Tarikh Tasyri' Masa Sahabat
Pembentukan Hukum (Tasyri) Islam
Pada Generasi Awal Islam
(Masa Sahabat)
Pendahuluan
Pembentukan hukum pada masa Nabi SAW menjadi sangat penting bagi
pembentukan hukum pada generasi berikutnya. Ketika masa Nabi, semua
permasalahan hukum hampir diselesaikan oleh Nabi, kecuali pada hal-hal yang
menuntut para sahabat untuk melakukan ijtihad. Hal ini seperti yang telah
dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal ketika di utus oleh Nabi SAW menjadi gubernur
di Yaman. Disamping itu, beliau mengajarkan kepada para sahabatnya untuk
berijtihad seperti ketika beliau menjawab pertanyaan Umar Ibn al-Khattab tentang
hukum mencium isterinya ketika sedang berpuasa di bulan Ramadlan.
Selain dari contoh permasalahan tadi, setiap problema hukum yang
muncul ketika itu, mayoritas diselesaikan oleh Nabi sendiri atas bimbingan
wahyu. Artinya, penetapan hukum pada masa Nabi bisa dibilang bersumber pada
al-Qur’an, Hadits dan sedikit ijtihad yang dilakukan oleh beberapa sahabat.
Para sahabat banyak belajar tentang cara pengambilan hukum kepada Nabi,
disamping mereka mengetahui bahasa Arab dengan baik, mereka merupakan generasi
pertama yang mengetahui langsung Asbab al-Nuzul al-Qur’an dan Asbab
al-Wurud Hadits Nabi SAW, dan memahami illat hukum seperti yang
telah diajarkan Nabi kepada mereka ketika menentukan hukum dengan haditsnya.
Selepas
meninggalnya Nabi SAW kondisinya berbeda. Masalah yang dihadapi pun
bermunculan, mulai dari permasalahan kepemimpinan hingga pengkodifikasian
al-Qur’an. Belum lagi muncul masalah baru yang memerlukan fatwa paska wafatnya
Nabi dengan kondisi yang berbeda dengan permasalahan sebelumnya. Seperti kasus
orang yang enggan membayar zakat, atau pembagian hak waris bagi kakek dan
saudara laki-laki ketika ditinggal mati oleh saudara lainnya yang terjadi pada
zaman Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama. Untungnya mereka telah lama
bergaul dengan Nabi dan telah mendapatkan pengajaran tentang bagaimana
memecahkan masalah hukum dengan menggunakan ijthad ketika tidak terdapat hukumnya
secara jelas dalam al-Qur’an dan tidak ada penjelasan dari Hadits beliau.
Akan
tetapi, perbedaan atau ikhtilaf para
sahabat dalam hasil berijtihad mereka tetap tidak dapat terelakkan. Hal ini
dipengaruhi oleh perbedaan dalam cara memahami ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah
Nabi disamping dalam penguasaan hafalan hadits dan perbedaan dalam penggunaan ra’yu
ketika tidak ditemukannya sunnah. Namun, perbedaan yang muncul tidak
seberagam yang terjadi setelah generasi berikutnya. Hal ini disebabkan oleh
adanya kebiasaan bermusyawarah tentang hukum sesuatu yang dilakukan mereka
setelah menemukan masalah baru.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan sekitar
pembentukan hukum di masa sahabat secara sederhana dengan sistematika penulisan
sebagai berikut; Pendahuluan, Perkembangan Masyarakat Pasca Nabi SAW, Sumber Penetapan
Hukum Islam Pada Masa Sahabat, Ijtihad pada Masa Sahabat, Sebab-sebab Timbulnya
Perbedaan Pendapat, Pengaruh Terhadap Pembentukan Hukum Pasca Sahabat, Kesimpulan
dan penutup.
