilik harta terkadang berwasiat
terhadap sebagian atau seluruh hartanya untuk sebagian anak-anak laki-lakinya,
kerabatnya, atau temannya.[42]
Kemudian al-Qur’an memperbaiki wasiat ini dengan menentukan siapa yang
harus mendapatkan wasiat terlebih dahulu. Dalam surat al-Baqarah 2/180 sangat
jelas disebutkan bahwa yang didahulukan mendapatkan wasiat itu adalah kedua
orang tua dan kerabat dekat baik laki-laki maupun perempuan. Dalam pembagian
warisan pada masa jahiliyah, keduanya sering diabaikan jika ada anak laki-laki,
atau bahkan tidak mendapatkan apapun lantaran telah diwasiatkan seluruhnya
untuk orang tertentu seperti anak laki-laki, kerabatnya atau bahkan temannya.
Adapun mengenai batasan harta yang boleh dikeluarkan dalam wasiat adalah
1/3 dari harta peninggalan.[43]
Artinya, jika seseorang ingin berwasiat, ia harus terlebih dahulu mengetahui
jumlah hartanya, baru kemudian berwasiat. Atau, jika seseorang melakukan wasiat
dan ternyata melebihi batas dari 1/3 hartanya, maka yang harus dikeluarkan
untuk wasiat itu harus tidak boleh lebih dari 1/3.
Wasiat dengan jumlah 1/3 dari harta sebenarnya merupakan jumlah yang
sangat besar, sedangkan 2/3nya untuk ahli waris yang ditinggalkan. Permasalahannya
karena harta peninggalan merupakan hak milik ahli waris ketika pemilik hartanya
meninggal. Sedangkan dalam pembagian warisan sering kali terjadi permasalahan
keluarga yang diakibatkannya. Jika terlalu besar yang dikeluarkan untuk orang
lain, tentu bisa berakibat buruk juga bagi ahli waris yang ditinggalkan.
Mungkin demikian yang dimaksudkan oleh Nabi SAW dengan menetapkan 1/3 untuk
wasiat, yakni seperti yang dijelaskan oleh Nabi SAW sendiri ketika Sa’ad bin
Abi Waqos ingin berwasiat, padahal ia hanya meninggalkan satu orang putri saja.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Saad bin Abi Waqos ra berkata, “ya
Rasulullah, saya punya harta tetapi saya tidak punya ahli waris kecuali seorang
putri, bolehkah aku berwasiat dua pertiga dari hartaku? Jawab Nabi Saw, “tidak
boleh” Saad berkata, “jika tidak boleh, maka bagaimana jika setengah dari
hartaku? Jawab Nabi, “tidak boleh”, Saad berkata; ”jika tidak boleh, maka
bagaimana jika sepertiga?” Jawab Nabi Saw, “sepertiga itu sudah banyak,
sesungguhnya jika anda meninggalkan ahli warismu kaya itu lebih baik dari pada
anda meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga terpaksa minta kepada
orang lain.........”[44]
Dalam
hadits ini seakan Nabi SAW menginginkan kebaikan seseorang itu terlebih dahulu dikhususkan
untuk keluarga dekat. Hal ini terbukti dengan pernyataan Nabi SAW sendiri bahwa
meninggalkan ahli waris dengan kondisi ekonomi yang baik itu lebih baik.
Wasiat
dalam islam sangat dianjurkan. Bahkan ada beberapa ulama yang mewajibkannya.
Beberapa hadits pun menggambarkan begitu pentingnya makna wasiat bagi orang
yang akan meninggal. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari
bahwa shadaqah yang dilakukan ketika akan datangnya maut adalah shadaqah yang
lebih utama.[45]
Hadits senada juga diriwayatkan oleh al-Daruquthny dari Mu’adz bin Jabal.[46] Bahkan
ada hadits yang menganjurkan agar orang yang memiliki harta untuk menuliskan
wasiat.[47] Pemilikan
wasiat baru dapat terlaksana jika orang yang berwasiat[48]
telah meninggal. Dalam pembagiannya, wasiat harus didahulukan dari pada
pembagian warisan.
