Abu Hanifah


Abu Hanifah:
Riwayat Hidup, Kondisi Sosiokultur, dan Pola Ijtihadnya



Pendahuluan
Abu Hanifah adalah seorang ulama fiqih yang menyandang gelar Ahl al-Ra’yi. Beliau merupakan pendiri madzhab Hanafi yang banyak diikuti oleh para ulama berikutnya. Namanya tak pernah padam sekalipun dihujat oleh beberapa ulama yang tidak sepaham dengan pemikirannya yang cenderung rasional dan responsif terhadap perubahan. Kontekstualis merupakan sandangan yang tepat untuk mengingat konsep hukumnya sekalipun sebenarnya beliau sangat memperhatikan hadits. Ini terbukti dengan kehati-hatian beliau menggunakan hadits ketika dalam menetapkan suatu hukum masalah tertentu. Beliau lebih mengedepankan pemikirannya dengan metode istihsannya dalam menggali hukum dibanding harus menggunakan hadits ahad yang masih diragukan kesahihannya.
Beliau adalah seorang faqih yang alim, zahid, wara’, tawaddu’, dan khusu’ dalam sholat. Banyak mengetahui ilmu pengetahuan agama mulai dari ilmu tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Pada masa remajanya beliau gunakan segala kecemerlangan pemikirannya untuk mencintai ilmu pengetahuan agama, walaupun beliau itu anak seorang pedagang kaya namun beliau tidak menyukai hidup bermewah mewah. Sekalipun telah menjadi seorang ulama, beliau tetap menjadi pedagang yang sukses melanjutkan ayahnya dan hartanya lebih suka didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
keahliannya dalam ilmu agama itu diakui oleh ulama ulama pada zamannya, bahkan gurunya Imam Hammad bin Abi Sulaiman mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid-muridnya. Keahliannya itu pun menai pujian termasuk dari Imam Syafi‟i yang menyatakan bahwa Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh.
Kondisi sosial budaya masyarakat Irak ketika itu menjadi pusat peradaban Islam yang menjadikannya sebagai kota metropolis. Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, Irak dapat membawa masyarakatnya menjadi lebih kritis dan subur permasalahan. Didalamnya berbagai permasalahan yang beragam dan pelik menggiring para ulamanya untuk berfikir lebih kreatif dan rasional. Ditambah lagi dengan keterbatasan nash dalam mengakomodasi persoalan kontekstual ikut serta dalam membangun kota ini sebagai madrasah bagi lahirnya ulama-ulama yang berkecenderungan pada dominasi penggunaan akal ketimbang nash dalam setiap penetapan hukumnya. Beliau adalah ulama yang melanjutkan corak pemikiran ulama Kufah yang terkenal dengan sebutan ulama ahl al-ra’yi. Dan lebih diperkuat lagi dengan latar belakang historis keilmuan yang diperoleh Imam Hanafi berasal dari ulama tabi’in dan sahabat dari madzhab madrash al-ra’yi.