Perkembangan Masyarakat Pasca Nabi SAW
Sahabat merupakan generasi pertama islam yang mewarisi seluruh
tradisi Nabi yang terangkum dalam sunnah beliau disamping al-Qur’an sebagai
pedoman hidup bagi kaum muslimin. Mereka hidup lama bersama Nabi dan mengetahui
betul seluk beluk ajaran islam yang dibawakan beliau. Mereka tidak menemukan
kesulitan apapun ketika berdampingan dengan beliau, karena setiap persoalan
baik masalah hukum atau yang lainnya, mereka dapat dengan mudah memperoleh
jawaban yang memuaskan dari Nabi.
Setelah Nabi SAW berpulang kehadirat Allah, permasalahan politik
muncul. Umat islam mulai kebingungan mencari pengganti Nabi dan terjadi
perselisihan antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Ditambah lagi dengan
kelompok “pembela keluarga Nabi” yang menjadi embrio dari madzhab Syiah dan
Khawarij. Perpecahan pun hampir terjadi di tubuh kaum muslimin. Dan akhirnya
terselamatkan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama atas dasar
kesepakatan Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin dan menjadi dasar hukum pengangkatan
pemimpin dalam pemerintahan pasca Nabi.
Pada masa Abu Bakar, masalah keberagamaan umat islam timbul dengan
adanya sebagian kecil kaum muslimin pindah keyakinan (murtad). Mereka pun
langsung diperangi oleh Abu Bakar dengan mendapat legitimasi dari Hadits.[1]
Kemudian persoalan lainnya adalah kelompok orang yang enggan membayar zakat. Dengan
sikap keras beliau memerangi mereka agar menunaikan kewajiban membayarnya.
Beliau berfikir bahwa dengan kekerasanlah mereka akan menunaikan kewajiban
membayar zakat.[2]
Disamping itu persoalan lain yang muncul adalah permasalahan hukum yang
menyangkut pranata sosial seperti kasus hukum waris dan lain sebagainya.
Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah pembukuan al-Qur’an
pada masa Abu Bakar yang menguras banyak energi dalam menyelesaikannya. Berawal
dari banyaknya Khuffadz al-Qur’an yang meninggal pada peperangan Yamamah mereka
mulai memikirkan keberadaan al-Qur’an jika tidak dibukukan. Atas dasar dorongan
Umar ibn Khattab, khalifah pertama ini mengumpulkan al-Qur’an dengan
berdasarkan pada kemaslahatan umat muslim dalam menjaga agamanya.[3]
Setelah Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah, beliau
melanjutkan apa yang dicita-citakan Abu Bakar untuk menyebarkan islam ke
berbagai wilayah. Umar pun mampu melaksanakannya dengan menguasai beberapa
daerah seperti Persia, Syiria, Kufah, Basrah, Mesir dan Armenia. Islampun menyebar,
para mawali (Bukan orang Arab) banyak yang masuk islam dengan beraneka latar
belakang kehidupan sosial budaya. Permasalahan baru pun muncul, tidak hanya
menyangkut pada masalah kehidupan sosial sederhana, tetapi juga berhubungan
dengan pemerintahan dan ketahanan pangan. Harta rampasan perang yang seharusnya
1/5 untuk Allah dan RasulNya, dan 4/5 dihabiskan untuk pasukan perang, oleh
beliau hal itu tidak dilaksanakan seperti yang telah diatur pada masa Rasul.