Kesimpulan
dan Penutup
Wasiat
merupakan pesan seseorang untuk dilaksanakan setelah kematian orang yang
berwasiat. Wasiat adalah
perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang sifatnya tidak
terbatas pada jenis tertentu. Bisa saja perintah itu berupa sesuatu yang harus dikerjakan
terhadap suatu benda atau suatu pekerjaan yang baik, atau meninggalkan
pekerjaan buruk. Seperti berwasiat untuk selalu melakukan amar makruf dan nahi
munkar, meninggalkan bidang pekerjaan yang secara syara’ diharamkan, dan lain
sebagainya.
Wasiat
dalam islam sangat dianjurkan. Bahkan ada beberapa ulama yang mewajibkannya.
Beberapa hadits pun menggambarkan begitu pentingnya makna wasiat bagi orang
yang akan meninggal. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari
bahwa shadaqah yang dilakukan ketika akan datangnya maut adalah shadaqah yang
lebih utama.
Biasanya objek wasiat
merupakan harta benda atau manfaat dari sesuatu, sekalipun ada bentuk wasiat
yang berupa perintah untuk melakukan sesuatu yang baik. Objek wasiat yang terdapat didalam al-Qur’an maupun Hadits
ada dua macam, yakni objek wasiat yang bersifat materil yang dalam bahasa
al-Qur’annya disebut dengan al-khair yang berarti harta yang banyak,
begitu juga dengan Hadits yang menjelaskan tentang jumlah maksimal dari harta
yang dikeluarkan untuk wasiat, yaitu 1/3 dari harta.
Jumlah
maksimal harta benda yang boleh dikeluarkan untuk wasiat adalah 1/3. Semua
sepakat dengan jumlah tersebut berdasarkan hadits Nabi. Namun
demikian, ada beberapa pendapat tentang kesunnahan dalam jumlah harta yang
diwasiatkan berdasarkan tindakan para sahabat yang berwasiat. Diantaranya Abu
Bakar yang berwasiat dengan 1/5 hartanya dan Umar bin Khattab dengan ¼
hartanya.
[1]
Dalam al-Qur’an disebutkan dengan kata idza hadlara. Maksudnya adalah
jika datang sebab-sebab dan tampak tanda-tandanya. Lihat Nashiruddin Abu Khair Abdullah
al-Baidhawy,Anwar al-Tanzil wa Asror
al-Ta’wil,Maktabah Syamilah,juz 1,hlm. 215. Selanjutnya disebut
al-Baidhawy,Anwar al-Tanzil.
[2] Muslim,
Shahih Muslim,Juz 8,Maktabah Syamilah, hlm. 395. Selanjutnya disebut,
Muslim,Shahi`h. Adapun redaksi haditsnya sebagai berikut:
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ
وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَنِي
مَا تَرَى مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي
وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ
أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ لَا الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ
تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ
اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي فِي
امْرَأَتِكَ )رواه مسلم(
Artinya: “Diriwayatkan
dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah menjenguk saya waktu haji wada’
karena sakit keras yang saya alami sampai hampir saja saya meninggal. Lalu saya
berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana
engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada
yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan satu-satunya. Bolehkah saya
menyedekahkan sebanyak 2/3 dari harta saya? Beliau menjawab “Tidak” saya
mengatakan lagi bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau menjawab
“Tidak” sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan, sedangkan sepertiga itu
sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
menengadahkan tangan meminta-minta pada orang banyak. Apapun yang kamu
nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala karenanya, bahkan termasuk
satu suap untuk istrimu”.
[3] Al-Khair dalam ayat ini oleh Ibnu Abbas
ditafsiri dengan kata al-maal (harta), begitu juga dengan al-Mujahid
menjelaskan bahwa setiap kata al-khair yang terdapat dalam al-Qur’an
berarti al-maal, seperti dalam ayat وَإِنَّهُ
لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
(QS. Al-Adhiyat/8) yang terjemahannya sebagai berikut “dan
sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”. Lihat Muhammad
ibn Jarir al-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz 3, Maktabah
Syamilah, hlm. 384-393. Selanjutnya disebut al-Thabary,Tafsir al-Thabary. Lihat
pula Abu Muhammad
Husein bin Mas’ud al-Baghawi,Ma’alim
al-Tanzil al-Syahir bi Tafsir al-Baghawi, juz 1,Maktabah Syamilah, hlm.
