Abu Hanifah
Abu Hanifah:
Riwayat Hidup, Kondisi Sosiokultur,
dan Pola Ijtihadnya
Pendahuluan
Abu Hanifah adalah seorang ulama fiqih yang menyandang gelar Ahl
al-Ra’yi. Beliau merupakan pendiri madzhab Hanafi yang banyak diikuti oleh
para ulama berikutnya. Namanya tak pernah padam sekalipun dihujat oleh beberapa
ulama yang tidak sepaham dengan pemikirannya yang cenderung rasional dan
responsif terhadap perubahan. Kontekstualis merupakan sandangan yang tepat
untuk mengingat konsep hukumnya sekalipun sebenarnya beliau sangat
memperhatikan hadits. Ini terbukti dengan kehati-hatian beliau menggunakan
hadits ketika dalam menetapkan suatu hukum masalah tertentu. Beliau lebih mengedepankan
pemikirannya dengan metode istihsannya dalam menggali hukum dibanding harus
menggunakan hadits ahad yang masih diragukan kesahihannya.
Beliau
adalah seorang faqih yang alim, zahid, wara’, tawaddu’, dan khusu’ dalam
sholat. Banyak mengetahui ilmu pengetahuan agama mulai dari ilmu tafsir,
hadits, dan bahasa Arab. Pada masa remajanya beliau gunakan segala
kecemerlangan pemikirannya untuk mencintai ilmu pengetahuan agama, walaupun
beliau itu anak seorang pedagang kaya namun beliau tidak menyukai hidup
bermewah mewah. Sekalipun telah menjadi seorang ulama, beliau tetap menjadi pedagang
yang sukses melanjutkan ayahnya dan hartanya lebih suka didermakan ketimbang
untuk kepentingan sendiri.
keahliannya dalam ilmu agama itu diakui oleh ulama ulama pada
zamannya, bahkan gurunya Imam Hammad bin Abi Sulaiman mempercayakannya untuk
memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid-muridnya. Keahliannya itu pun
menai pujian termasuk dari Imam Syafi‟i yang menyatakan bahwa Abu Hanifah
adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh.
Kondisi sosial budaya masyarakat Irak ketika itu menjadi pusat
peradaban Islam yang menjadikannya sebagai kota metropolis. Sebagai pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban, Irak dapat membawa masyarakatnya menjadi lebih kritis
dan subur permasalahan. Didalamnya berbagai permasalahan yang beragam dan pelik
menggiring para ulamanya untuk berfikir lebih kreatif dan rasional. Ditambah
lagi dengan keterbatasan nash dalam mengakomodasi persoalan kontekstual ikut
serta dalam membangun kota ini sebagai madrasah bagi lahirnya ulama-ulama yang
berkecenderungan pada dominasi penggunaan akal ketimbang nash dalam setiap
penetapan hukumnya. Beliau adalah ulama yang melanjutkan corak pemikiran ulama
Kufah yang terkenal dengan sebutan ulama ahl al-ra’yi. Dan lebih
diperkuat lagi dengan latar belakang historis keilmuan yang diperoleh Imam
Hanafi berasal dari ulama tabi’in dan sahabat dari madzhab madrash al-ra’yi.