Beliau berpandangan bahwa akan lebih maslahat jika tanah itu tetap dikelola
oleh pemiliknya, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat,
termasuk untuk keperluan perang.[4]
Disamping itu, berbagai persoalan banyak bermunculan setelah
terjadinya penyebaran umat islam ke berbagai daerah yang memiliki sosio historis
berbeda dengan bangsa Arab. Ditambah lagi dengan munculnya persoalan sunnah
Nabi yang datang dari umat islam sendiri dan dari kelompok lain (munafiq). Dari
dalam umat islam sendiri tidak sedikit hadits yang berubah karena faktor lupa
atau keliru dalam menerima dan menyampaikannya. Sedangkan dari kelompok lain,
yakni kaum munafik, mereka sengaja melakukan pendustaan dan kebathilan dalam
sunnah dengan maksud merusak agama islam.[5]
Oleh karena itulah pada masa Abu Bakar dan Umar, para sahabat dilarang keluar
dari Madinah agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat
melakukan musyawarah dalam menghadapi persoalan hukum yang penting.[6]
Setelah Utsman bin Affan diangkat menjadi khalifah, penyebaran
ulama dari kalangan para sahabat ke berbagai daerah diperbolehkan. Hal ini
menyebabkan pada kesulitan Utsman dalam mengumpulkan mereka untuk bermusyawarah
tentang masalah hukum. Para sahabat pun tersebar di berbagai daerah baru yang
dikuasai Islam. Dengan banyaknya penguasaan daerah itu membuat semakin
bertambahnya persoalan yang dihadapi umat islam.[7]
Pasca terbunuhnya Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib diangkat
menjadi khalifah. Namun belum begitu lama Ali menjadi khalifah muncul ketidak
puasan orang yang tidak terima atas meninggalnya Utsman. Ali dianggap tidak
mampu menyelesaikan permasalahan ini hingga menimbulkan terpecahnya umat islam
menjadi dua kelompok besar, pendukung Ali dan pihak yang menggugat atas
meninggalnya Utsman, yaitu Muawiyah bin Abi Sofyan dan berakhir dengan tahkim
yang dimenangkan oleh pihak Muawiyah. Umat islam pun terpecah menjadi tiga
kelompok yang memiliki kecenderungan berbeda dalam menetapkan hukum islam. Khawarij
merupakan kelompok yang membenci Ali dan Muawiyah dan hanya mengakui cara
penetapan hukum yang ditetapkan menurut ideologi mereka, Syi’ah sebagai
pendukung Ali yang setia lebih mengutamakan pada hadits yang diriwayatkan oleh
Ahlul Bait, dan Jumhur ulama merupakan kelompok yang dipegangi oleh mayoritas
umat Islam yang mengakui semua Khulafa al-Rasyidin.
Karakteristik Metode Tasyri’ Sahabat
Analogi/Qiyas; diyat gigi graham sama dengan jari.
Konsensus/Ijma’
Distingsi Tasyri’ Masa Sahabat
-
Posisi
pengganti Nabi,
-
Riddah
pembayar zakat
-
Masa
iddah
-
Ghanimah
-
Ratapan
orang mati
Sumber Penetapan Hukum Islam Pada Masa Sahabat
a.
Sumber Hukum Pada Masa Sahabat
Nabi Muhammad SAW telah wafat, al-Qur’an telah sempurna diturunkan
dan tidak akan pernah turun lagi, penjelasan hukum dari sunnah Nabi pun
terhenti, sedangkan persoalan kemanusiaan yang menyangkut masalah hukum terus
bermunculan seiring dengan perubahan besar yang terjadi akibat perluasan
wilayah Islam dan semakin kompleksnya permasalahan hidup masyarakat yang harus
segera diselesaikan apapun keadaannya.
Pada waktu itu, persoalan dalam masalah hukum berkembang.
Perkembangannya tidak sebatas pada amaliyah yang menjadi objek hukumnya saja,
tetapi juga pada masalah metodologi pengambilan hukum dari penunjukan nash yang
ada. Dalam hal ini terdapat tiga persoalan yang paling pokok, yakni; pertama,
munculnya kejadian-kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum sedangkan
hukumnya tidak ditemukan dalam nash secara jelas (Sharih). Contohnya
adalah tentang hukum membakar harta anak yatim. Karena semua orang tahu bahwa
membakar itu sama akibatnya dengan memakan, maka hukumnya sama dengan memakan
harta anak yatim. Penggunaan metode pengambilan hukum semacam ini disebut
dengan mafhum.[8] Contoh
lainnya adalah tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dalam urusan
dunia yang dipahami oleh para sahabat dapat dihubungkan dengan pemimpin urusan
ibadah. Penunjukan khalifah itu tidak terdapat dalam al-Qur’an, namun
dianalogikan dengan penunjukan Nabi atas Abu Bakar untuk menggantikan beliau menjadi
imam shalat ketika sakit.[9]
Kedua, timbulnya
masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam
al-Qur’an amupun Sunnah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit
diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan
persoalan yang dihadapi.[10]
Persoalan dalam bentuk kedua merupakan perubahan keadaan yang menghendaki
perubahan pemikiran. Contohnya adalah kewajiban membayar zakat pada zaman Nabi
dilakukan atas dasar kesadaran umat waktu itu, kemudian Nabi melakukan
pemungutan zakat secara lemah lembut. Akan tetapi pada masa Abu Bakar terjadi
pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat.