192. Selanjutnya disebut al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi. Lihat pula Muhammad
Ali al-Sayis,Tafsir Ayat al-Ahkam,tt.hlm. 55. Selanjtnya disebut
al-Sayis,Tafsir.akan tetapi terjadi perbedaan pendapat berkaitan dengan
jumlah harta yang diwajibkan atas seseorang untuk berwasiat. Menurut Ali ibn
Abi Thalib, Aisyah dan Ibnu Abbas 700 dinar itu sedikit, menurut Qatadah dari
imam Hasan al-khair itu 1000 dinar atau lebih, dan menurut al-Sya’by
antara 500 sampai dengan 1000 dinar. Lihat Muhammad ibn Ahmad Syamsuddin
al-Qurtuby,Tafsir al-Qurtuby,juz 2,Maktabah Syamilah, hlm. 259.
[4]
QS. Al-Baqarah ayat 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# ........
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta .....”
[5]HR
Bukhari,Shahih Bukhary,juz 9,Maktabah Syamilah,hlm.268. Selanjutnya disebut
Bukhary,Shahih Bukhary.
[6] HR Daruquthni,Sunan
al-Daruquthny.Maktabah Syamilah, Juz 10 hlm. 72. Selanjutnya disebut
Daruquthny,Sunan.
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya
Allah mengizinkan kepadamu bersedekah sepertiga dari hartamu waktu kamu akan
meninggal untuk menambah kebaikanmu." Riwayat Daruquthni.
[7] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), Cet. XIV, 1563. Selanjutnya disebut Munawwir, Al-Munawwir.
[8] Ibnu
‘Asyur,al-Tahrir wa al-Tanwir,juz 2,Maktabah Syamilah, hlm. 126. Selanjutnya
disebut Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir.
[9] Munawwir, Al-Munawwir. 1563.
[10]
Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,Juz 2,hlm. 126.
[11]
Lihat Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,Juz 2,hlm. 126
[12] Lihat
Imam Nawawi,Syarhu al-Arba’in al-Nawawiyah,Juz 1,Maktabah Syamilah,hlm.
25. Lihat pula Ibnu Majah,Sunan Ibnu Majah,Juz 1,Maktabah Syamilah,hlm.
49. Demikian redaksi Haditsnya:
عَنِ
الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ
مَوْعِظَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، فَقُلْنَا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا. قَالَ: «أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ. وَإنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّـينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ، فَإنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ». رواه أبو داود والترمذي
وابن ماجه وابن حبان في صحيحه وقال الترمذي: حديث حسن صحيح.
[13] Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faadz Al-Qur`an
Al-Karim (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t), 842. Selanjutnya disebut ‘Abd
Al-Baaqi, Al-Mu’jam.
[14]
Lihat al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 3, hlm. 203.
[15]
Lihat Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,juz 4, hlm. 50
[16]
Lihat Ibnu ‘Asyur,al-Tahrir,juz 3, hlm. 344
[17] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[18] Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz 3 hlm.
93
[19] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[20]‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[21] { وَأَوْصَانِي بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ } أي: أمرني بهما al-Baghawi,Tafsir
al-Baghawi, juz 5 hlm. 23.
[22]‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[23] Al-Baghawi,Tafsir
al-Baghawi,juz 7, hlm. 380
[24]
Dalam membaca kata mushi pada ayat tersebut al-Kisa’i, Abu Bakar dan
Ya’kub membacanya memfathahkan huruf wawu dan mentasydidkan huruf shad,
sehingga terbaca muwashshy sebanding dengan wazan mufa’il bentuk
isim fa’il dari fi’il madhi washsha. Lihat al-Baghawi,Tafsir
al-Baghawi,juz 1, hlm. 194.
[25] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[26] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[27] ‘Abd Al-Baaqi, Al-Mu’jam. 842
[28]
Lihat Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz 20, hlm. 530
[29]Lihat
Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz 17, hlm. 280
[30] Menurut imam Hasan dan imam Qatadah,
Kebenaran yang dimasud adalah al-Qur’an, sedangkan menurut imam Muqatil adalah
iman dan tauhid. Lihat al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 8, hlm.522.