Riwayat Hidup Imam Hanafi
Imam besar ini bernama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zauthi
al-Kufi, dilahirkan pada tahun 80 H/699 M di Kufah. Beliau dilahirkan pada masa
Bani Umayah dibawah pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan mengetahui
pentadwinan hadits yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, mengetahui
mulai lemahnya kekhalifahan Bani Umayah dan kemenangan yang digapai oleh
kekhalifahan Bani Abbasiyah.[1]
Artinya, beliau menjalani hidup di dua lingkungan sosiopolitik yang
berbeda, beliau hidup cukup lama pada masa Bani Umayah selama 52 tahun, dan mengalami
perpindahan kekuasaan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah dan dalam peralihan ini
Kufah merupakan pusat pergerakan yang besar dalam perpindahan kekuasaan. Di
kota ini pula pembai’atan Abdul Abbas al-Saffah dinobatkan sebagai khalifah
pertama Bani Abasiyah. Imam Abu Hanifah tidak turut aktif dalam pergerakan
tersebut. Ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Yazid ibn Hubairoh gubernur
Irak dari khalifah Marwan bin Muhammad ingin mengangkatnya menjadi qadly dan
beliau menolaknya yang berakibat pada dihukumnya sang Imam dengan deraan.[2]
Secara politis beliau tidak mengikuti keduanya. Baik Bani Umayah
maupun Bani Abbasiyah dalam pandangan politiknya sama sekali tidak memihak
kepada dua kepemerintahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sikap penolakan
beliau terhadap khalifah Bani Umayah dan sikap beliau yang tidak turut serta
secara aktif dalam pergerakan politik Bani Abbasiyah. Beliau lebih mendukung
keluarga Ali (Ahl Bait) yang sering mendapat tekanan dari kedua
kekhalifahan tadi.[3]
Kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecil, berakhlak mulia
serta menjauhi perbuatan dosa dan keji merupakan bekal hidupnya menjadi orang
besar yang hidup di masa keemasan islam dan beliau adalah termasuk orang yang
mengukir prestasi keemasan zamannya. Dikala muda beliau belajar fiqih dari
Hammad bin Abi Sulaiman seorang ulama Kufah kenamaan murid dari Alqamah ibn
Qais al-Nakha’i dan ulama tabi’in lainnya sebagai murid dari Abdullah bin
Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib.[4] Beliau
belajar kepada Hammad pada permulaan abad ke-2 dan tidak hanya kepada Hammad
belaiu belajar. Tercatat beberapa nama ulama tabi’in sebagai gurunya seperti
Atha bin Abu Rabah dan Nafi’ Maula Ibn Umar.[5]
Bisa dikatakan, hampir seluruh gurunya berasal dari madrasah
al-ra’yi. Dan ini salah satu yang melatar belakangi pemikiran hukum islam
yang membawa nama beliau menjadi besar sebagai ulama fiqih rasionalis yang
menjadi rujukan setiap orang yang mendalami hukum islam.
Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain sutera yang melanjutkan
profesi ayahnya di kota kelahirannya, Kufah. Beliau dikenal sebagai orang yang
jujur dan benar dalam berdagang dan dalam muamalah lainnya. Dalam berdagang,
beliau dikenal sebagai orang yang tidak suka menawar dalam penjualan. Setelah
beliau menjadi ulama besar di bidang ilmu fiqih, tidak sedikit ulama yang
belajar ilmu fiqih kepada beliau.[6]
Akan tetapi beliau tetap tidak meninggalkan profesinya sebagai pedagang.
Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqh dan hadits
sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah. Beliau pernah tinggal
di Makkah selama enam tahun pada saat beliau mendapat tekanan politik dari
Yazid bin Umar bin Humairah sewaktu menjadi khalifah bani umayah.[7] Sepeninggal
Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat mengangkat Abu Hanifah sebagai kepala
Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah
fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran Madzhab Hanafi
yang dikenal sekarang ini.
Beberapa murid Abu Hanifah menjadi ulama besar dan mampu membesarkan
dan mempertahankan eksistensi madzhabnya, diantaranya adalah;
1.
Abu
Yusuf Ya’kub bin Ibrahim al-Anshary. Beliau dikenal sebagai pembela madzhab
Hanafi. Padahal beliau memiliki guru yang cukup banyak termasuk guru ilmu
fiqih. Beliau meriwayatkan hadits dari Hisyam bin Urwah, Abu Ishak al-Syaibany,
Atha’ bin Saib dan orang-orang yang sejajar dengan mereka. Beliau belajar fiqih
pada Ibnu Abi Laila dalam suatu waktu, dan dilanjutkan belajar kepada Abu
Hanifah.
2.
Zufar
bin Hudzail bin Qais al-Kufi. Awalnya beliau tergolong dalam ahli hadits, namun
setelah belajar banyak kepada Abu Hanifah, beliau menjadi salah satu murid Abu
hanifah yang memiliki kemampuan lebih dalam menggunakan metode qiyas yang
diajarkan gurunya.