Riwayat Hidup Imam Hanafi
Imam besar ini bernama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zauthi al-Kufi, dilahirkan pada tahun 80 H/699 M di Kufah. Beliau dilahirkan pada masa Bani Umayah dibawah pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan mengetahui pentadwinan hadits yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, mengetahui mulai lemahnya kekhalifahan Bani Umayah dan kemenangan yang digapai oleh kekhalifahan Bani Abbasiyah.[1]
Artinya, beliau menjalani hidup di dua lingkungan sosiopolitik yang berbeda, beliau hidup cukup lama pada masa Bani Umayah selama 52 tahun, dan mengalami perpindahan kekuasaan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah dan dalam peralihan ini Kufah merupakan pusat pergerakan yang besar dalam perpindahan kekuasaan. Di kota ini pula pembai’atan Abdul Abbas al-Saffah dinobatkan sebagai khalifah pertama Bani Abasiyah. Imam Abu Hanifah tidak turut aktif dalam pergerakan tersebut. Ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Yazid ibn Hubairoh gubernur Irak dari khalifah Marwan bin Muhammad ingin mengangkatnya menjadi qadly dan beliau menolaknya yang berakibat pada dihukumnya sang Imam dengan deraan.[2]
Secara politis beliau tidak mengikuti keduanya. Baik Bani Umayah maupun Bani Abbasiyah dalam pandangan politiknya sama sekali tidak memihak kepada dua kepemerintahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sikap penolakan beliau terhadap khalifah Bani Umayah dan sikap beliau yang tidak turut serta secara aktif dalam pergerakan politik Bani Abbasiyah. Beliau lebih mendukung keluarga Ali (Ahl Bait) yang sering mendapat tekanan dari kedua kekhalifahan tadi.[3]
Kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecil, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji merupakan bekal hidupnya menjadi orang besar yang hidup di masa keemasan islam dan beliau adalah termasuk orang yang mengukir prestasi keemasan zamannya. Dikala muda beliau belajar fiqih dari Hammad bin Abi Sulaiman seorang ulama Kufah kenamaan murid dari Alqamah ibn Qais al-Nakha’i dan ulama tabi’in lainnya sebagai murid dari Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib.[4] Beliau belajar kepada Hammad pada permulaan abad ke-2 dan tidak hanya kepada Hammad belaiu belajar. Tercatat beberapa nama ulama tabi’in sebagai gurunya seperti Atha bin Abu Rabah dan Nafi’ Maula Ibn Umar.[5]
Bisa dikatakan, hampir seluruh gurunya berasal dari madrasah al-ra’yi. Dan ini salah satu yang melatar belakangi pemikiran hukum islam yang membawa nama beliau menjadi besar sebagai ulama fiqih rasionalis yang menjadi rujukan setiap orang yang mendalami hukum islam.
Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain sutera yang melanjutkan profesi ayahnya di kota kelahirannya, Kufah. Beliau dikenal sebagai orang yang jujur dan benar dalam berdagang dan dalam muamalah lainnya. Dalam berdagang, beliau dikenal sebagai orang yang tidak suka menawar dalam penjualan. Setelah beliau menjadi ulama besar di bidang ilmu fiqih, tidak sedikit ulama yang belajar ilmu fiqih kepada beliau.[6] Akan tetapi beliau tetap tidak meninggalkan profesinya sebagai pedagang.
Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah. Beliau pernah tinggal di Makkah selama enam tahun pada saat beliau mendapat tekanan politik dari Yazid bin Umar bin Humairah sewaktu menjadi khalifah bani umayah.[7] Sepeninggal Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat mengangkat Abu Hanifah sebagai kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran Madzhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Beberapa murid Abu Hanifah menjadi ulama besar dan mampu membesarkan dan mempertahankan eksistensi madzhabnya, diantaranya adalah;
1.      Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim al-Anshary. Beliau dikenal sebagai pembela madzhab Hanafi. Padahal beliau memiliki guru yang cukup banyak termasuk guru ilmu fiqih. Beliau meriwayatkan hadits dari Hisyam bin Urwah, Abu Ishak al-Syaibany, Atha’ bin Saib dan orang-orang yang sejajar dengan mereka. Beliau belajar fiqih pada Ibnu Abi Laila dalam suatu waktu, dan dilanjutkan belajar kepada Abu Hanifah.
2.      Zufar bin Hudzail bin Qais al-Kufi. Awalnya beliau tergolong dalam ahli hadits, namun setelah belajar banyak kepada Abu Hanifah, beliau menjadi salah satu murid Abu hanifah yang memiliki kemampuan lebih dalam menggunakan metode qiyas yang diajarkan gurunya.
3.      Muhammad bin Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau belajar hadits dan fiqih kepada Abu Hanifah tidak begitu lama karena Imam Abu Hanifah meninggal dunia.