Karena itu, beliau mengambil sikap tegas dan keras, yakni menetapkan untuk memerang
mereka yang enggan membayar zakat. Contoh lainya adalah tentang larangan
meminum khamar secara tegas, dan Nabi menetapkan sanksi bagi peminumnya dengan
didera sebanyak 40 kali. Dengan sanksi itu cukup efektif dalam upaya menjerakan
peminum khamar. Akan tetapi pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah peminum
yang dihukum 40 kali dera itu tidak efektif mencegah peminum khamar untuk
mengulangnya. Akhirnya beliau menambahkan hukuman dengan 80 dera.[11]
Ketiga, dalam
al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat
kesuliatan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.[12]
Atau pemahaman atas dua ayat yang terpisah untuk satu kasus tertentu yang tidak
ditunjuk oleh keua ayat tersebut. Contohnya adalah wanita yang dicerai suaminya
ketika hamil ditetapkan hukum iddahnya dengan melahirkan menurut al-Qur’an
surat al-Talaq ayat 4, sedangkan tentang iddahnya istri yang ditinggal mati
suaminya adalah 4 bulan 10 hari sesuai dengan penunjukan secara pasti dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 234. Adapun iddah bagi isteri hamil yang
ditinggal mati suaminya tidak terdapat kepastian hukumnya dalam al-Qur’an
maupun dalam Sunnah Nabi. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan
sahabat. Ali bin bi Thalib berpendapat dan berfatwa iddah wanita itu adalah
masa yang terpanjang diantara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah
kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut. Sedangkan Umar bin Khattab
berpendapat bahwa iddahnya itu tetap sampai melahirkan anak, meskipun belum
sampai masanya 4 bulan 10 hari.[13]
Diantara perbedaan pendapat yang berkembang dikalangan para sahabat
dalam memahami hukum Allah, tidak sedikit pula hukum suatu masalah yang
disepakati oleh semua kalangan sahabat sehingga menjadi ijma’.[14]
Bahkan kerap kali Abu Bakar bila menghadapi kejadian baru dan tidak temukan
hukumnya di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, beliau mengumpulkan ulama sahabat
untuk bermusyawarah menemukan hukumnya. Jika sahabat telah sepakat dengan
hasilnya, maka jadilah ijma’. Hal demikian diikuti oleh Umar bin Khattab
disamping melakukan ijtihad sendiri kemudian beliau bertanya kepada Abu Bakar
bagaimana penetapannya dan beliau amalkan jika penetapan Abu Bakar tidak
menentangnya. Begitu juga dengan Utsman dan Ali. Mereka sangat berhati-hati dan
meneliti terlebih dahulu dalam menerima hadits hingga suatu saat pernah ada
seorang perawi yang meriwayatkan sebuah hadits baru dapat diterima setelah
melakukan sumpah terlebih dahulu berikut disertakan pula saksinya.[15]
Dengan memahami uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber
hukum pada masa sahabat adalah al-Qur’an, hadits dan ra’yu atau ijtihad. Adapun
ijtihad yang dilakukan pada masa ini adalah ijtihad fardi dan ijtihad jama’i.
b.