3.
Muhammad
bin Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau belajar hadits dan fiqih kepada Abu
Hanifah tidak begitu lama karena Imam Abu Hanifah meninggal dunia.
4.
Hasan
bin Zayadi al-Lu’lu’i al-Kufi Maula Anshar. Beliau murid dari Imam Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan Muhammad. Beliau menulis buku-buku tentang madzhab Abu Hanifah.
Tetapi buku-bukunya dianggap tidak dapat mewakili pemikiran Imam Abu Hanifah.[8]
Dari keempat muridnya itu pemikiran Abu Hanifah tersiar luas. Abu
Yusuf dan Muhammad mempunyai kekhususan disisi Bani Abbasiyah yang menjadikan
pendapat mereka tentang fiqih mempunyai keistimewaan dihati khalifah maupun
masyarakat. Merekalah yang mempunyai keutamaan besar dalam menyusun
masalah-masalah fiqih dan menjawabnya.[9]
Kitab yang dinisbatkan kepada beliau adalah Fiqh al-akbar dan
al-‘Alim wa al-Muta’alim.[10]
Kitab yang pertama merupakan kitab fiqih yang komprehensif, karena
didalamnya tidak hanya membahas tentang ilmu fiqih ansich, tetapi juga
didalamnya terdapat ilmu aqidah sebagai dasar keimanan dan ilmu akhlak sebagai
ilmu etika islam.
Abu Hanifah meninggal dunia ketika dalam tahanan bertepatan dengan
kelahiran al-Syafi’i, yakni pada tahun 150 Hijriyah dalam umur 70 tahun. Beliau
meninggal pada saat Abu Ja’far al-Mansur menjadi khalifah yang telah menahan
beliau dalam penjara. Bahkan al-Mansur pun ikut serta sholat atas jenazahnya
bersama dengan sekitar 50 ribu umat muslim yang mengiringinya. Beliau
dikebumikan di makam perkebunan al-Khaizaran di timur kota Baghdad.[11]
Kondisi Sosiokultur Kota Kufah
Abu Hanifah tinggal di kota Kufah di Irak. Kota
ini terkenal sebagai kota yang mudah menerima perubahan dan perkembangan ilmu
pengetaahuan.[12]
Sejak abad ke-7 M, kota Kufah masuk dalam kota terpenting dalam sejarah
peradaban Islam. Kota bersejarah di Irak yang dibangun pada masa ekspansi
pertama Islam ke luar Semenanjung Arab yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Kufah juga tercatat sebagai salah satu kota terpenting dalam penyebaran ulama
fiqih islam dan sebagai pusat madrasah al-ra’yi dalam madzhab fiqih
islam generasi sahabat kecil dan tabi’in disamping sebagai salah satu dari
empat kota terpenting bagi penganut aliran Syiah, selain Samarra, Karbala, dan
Najaf.
Kufah sempat memegang peranan penting pada masa
pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin. Khalifah Ali bin Abi Thalib sempat
memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah ke kota ini. Selain itu,
Kufah pun sempat menjadi pusat gerakan ilmiah Islam yang telah melahirkan
sejumlah ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka.
Kota yang terletak 10 km di timur laut kota
Najaf itu tergolong kota tua. Awalnya, wilayah itu didiami bangsa Mesopotamia.
Ketika Kerajaan Sassanid berkuasa Kufah merupakan bagian dari Provinsi
Suristan. Kufah ditaklukan umat Islam pada tahun 637 di era kepemimpinan
Khalifah Umar bin Khattab. Bendera Islam mulai berkibar di Kufah ketika pasukan
tentara Muslim yang dipimpin panglimanya Sa’d bin Abi Waqqas berhasil
mengalahkan kerajaan Romawi dan Bizantium dalam Perang Yarmuk pada 636 M.
Setahun kemudian, Irak jatuh ke tangan tentara Muslim. Kota pertama yang
dibangun tentara Muslim adalah Kufah dan Basra.