[31]
Al-Baghawi menjelaskan dalam tafsirnya
bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah saling berwasiat untuk sabar dalam
menunaikan kewajiban dan menjalankan perintah Allah. al-Baghawi,Tafsir
al-Baghawi,juz 8, hlm. 522.
[32]
Demikian redaksi ayatnya :
ÓÍ_n=yèy_ur %º.u$t7ãB tûøïr& $tB àMZà2 ÓÍ_»|¹÷rr&ur Ío4qn=¢Á9$$Î/ Ío4q2¨9$#ur $tB àMøBß $|ym .
Artinya: “Dan dia menjadikan Aku
seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup..”
[33]
Ibnu Abbas menfsiri kata ya’idzu dengan kata yushi dalam ayat
tersebut. Ini berarti menurut Ibnu Abbas bahwa selain kata wasiat itu sendiri
juga ada kata lain yang memiliki kandungan yang sama, yakni wa’adza yang
berarti nasihat dalam bahasa Indonesia. Lihat Al-Thabary,Tafsir al-Thabary,Juz
17, hlm. 280
[34]Berikut
adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim,al-Mustadrok ala
al-shahihin,juz 16, hlm. 99. Selanjutnya disebut al-Hakim,al-Mustadrok.
عن جبير بن نفير قال : دخلت على أميمة مولاة
رسول الله قالت: كنت يوماً أفرغ على يديه وهو يتوضأ، إذ دخل عليه رجل فقال: يا رسول
الله إني أريد الرجوع إلى أهلي فأوصني بوصية أحفظها، فقال: «لا تُشْرِكَنَّ بِالله
شَيْئاً وَإِنْ قُطِّعْتَ وَحُرِّقْتَ بِالنّارِ، وَلا تَعْصِيَنَّ وَالِدَيْكَ، وَإِنْ
أَمراكَ أَنْ تَخَلّى مِنْ أَهْلِكَ وَدُنْياكَ فَتَخَلَّ، وَلا تَتْرُكْ صلاةً مُتَعَمِّداً
فَمَنْ تَرَكَها مُتَعَمِّداً بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ الله عَزَّ وَجَلَّ وَذِمَّةُ
رَسولِهِ وَلا تَشْرَبَنَّ الْخَمْرَ فَإِنّها رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَلا تَزْدَدْ
في تُخومٍ فَإِنَّكَ تَأْتِي يَوْمَ الْقِيامَةِ وَعَلَى عُنُقِكَ مِقْدارُ سَبْعِ
أَرضينَ، وَلا تفُرَّنَّ يَوْمَ الزَّحْفِ فَإِنَّهُ مَنْ فَرَّ يَوْمَ الزَّحْفِ فَقَدْ
باءَ بِغَضَبٍ مِنَ الله وَمَأْواهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصير، وَأَنْفِقْ على أَهْلِكَ
مِنْ طَوْلِكَ وَلا تَرْفَعْ عَصاكَ عَنْهُمْ وَأَخِفْهُمْ في الله عَزَّ وَجَلَّ».
[35] Hadits
riwayat Imam Ahmad,Musnad Ahmad,juz 54,Maktabah Syamilah, hlm. 124
[36]
Lihat al-Sayis,Tafsir, hlm. 55, lihat pula al-Thabary,Tafsir
al-Thabary,juz 3, hlm. 385.
[37]
Ulama yang berpendapat bahwa ayat ini muhkam karena perspektif nasikh
mansukh yang berbeda. Menurut mereka, antara ayat nasikh dan ayat mansukh
keduanya harus satu makna, sedangkan wasiat dan waris jelas merupakan dua makna
yang berbeda, maka hukum waris tidak dapat menasakh hukum wasiat. Lihat
al-Thabary,Tafsir al-Thabary,juz 3, hlm. 384-385.
[38]
Ulama yang berpendapat bahwa wasiat itu dinasakh oleh hukum waris adalah karena
ada keterngan hadits tidak mendapatkan wasiat bagi ahli waris. Disamping
itu beberapa keterangan Sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas yang menjelaskan
tentang dinasakhnya ayat wasiat dengan ayat waris. Pendapat ini yang dipegang
oleh jumhur ulama. Lihat al-Baghawi,Tafsir al-Baghawi,juz 1, hlm. 192.
Lihat pula Isma’il ibn Umar ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adzim,Juz
1,Maktabah Syamilah, hlm. 492. Bahkan hampir seluruh tafsir al-Qur’an
membahasnya.