Penetapan Hukum Pada Masa Sahabat
Keterbatasan teks al-Qur’an dan Sunnah tidak membuat para sahabat
panik dalam menghadapi persoalan hukum. Mereka sudah terlatih dan tidak
menemukan kesulitan ketika melakukan ijtihad. Dalam menetapkan hukum, para
sahabat terlebih dahulu meneliti al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bila ada ketentuan
hukum dalam al-Qur’an mereka putuskan berdasarkan ketentuan al-Qur’an, apabila
tidak ditemukannya dalam al-Qur’an maka dicarilah ketentuannya dari hadits, Jika
ternyata tidak ditemukan hadits menurut apa yang diketahuinya, maka mereka akan
menanyakannya terlebih dahulu kepada sahabat Nabi yang lain apakah Rasul SAW
telah memutuskan persoalan yang sama di zamannya. Jika ada yang tahu, mereka
menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari jawaban sahabat
lain tentang sebuah riwayat persoalan tersebut setelah dianggap cukup memenuhi
syarat kebenaran riwayat itu.[16]
Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar ketika mendapat pertanyaan
tentang hak waris seorang nenek, beliau tidak serta merta menetapkan bagiannya
sebelum meneliti terlebih dahulu kepada sahabat lain. Beliau berkata bahwa di
dalam al-Qur’an nenek tidak mendapat bagian apapun, namun beliau belum
mengetahui secara pasti apakah ada dalam hadits atau tidak. Beliaupun menemui
dan menanyai setiap sahabat berkaitan dengan masalah tersebut sampai akhirnya ditemukan
sebuah riwayat yang berasal dari Qubaisah ibn Zueb dengan didatangkan kepadanya
dua sahabat Nabi bernama Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah sebagai
saksi atas riwayat tersebut. Kedunya menyatakan bahwa Rasul pernah memberikan
bagian nenek sebesar 1/6 dari harta pusaka.[17]
Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan berkaitan dengan
riwayat Nabi dalam sebuah persoalan, maka cara yang terakhir adalah dengan
mengumpulkan para ulama sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan
tadi. Jika terjadi kesepakatan diantara mereka, maka menjadikan kesepakatan itu
sebagai keputusan hukum.[18]
Atau mereka melakukan ijtihad sendiri dan mengeluarkan fatwanya kemudian
didukung oleh pendapat sahabat lain. Atau justeru sahabat lain pun melakukan
ijtihad dengan hasil penetapan hukum yang berbeda. Tergantung pada bagai mana
seorang sahabat itu memahami nash al-Qur’an maupun hadits atau metode apa yang
dilakukan dalam berijtihadnya. Artinya, perbedaan dalam penetapan hukum itu tetap
saja terjadi. Bahkan tidak jarang terjadi perbedaan pendapat diantara hasil
ijtihad sahabat yang satu dengan yang lainnya. Demikian yang dilakukan para
sahabat dalam memutuskan persoalan hukum.
Untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi, diantara mereka
ada yang membuat ketentuan langkah-langkah penetapan hukum (ijtihad) atau yang
dikenal dengan istilah Thuruq al-Isthinbat seperti langkah-langkah di
atas. Hal demikian yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar, sehingga pada masa
itu sering terjadi ijma’. Setelah Utsman dan Ali menjadi khalifah, hal itu
jarang dan sulit terjadi karena telah terjadi penyebaran para sahabat ke
berbagai daerah dan berlanjut dengan persoalan politis pasca meninggalnya
Utsman.
Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat
Para sahabat dalam menetapkan hukumnya tidak saja bertumpu pada
nash al-Qur’an maupun hadits saja. Kejadian-kejadian yang tidak terdapat dalam nash
sharih mereka tetapkan ketentuan hukumnya menggunakan akal yang
bersandarkan pada dua sumber utama. Ada kecenderungan berbeda yang dilakukan
para sahabat dalam berijtihadnya. Kelompok pertama, menggunakan ijtihad
terhadap ma’qul al-nash secara dominan. Kelompok kedua, menggunakan
ijtihad terhadap ma’qul al-nash dalam kondisi tertentu saja. Namun
secara lebih rincinya, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat itu adalah
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut;
1.