4.      Hasan bin Zayadi al-Lu’lu’i al-Kufi Maula Anshar. Beliau murid dari Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Beliau menulis buku-buku tentang madzhab Abu Hanifah. Tetapi buku-bukunya dianggap tidak dapat mewakili pemikiran Imam Abu Hanifah.[8]
Dari keempat muridnya itu pemikiran Abu Hanifah tersiar luas. Abu Yusuf dan Muhammad mempunyai kekhususan disisi Bani Abbasiyah yang menjadikan pendapat mereka tentang fiqih mempunyai keistimewaan dihati khalifah maupun masyarakat. Merekalah yang mempunyai keutamaan besar dalam menyusun masalah-masalah fiqih dan menjawabnya.[9]
Kitab yang dinisbatkan kepada beliau adalah Fiqh al-akbar dan al-‘Alim wa al-Muta’alim.[10] Kitab yang pertama merupakan kitab fiqih yang komprehensif, karena didalamnya tidak hanya membahas tentang ilmu fiqih ansich, tetapi juga didalamnya terdapat ilmu aqidah sebagai dasar keimanan dan ilmu akhlak sebagai ilmu etika islam.
Abu Hanifah meninggal dunia ketika dalam tahanan bertepatan dengan kelahiran al-Syafi’i, yakni pada tahun 150 Hijriyah dalam umur 70 tahun. Beliau meninggal pada saat Abu Ja’far al-Mansur menjadi khalifah yang telah menahan beliau dalam penjara. Bahkan al-Mansur pun ikut serta sholat atas jenazahnya bersama dengan sekitar 50 ribu umat muslim yang mengiringinya. Beliau dikebumikan di makam perkebunan al-Khaizaran di timur kota Baghdad.[11]
Kondisi Sosiokultur Kota Kufah
Abu Hanifah tinggal di kota Kufah di Irak. Kota ini terkenal sebagai kota yang mudah menerima perubahan dan perkembangan ilmu pengetaahuan.[12] Sejak abad ke-7 M, kota Kufah masuk dalam kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Kota bersejarah di Irak yang dibangun pada masa ekspansi pertama Islam ke luar Semenanjung Arab yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Kufah juga tercatat sebagai salah satu kota terpenting dalam penyebaran ulama fiqih islam dan sebagai pusat madrasah al-ra’yi dalam madzhab fiqih islam generasi sahabat kecil dan tabi’in disamping sebagai salah satu dari empat kota terpenting bagi penganut aliran Syiah, selain Samarra, Karbala, dan Najaf.
Kufah sempat memegang peranan penting pada masa pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin. Khalifah Ali bin Abi Thalib sempat memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah ke kota ini. Selain itu, Kufah pun sempat menjadi pusat gerakan ilmiah Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka.
Kota yang terletak 10 km di timur laut kota Najaf itu tergolong kota tua. Awalnya, wilayah itu didiami bangsa Mesopotamia. Ketika Kerajaan Sassanid berkuasa Kufah merupakan bagian dari Provinsi Suristan. Kufah ditaklukan umat Islam pada tahun 637 di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Bendera Islam mulai berkibar di Kufah ketika pasukan tentara Muslim yang dipimpin panglimanya Sa’d bin Abi Waqqas berhasil mengalahkan kerajaan Romawi dan Bizantium dalam Perang Yarmuk pada 636 M. Setahun kemudian, Irak jatuh ke tangan tentara Muslim. Kota pertama yang dibangun tentara Muslim adalah Kufah dan Basra.
Awalnya, Kufah hanyalah kota yang menjadi barak-barak militer Islam. Kota itu menjadi pilihan lantaran bangsa Arab lebih suka tinggal di padang pasir terbuka. Sebab, mereka sangat suka menggembala ternak. Wilayah yang berada di tepi barat Sungai Eufrat itu pun menjadi pilihan sebagai tempat bermukim.
Atas persetujuan Khalifah Umar bin Khattab, Sa’d pun memindahkan pusat kekuasaan Islam di Persia ke Kufah pada awal 638 M. Di kota itu, Sa’d yang termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang pertama masuk Islam akhirnya membangun kota Kufah. Gedung pemerintahan dan masjid dibangun dengan gaya arsitektur Persia.
Setelah Kufah tumbuh dan berkembang, para sahabat Rasul banyak hijrah dan bermukim di kota itu. Beberapa sahabat Rasulullah yang bermukim di Kufah itu antara lain; Ibnu Abu Waqqas, Abu Musa, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibnu Mas’ud, Salman, Ammar ibnu Yasir, serta Huzayfa ibnu Yaman. Dalam perjalanannya Kufah menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu agama Islam.