[39]
Imam Syafi’i adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa surat al-Baqarah
2/180 itu dinasakh oleh ayat yang menjelaskan hukum waris. Beliau berpandangan
bahwa karena Allah SWT telah memerintahkan wasiat, sedangkan Allah telah
menetapkan bagian harta warisan, maka wasiat itu menjadi sunnah (tathawu’).
Lihat Muhammad ibn Idris al-Syafi’i,Ahkam al-Qur’an li al-Syafi’i.Maktabah
Syamilah,juz
[40]Lihat
Hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhory dalam kitab haditsnya,shahih
Bukhary,juz 9,Maktabah Syamilah,hlm. 280. Hadits ini cukup menjelaskan
tentang dinasakhnya wasiat dengan ayat waris, demikian haditsnya;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ;
كَانَ
الْمَالُ لِلْوَلَدِ وَكَانَتْ الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ فَنَسَخَ اللَّهُ
مِنْ ذَلِكَ مَا أَحَبَّ فَجَعَلَ لِلذَّكَرِ مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
وَجَعَلَ لِلْأَبَوَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسَ وَجَعَلَ
لِلْمَرْأَةِ الثُّمُنَ وَالرُّبُعَ وَلِلزَّوْجِ الشَّطْرَ وَالرُّبُع
[41]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir
Kabir,juz 3,Maktabah Syamilah,
hlm. 73. Selanjutnya disebut al-Razi,Tafsir Kabir.
[42] Ibnu ‘Asyur,Al-Tahrir wa
al-Tanwir, Juz 2, Maktabah Syamilah, hlm. 125. Selanjutnya disebut Ibnu
‘Asyur,al-Tahrir.
[43]Orang
yang pertama kali wasiat dengan jumlah 1/3 hartanya adalah Bara’ ibn
Ma’rur.Lihat Ibnu Hajar,Fath al-Bari,juz 8,Maktabah Syamilah, hlm. 298.
Lihat pula hadist riwayat Bukhary,Shahih Bukhary,juz 9,hlm. 279.
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ
أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
مَرِضْتُ
فَعَادَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ لَا يَرُدَّنِي عَلَى عَقِبِي قَالَ لَعَلَّ اللَّهَ
يَرْفَعُكَ وَيَنْفَعُ بِكَ نَاسًا قُلْتُ أُرِيدُ أَنْ أُوصِيَ وَإِنَّمَا لِي
ابْنَةٌ قُلْتُ أُوصِي بِالنِّصْفِ قَالَ النِّصْفُ كَثِيرٌ قُلْتُ فَالثُّلُثِ
قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ قَالَ فَأَوْصَى النَّاسُ
بِالثُّلُثِ وَجَازَ ذَلِكَ لَهُم
[44] Hadits
riwayat Bukhary,Shahih Bukhari,juz 9,hlm. 271. Lihat pula Muslim,Shahih
Muslim,juz 8, hlm.395.
[45] Ulama
hadits memasukkan bentuk shadaqah ini kedalam bab wasiat. Shadaqah yang
dimaksudkan dalam hadits ini adalah wasiat. Lihat Bukhari,Shahih Bukhari,Juz
9, hlm. 282.
[46] HR Daruquthni,Sunan, Juz
10 hlm. 72
[47]
Haditsnya sebagai berikut;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي
ابْنَ عُمَرَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ
يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَه.
[48]
Orang yang berwasiat biasa disebut sebagai Mushy, yakni setiap pemilik
harta secara sah dalam kepemiliknnya, sedangkan orang yang menerima wasiat
disebut dengan Musha lahu, yakni orang selain ahli waris, diutamakan
dari krabat, bahkan menurut jumhur ulama hukumnya makruh wasiat kepada selain
kerabat. Harta benda yang menjadi objek wasiat disebut Musha bihi.
Ketiganya merupakan rukun wasiat. Sedangkan rukun wasiat yang terakhir adalah shighat
wasiat. Lihat Ibnu Rusyd,Bidayath al-Mujtahid wa Nihyah al-Muqtashid,Daru
ihya al-Kutub al-Arabiyah Indunisia,juz 2,tt.hlm, 250.
Komentar