Perbedaan
dalam cara memahami ayat-ayat al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum islam. Bagi setiap orang
yang akan menetapkan suatu ketentuan hukum terlebih dahulu akan merujuk kepada
al-Qur’an, baru jika tidak mendapatkan ketetapan hukumnya maka akan dicari
dalam hadits. Sekalipun para sahabat itu orang yang pandai dalam memahami
al-Qur’an dan mengetahui langsung Asbab al-Nuzulnya perbedaan pendapat
tidak dapat dihindari. Hal ini dikarenakan oleh sifat al-Qur’an yang memberi
peluang untuk ditafsirkan berbeda disebabkan terdapat kata yang bermakna ganda.
Disamping itu, perbedaan tingkat ilmiah dan perbedaan lama masa bergaul dengan
Rasul SAW diantara mereka turut serta menjadi penyebab terjadinya perbedaan
pendapat.
Disamping itu, hukum yang ditentukan oleh al-Qur’an masing-masing
berdiri sendiri dan tidak terdapat ketentuan untuk mengantisipasi kemungkinan
bergabungnya dua sebab pada satu kasus. Sebagai contoh, hukum wanita hamil yang
ditinggal mati suaminya.
2.
Perbedaan
cara memahami sunnah
Para sahabat dalam memahami sunnah Nabi pun berbeda. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan intensitas pertemuan para sahabat dengan Nabi. Ada
yang hampir selalu bersama Nabi dalam waktu yang cukup lama, dan ada juga yang
hanya beberapa kali dalam waktu tertentu dapat bertemu dengan beliau karena
disebabkan oleh keadaan-keadaan tertenu yang menyulitkan mereka untuk terus
bersama Nabi.
Dengan demikian, benar bahwa tidak seorang sahabatpun yang dapat
mengetahui seluruh hadits Nabi, walaupun Abu Bakar sendiri, satu-satunya
sahabat yang jarang sekali berpisah dengan Rasul.
Disamping itu, kadang-kadang suatu riwayat telah sampai kepada
seorang sahabat, dan sahabat lain belum mengetahuinya atau belum sampai kepada
sahabat lain sehingga diantara mereka ada yang menggunakan ra’yu.
Sebagai contoh, Abu Hurairah yang berpendapat bahwa orang yang masih junub pada
waktu subuh, tidak dihitung berpuasa bulan Ramadlan. Pendapatnya didengar oleh
Aisyah yang berpendapat sebaliknya. Aisyah beralasan dengan peristiwa yang
terjadi dengan Nabi. Kemudian Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
Disamping itu pula perbedaan pendapat pun bisa terjadi disebabkan oleh
perbedaan dalam menta’wilkan sunnah.
3.
Perbedaan
pendapat karena berlainan metode ijtihad
Berbeda pendapat berdasarkan ijtihad pada masa sahabat disebabkan
oleh seberapa besar penggunaan akal dalam menentukan hukum yang dilakukannya. perbedaan
itu bisa dilihat dari sejauh mana seorang sahabat menentukan hukum suatu
perkara dengan pertimbangan nash dan pemikirannya.[19]
Dapat kita ambil contoh, perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang perempuan
yang menikah dalam masa iddah. Menurut Umar, perempuan itu jika belum
berhubungan suami isteri, harus dipisah dan menyelesaikan masa iddahnya. Jika
sudah berhubungan badan, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua masa
iddah, masa iddah dari suami pertama dan masa iddah dari
laki-laki berikutnya. Sedangkan menurut Ali, perempuan itu hanya diwajibkan
menyelesaikan masa iddah yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat,
sedangkan Umar berpegang pada tujuan hukum, yakni agar idak ada yang melakukan
perbuatan yang sama.[20]
Pengaruh Terhadap Pembentukan Hukum Pasca Sahabat
Masa Nabi merupakan masa pembinaan hukum islam, sedangkan masa
sahabat merupakan masa pengembangan hukum islam.[21]
Pengembangan hukum islam terjadi setelah al-Qur’an dan Sunnah telah selesai dan
terhenti karena berpulangnya Nabi. Artinya, hukum islam telah terbentuk dengan
sempurna, sedangkan permasalahan yang muncul kemudian merupakan pengembangan
hukum saja.