Pada era itu, Kufah juga menjadi pusat penafsiran Alquran. Adalah Abdullah bin Mas’ud yang mengajarkan tafsir serta hadits kepada masyarakat di Kufah. Pada abad ke-9 M, di kota itu Yahya Ibnu Abd Al-Hamid Al-Himmani mengumpulkan hadits ke dalam sebuah musnad. Saat Kekhalifahan Umayyah berkuasa, Kufah bersaing dengan kota Damaskus yang menjadi pusat pemerintahan dinasti itu.
Setelah Dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyah, Kufah tak menjadi pusat pemerintahan. Penguasa Abbasiyah lebih memilih membangun kota Baghdad. Alasannya, Kufah merupakan pusat kekuatan Syiah yang juga merupakan lawan politik Abbasiyah. Meski terpinggirkan secara politik, perkembangan aktivitas peradaban terus berkembang di kota itu.
Bahkan, sejarah mencatat Kufah merupakan kota yang terkenal sebagai pusat politik, peradaban dan pusat lahirnya doktrin Syiah. Kufah juga menjadi pusat gerakan ilmiah yang besar. Sederet ulama terlahir di Kufah antara lain; Syuraih bin Amir, Asy-Sya’bi, An-Nakhai, dan Sa’id bin Jubair. Gerakan ilmiah itu terus berkembang dan melahirkan Abu Hanifah bin Nu’man Al-Kufi atau Imam Hanafi.
Di kota itu berdiri sekolah Sunni yang terkemuka di Kufah yang didirikan Abu Hanifah. Selain itu, Imam Syiah seperti Muhammad Al-Baqir dan anaknya Jafar Al-Sadiq juga ikut memberi pengaruh di Kufah dengan hukum-hukum yang dibuatnya di Madinah.
Pada dekade pertama Islam, Kufah begitu terkenal dalam literasi dan politik. Pada masa kejayaannya, kota yang terletak 170 km di selatan Bahgdad itu bahkan pernah menjadi pusat administrasi pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 656 M. Ali memindahkan ibu kota di Madinah ke Kufah lantara alasan politik.
Sejak itulah, kota itu menjadi basis kekuatan pendukung Ali dan keluarganya. Dukungan terhadap Ali itu kemudian melahirkan Syiah. Pergolakan politik pada masa pemerintahan Ali telah membuat Kufah menjadi semacam pusat militer. Kota itu menjadi saksi terjadinya Perang Jamal atau Perang Unta (656 M) antara Ali bin Abi Thalib dengan Siti Aisyah.
Di masa Dinasti Umayyah, Kufah kerap menjadi sumber pemberontakan pengikut Syiah. Pada 680 M, putera Ali yang juga cucu Rasulullah SAW, Husein meninggal di Karbala. Menjelang keruntuhan Dinasti Umayyah, Kufah merupakan motor penggerak dakwah Dinasti Abbasiyah. Di Masjid Kufah , Khalifah pertama Abbasiyah dilantik pada 749 M.[13]
Pola Ijtihad Imam Hanafi
Pola ijtihad madzhab Hanafi ini berdasarkan pada Nash al-Qur'an, Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih dan masyhur diantara para ulama, fatwa-fatwa sahabat, qiyas, istihsan dan urf.[14] Adapun metode Istidlal yang digunakan Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri “sesungguhnya saya mengambil kitab suci Quran dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam al-Quran, maka saya mengambil Sunnah Rasulullah SAW yang shahih dan tersiar di kalangan orang-orang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil pendapat orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim al-Sya’bi, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.[15]
Banyak pujian atas ulama besar ini diantaranya datang dari Sahl bin Mujahid yang berberkata, “ perkataan Abu Hanifah diambil dengan tsiqah,  jauh dari cela’an dan melalui penelitian terhadap muamalah manusia. Selama mereka berpegang teguh kepadanya semua urusan mereka akan baik. Dia melakukan pembahasan permasalahan dengan qiyas, maka jika qiyasnya jelek dia beralih pada istihsan selama ia sejalan dengannya. Apabila tidak bisa, dia kembali kepada bentuk muamalah kaum muslimin. Dia menyampaikan hadits ma’ruf yang disepakati kemudian mengqiyaskan dengannya selama qiyas itu memungkinkan. Mana diantara keduanya yang lebih tsiqoh dia mengambilnya.”