Awalnya, Kufah hanyalah kota yang menjadi
barak-barak militer Islam. Kota itu menjadi pilihan lantaran bangsa Arab lebih
suka tinggal di padang pasir terbuka. Sebab, mereka sangat suka menggembala
ternak. Wilayah yang berada di tepi barat Sungai Eufrat itu pun menjadi pilihan
sebagai tempat bermukim.
Atas persetujuan Khalifah Umar bin Khattab,
Sa’d pun memindahkan pusat kekuasaan Islam di Persia ke Kufah pada awal 638 M.
Di kota itu, Sa’d yang termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang
pertama masuk Islam akhirnya membangun kota Kufah. Gedung pemerintahan dan
masjid dibangun dengan gaya arsitektur Persia.
Setelah Kufah tumbuh dan berkembang, para
sahabat Rasul banyak hijrah dan bermukim di kota itu. Beberapa sahabat
Rasulullah yang bermukim di Kufah itu antara lain; Ibnu Abu Waqqas, Abu Musa,
Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibnu Mas’ud, Salman, Ammar ibnu Yasir, serta
Huzayfa ibnu Yaman. Dalam perjalanannya Kufah menjadi pusat perkembangan ilmu
pengetahuan dan ilmu agama Islam.
Pada era itu, Kufah juga menjadi pusat
penafsiran Alquran. Adalah Abdullah bin Mas’ud yang mengajarkan tafsir serta
hadits kepada masyarakat di Kufah. Pada abad ke-9 M, di kota itu Yahya Ibnu Abd
Al-Hamid Al-Himmani mengumpulkan hadits ke dalam sebuah musnad. Saat
Kekhalifahan Umayyah berkuasa, Kufah bersaing dengan kota Damaskus yang menjadi
pusat pemerintahan dinasti itu.
Setelah Dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyah,
Kufah tak menjadi pusat pemerintahan. Penguasa Abbasiyah lebih memilih
membangun kota Baghdad. Alasannya, Kufah merupakan pusat kekuatan Syiah yang
juga merupakan lawan politik Abbasiyah. Meski terpinggirkan secara politik,
perkembangan aktivitas peradaban terus berkembang di kota itu.
Bahkan, sejarah mencatat Kufah merupakan kota
yang terkenal sebagai pusat politik, peradaban dan pusat lahirnya doktrin
Syiah. Kufah juga menjadi pusat gerakan ilmiah yang besar. Sederet ulama
terlahir di Kufah antara lain; Syuraih bin Amir, Asy-Sya’bi, An-Nakhai, dan
Sa’id bin Jubair. Gerakan ilmiah itu terus berkembang dan melahirkan Abu
Hanifah bin Nu’man Al-Kufi atau Imam Hanafi.
Di kota itu berdiri sekolah Sunni yang
terkemuka di Kufah yang didirikan Abu Hanifah. Selain itu, Imam Syiah seperti
Muhammad Al-Baqir dan anaknya Jafar Al-Sadiq juga ikut memberi pengaruh di
Kufah dengan hukum-hukum yang dibuatnya di Madinah.
Pada dekade pertama Islam, Kufah begitu
terkenal dalam literasi dan politik. Pada masa kejayaannya, kota yang terletak
170 km di selatan Bahgdad itu bahkan pernah menjadi pusat administrasi
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 656 M. Ali memindahkan ibu
kota di Madinah ke Kufah lantara alasan politik.
Sejak itulah, kota itu menjadi basis kekuatan
pendukung Ali dan keluarganya. Dukungan terhadap Ali itu kemudian melahirkan
Syiah. Pergolakan politik pada masa pemerintahan Ali telah membuat Kufah
menjadi semacam pusat militer. Kota itu menjadi saksi terjadinya Perang Jamal
atau Perang Unta (656 M) antara Ali bin Abi Thalib dengan Siti Aisyah.