Para sahabat tidak semuanya menjadi ahli hukum, mereka yang dapat
memahami al-Qur’an dan sunnah dengan sempurna, tahu ayat-ayat mutasyabihat dan
muhkamat, asbab al-nuzulnya ayat dan asbab al-wurudnya
hadits, tahu petunjuk-petunjuk hukumnya, suasana dan kondisi masyarakat ketika
itu dan lain sebagainya.
Mereka yang ahli dalam hukum islam dinamai dengan Qurra,
yakni, orang yang ahli dalam membaca dan memahami al-Qur’an. Adapun
sahabat-sahabat yang memiliki gelar itu yang terkenal adalah; Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari,
Abdullah ibn Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit.[22]
Disamping itu, ada juga nama lain yang dikenal sering mengeluarkan fatwa selain
dari sahabat-sahabat Nabi di atas, seperti Aisyah isteri Nabi, Abdullah ibn
Amr, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Anas bin Malik, Mu’adz bin Jabal,
Ubai bin Ka’ab dan Salman al-Farisi.
Para sahabat Nabi ini memiliki perbedaan yang khas dalam penetapan
hukum. Secara garis besar mereka terbagi menjadi dua kelompok pemikiran besar
hukum Islam. Kelompok pertama, sahabat yang memiliki kecenderungan dominan
dalam penggunaan teks nash ketika melakukan ijtihad atau yang disebut oleh
Prof. Adang Jumhur sebagai Salaf Ahli Dzahir atau, seperti Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit Aisyah, Ibnu Umar, dan Ubay bin Ka’ab.
Kelompok kedua, sahabat yang memiliki kecenderungan lebih dominan dalam
penggunaan akal ketika melakukan ijtihad atau Salaf Ahli Ma’nawi wal Qiyas
seperti Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan Salman
al-Farisi.[23]
Pemikiran hukum yang demikian itu sangat mempengaruhi pada
perkembangan hukum selanjutnya. Mereka menjadi inspirasi bagi para tabi’in yang
belajar hukum. Pada masa selanjutnya, dua pemikiran hukum islam ini mempengaruhi
pemikiran-pemikran para tabi’in. Para tabi’in ini kemudian mengajarkan kepada
muridnya sesuai dengan yang diperoleh dari guru mereka.
Kesimpulan dan Penutup
Sahabat merupakan generasi pertama islam yang mewarisi seluruh
tradisi Nabi yang terangkum dalam sunnah beliau disamping al-Qur’an sebagai
pedoman hidup bagi kaum muslimin. Namun, dalam perkembangan selanjutnya umat
islam dihadapkan pada persoalan-persoalan hukum yang baru dan tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan ketentuan hukum harus segera diputuskan,
maka ijtihad yang telah diajarkan kepada mereka menjadi peranan penting
terhadap perkembangan hukum selanjutnya.
Pemikiran hukum yang dibangun oleh para sahabat ini mempengaruhi
pemikiran hukum selanjutnya, dan akhirnya melahirkan madzhab kedaerahan dalam
fiqih yang cukup terkenal, Madrasah al-Hadits atau Madrasah Madinah yang
terkenal dengan sebutan Ahl al-Hadits dan Madrasah al-Ra’yi atau Madrasah
Kufah yang terkenal dengan sebutan Ahl al-Ra’yi.