Berkaitan dengan pedoman pengambilan hukum yang berhubungan dengan lafadz dari nash al-Qur’an dan hadits Nabi, beliau mengambil patokan antara lain sebagai berikut;
1.      Qira’ah Syadzdzah (bacaan al-Qur’an yang tidak mtawatir) adalah hujjah, yakni dapat dijadikan sebagai dalil.
2.      Dalalah lafadz ‘amm setatusnya qath’i selama belum ditakhshishkan.
3.      Larangan (Nahyu) tidak mengakibatkan batalnya pekerjaan yang dilarang.
4.      Mutlaq dan muqoyyad yang berbeda sebab hukumnya, masing-masing mempunyai dalalah tersendiri.
Adapun kaitannya dengan sunnah sebagai hujjah bagi imam Hanafi adalah sunnah yang diriwayatkan oleh jama’ah yang berasal dari jama’ah (hadits mutawatir), atau telah diamalkan oleh para ulama fiqih kenamaan, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dihadapan sekelompok dari sahabat, dan tidak seorangpun dari kalangan mereka yang menyanggahnya. Kenyataan seperti itu dipandang sebagai pembenaran atau pengakuan mereka yang seolah-olah mereka turut meriwayatkan hadits tersebut.[16] Sedangkan kaitannya dengan khabar ahad, beliau menerimanya dengan syarat bahwa hadits itu berasal dari perawi yang ahli dalam ilmu fiqih.[17]
Adapun cara ijtihad beliau yang bersifat tambahan adalah; a). Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus, b). Banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih), c). Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat), syarat dan sifat, d). Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, e). Mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan, f). Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.[18]
Dalam hal berpegang pada riwayat atau hadits, Abu Haanifah juga dikenal sebagai ulama yang ketat memilih riwayat atau hadits sebagai dasar hukum. Beliau hanya mengambil hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggapnya terpercaya dan cenderung menggunakan pemikiran dibanding dengan menjadikan sebuah hadits yang tidak jelas asal-usulnya sebagai dasar hukum. Menggunakan asas kemudahan dalam kehidupan bermasyarakat,[19] menghindari keburukan dan memperhatikan muamalah manusia serta adat atau urf merupakan hal yang penting menurut beliau dalam setiap penetapan hukum suatu masalah.
Berdasarkan keterangan tersebut, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy dari al-Quran atau dari hadits yang diragukan kesahihannya lebih cenderung menggunakan pola berfikir qiyas dan istihsan. Kecenderungannya dalam menetapkan hukum tersebut beliau lebih senang menggunakan qiyas dibanding dengan menjadikan hadits ahad yang belum jelas kesahihannya sebagai dalil hukum. Hal ini karena Kufah terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasul Saw yang secara sosiokultural jauh berbeda dengan Kufah. Persoalan geopolitis dan sosiopolitis yang sangat memungkinkan terjadinya pemalsuan hadits pun menjadi pendorong imam Abu Hanifah menggunakan metode istidlal semacam itu. Berbeda dengan Hijaz yang memiliki tradisi islam yang sangat kuat,  mapan, dan mengakar ke setiap sendi aspek kehidupan, Kufah memiliki kehidupan sosial budaya yang jauh lebih maju, heterogen dan majemuk serta tidak memiliki tradisi islam yang mengakar seperti di Hijaz. Sehingga pantas jika beliau dikenal sebagai ulama yang dipandang lebih suka menggunakan ra’yu dan sangat selektif dalam menerima hadits. Berbeda dengan Ulama Madinah yang banyak memakai sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dalam masyarakat.
Kesimpulan dan Penutup
Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama fiqih yang memiliki kepribadian luar biasa, seorang yang zahid sekalipun sebagai pedagang yang kaya, dihargai oleh sahabat-sahabatnya, dan ulama yang mendapat tempat yang baik dengan masyarakat dan banyak diminati oleh para khalifah baik dari Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah karena keilmuannya untuk menjabat sebagai qadli. Kufah adalah negeri kelahiran beliau, merupakan tempat tumbuh subur dan berkembangnya ilmu pengetahuan (termasuk penerjemahan buku-buku) dan ideologi-ideologi, tempat bertemunya berbagai budaya dan politik.