[1] Dalil yang
membolehkan orang murtad diperangi (dibunuh) adalah hadits riwayat Imam Ahmad dan
Imam al-Nasa’i dengan redaksi sebagai berikut;
عَنِ آبْنِ عُمَرَ أَنَّ عُثْمَانَ ، قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ الله يَقُولُ: لا يَحِلُّ دَمُ آمْرِىءٍ مُسْلِمٍ إلاَّ بِإحْدَى
ثَلاثٍ رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إحْصَانِهِ فَعَلَيْهِ الرَّجمُ أَوْ قَتَلَ عَمْداً فَعَلَيْهِ
الْقَوَدُ أَوِ آرْتَدَّ بَعْدَ إسْلامِهِ فَعَلَيْهِ الْقَتْلُ
[2] Lihat Amir
Syarifuddin,Ushul Fiqih,Jilid 1,(Jakarta;PT Logos Wacana Ilmu,cet.
2,tahun 2000), hlm. 23. Selanjutnya disebut Amir,Ushul.
[3] Dijelaskan
bahwa Umar bin Khattab selalu mendatangi Abu Bakar agar mengumpulkan (membukukan) al-Qur’an. Akan
tetapi Abu Bakar beralasan bahwa itu tidak dilakukan oleh Nabi SAW, dan oleh
Umar dijawab “Demi Allah, itu baik”. Lihat Khudhari Bik,Tarikh al-Tasyri’
al-Islami,terj.(Semarang;Penerbit Daru Ihya Indonesia,tanpa tahun), hlm.
246. Selanjutnya disebut Khudhari,Tarikh.
[4] Amir,Ushul,hlm.
24.
[5] Permasalahan
sunnah ini merupakan embrio dari lahirnya hadits palsu. Disamping hal tadi juga
ada masalah yang timbul akibat kurang perhatiannya umat islam terhadap hadits
atau sunnah yang tidak dibukukan atau ditulis seperti halnya al-Qur’an.
Alasannya karena takut kalau terjadi percampuran antara al-Qur’an dan hadits
Nabi. Lihat Jaih Mubarok, Sejarah Perkembangan Hukum Islam,(Bandung;PT
Remaja Rosda Karya,cet. 1,tahun 2000),hlm. 38. Selanjutnya disebut Jaih, Sejarah.
[6]
Jaih, Sejarah,hlm.
55
[7]
Jaih, Sejarah,hlm.
55
[10]
Amir,Ushul,hlm.
22
[11]
Amir,Ushul,hlm.
24
[12]
Amir,Ushul,hlm.
22
[13]
Amir,Ushul,hlm.
28
[14]
Amir,Ushul,hlm.
28
[15] TM Hasby
Ashshiddieqy,Pengantar Hukum Islam,(Semarang;PT Pustaka Rizki Putra,cet.
2,tahun 2001),hlm. 55. Selanjutnya disebut TM Hasby,Pengantar. Lihat
pula Ibrahim Hosein,Fiqih Perbandingan Masalah Perkawinan,(Jakarta;Penerbit
Pustaka Firdaus,cet. 1,tahun 2003),hlm. 31. Selanjutnya disebut Ibrahim,Fiqih
Perbandingan.
[16] Jaih,Sejarah,hlm,
39.
[17] Lihat Ibrahim
Hosein,Fiqih Perbandingan,hlm. 31. Lihat pula Amir,Ushul,hlm. 29
[18] Jaih,Sejarah,hlm,
39
[19] Ibrahim
Hosein,Fiqih Perbandingan,hlm. 29. Lihat pula Jaih,Sejarah,hlm. 41
dan TM Hasby,Pengantar,hlm. 58
[20] Jaih,Sejarah,hlm.
44. Dalam membahas penyebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat, jaih banyak
mengutip dari Muhammad Kami Musa dalam bukunya al-Madkhal ila al-Tasyri’
al-Islami,Beirut;Muassasah al-Risalah,tahun 1989.
[21] Amir,Ushul,hlm.
29
[22] TM Hasby,Pengantar,hlm.
59
[23] Adang Jumhur
Salikin, materi yang disampaikan dalam mata kuliah Perbandingan Madzhab pada
perkuliahan di Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Komentar