Keilmuannya diakui oleh semua ulama setelahnya. Namun, ketinggian ilmunya tertutupi dengan sifat wara’nya, tetap sebagai pedagang dan tidak tergiur dengan dunia politik. Konsisten dengan pendapatnya dan tegas dalam keputusan hukumnya. Hal demikian karena dukungan dari dirinya dan lingkungan sosial budaya Kufah yang membentuk beliau menjadi besar, terutama murid-murid beliau yang mampu mengangkat pemikiran-pemikiran hukum beliau. Abdullah bin al-Mubarak memujinya dengan berkata “Imam Abu Hanifah adalah akal ilmu pengetahuan”[20] dan Ibnu Jarir mengatakan ketika Abu Hanifah meninggal “ilmu sudah hilang”.[21] Sangat pantas jika beliau mendapat gelar sebagai al-Imam al-A’dham (Imam Besar).
Dasar penetapan hukum yang dipegang oleh imam Abu Hanifah adalah terdiri dari; al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih dan masyhur diantara para ulama, fatwa-fatwa sahabat, qiyas, istihsan dan urf.


[1] Manna’ al-Qothon,Tarikh al-Tasyri’ al-Islami,(Kairo;Penerbit Maktabah Wahbah,tanpa tahun),hlm. 325. Selanjutnya disebut al-Qothon,Tarikh.
[2] TM Hasby Ashshiddieqy,Pengantar Hukum Islam,(Semarang;PT Pustaka Rizki Putra,cet. 2,tahun 2001),hlm. 85. Selanjutnya disebut TM Hasby,Pengantar.
[3] Ahmad al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab,terj.,(Penerbit Amzah,cet. Ke-4,tahun 2004),hlm. 35. Selanjutnya disebut al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi.
[4] TM Hasby,Pengantar,hlm. 76
[5] Khudhari Bik,Tarikh al-Tasyri’ al-Islami,terj.(Semarang;Penerbit Daru Ihya Indonesia,tanpa tahun), hlm. 408. Selanjutnya disebut,Khudhari,Tarikh.
[6] TM Hasby,Pengantar,hlm. 86
[7] al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi,hlm. 35
[8] Khudhary,Tarikh,hlm. 412-414
[9] Khudhary,Tarikh,hlm. 415
[10] Menurut Muhammad Abu Zahroh yang dikutip oleh Jaih Mubarok dari bukunya Muhadlarat fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah,Beirut; Jam’iyah al-Dirasat al-Islamiyah, hlm. 185 menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah tidak menulis kitab secara langsung kecuali beberapa risalah kecil yang dinisbatkan kepada beliau, seperti risalah yang diberi nama al-Fiqh al-Akbar dan l-‘Alim wa al-Muta’alim. Lihat Jaih Mubarok,Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,(Bandung;Penerbit PT Remaja Rosdakarya, cet. Ke-1,tahun 2000),hlm. 77. Selajutnya disebut Jaih Mubarok,Sejarah dan Perkembangan.
[11] al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi,hlm. 69
[12] al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi,hlm. 17
[13]Amira Mehnaaz,  http://www.gaulislam.com/kufah-pusat-gerakan-ilmiah-islam
[14] TM Hasby,Pengantar,hlm. 87
[15] Khudhary,Tarikh,hlm. 410
[16] KH Ibrahim Hosein,Fiqih perbandingan masalah pernikahan,(Jakarta;Penerbit Pustaka Firdaus, cet. 1, tahun 2003),hlm. 79. Selanjutnya disebut Ibrahim Hosein,Fiqih Perbandingan.
[17] Ibrahim Hosein,Fiqih Perbandingan,hlm. 80.
[18] Jaih Mubarok,Sejarah dan Perkembangan.hlm. 75
[19] al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi,hlm. 21
[20] al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi,hlm. 70
[21] al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi,hlm. 12

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Hukum Islam

Tarikh Tasyri' Masa Sahabat

Wasiat