Di masa Dinasti Umayyah, Kufah kerap menjadi
sumber pemberontakan pengikut Syiah. Pada 680 M, putera Ali yang juga cucu
Rasulullah SAW, Husein meninggal di Karbala. Menjelang keruntuhan Dinasti
Umayyah, Kufah merupakan motor penggerak dakwah Dinasti Abbasiyah. Di Masjid
Kufah , Khalifah pertama Abbasiyah dilantik pada 749 M.[13]
Pola Ijtihad Imam Hanafi
Pola ijtihad madzhab Hanafi ini berdasarkan pada Nash al-Qur'an, Sunnah
Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih dan masyhur diantara para ulama,
fatwa-fatwa sahabat, qiyas, istihsan dan urf.[14]
Adapun metode Istidlal yang digunakan Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan
beliau sendiri “sesungguhnya saya mengambil kitab suci Quran dalam menetapkan
hukum, apabila tidak didapatkan dalam al-Quran, maka saya mengambil Sunnah
Rasulullah SAW yang shahih dan tersiar di kalangan orang-orang terpercaya.
Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil pendapat
orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari
pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim al-Sya’bi, Hasan ibn
Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad”.[15]
Banyak pujian atas ulama besar ini diantaranya datang dari Sahl bin Mujahid
yang berberkata, “ perkataan Abu Hanifah diambil dengan tsiqah, jauh dari
cela’an dan melalui penelitian terhadap muamalah manusia. Selama mereka berpegang
teguh kepadanya semua urusan mereka akan baik. Dia melakukan pembahasan
permasalahan dengan qiyas, maka jika qiyasnya jelek dia beralih pada istihsan
selama ia sejalan dengannya. Apabila tidak bisa, dia kembali kepada bentuk
muamalah kaum muslimin. Dia menyampaikan hadits ma’ruf yang disepakati kemudian
mengqiyaskan dengannya selama qiyas itu memungkinkan. Mana diantara keduanya
yang lebih tsiqoh dia mengambilnya.”
Berkaitan dengan pedoman pengambilan hukum yang berhubungan dengan lafadz
dari nash al-Qur’an dan hadits Nabi, beliau mengambil patokan antara lain
sebagai berikut;
1. Qira’ah Syadzdzah (bacaan al-Qur’an yang
tidak mtawatir) adalah hujjah, yakni dapat dijadikan sebagai dalil.
2. Dalalah lafadz ‘amm setatusnya qath’i selama
belum ditakhshishkan.
3. Larangan (Nahyu) tidak mengakibatkan batalnya pekerjaan yang
dilarang.
4. Mutlaq dan muqoyyad yang
berbeda sebab hukumnya, masing-masing mempunyai dalalah tersendiri.
Adapun kaitannya dengan sunnah sebagai hujjah bagi imam Hanafi
adalah sunnah yang diriwayatkan oleh jama’ah yang berasal dari jama’ah (hadits
mutawatir), atau telah diamalkan oleh para ulama fiqih kenamaan, atau hadits
yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dihadapan sekelompok dari sahabat, dan
tidak seorangpun dari kalangan mereka yang menyanggahnya. Kenyataan seperti itu
dipandang sebagai pembenaran atau pengakuan mereka yang seolah-olah mereka
turut meriwayatkan hadits tersebut.[16] Sedangkan
kaitannya dengan khabar ahad, beliau menerimanya dengan syarat bahwa hadits itu
berasal dari perawi yang ahli dalam ilmu fiqih.[17]
Adapun cara ijtihad beliau yang bersifat tambahan adalah; a). Pendapat
sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus, b). Banyaknya
yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih), c). Adanya penolakan
terhadap mafhum (makna tersirat), syarat dan sifat, d). Apabila
perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya,
bukan riwayatnya, e). Mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang
dipertentangkan, f). Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila
diperlukan.[18]
Dalam hal berpegang pada riwayat atau hadits, Abu Haanifah juga dikenal
sebagai ulama yang ketat memilih riwayat atau hadits sebagai dasar hukum.
Beliau hanya mengambil hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggapnya
terpercaya dan cenderung menggunakan pemikiran dibanding dengan menjadikan
sebuah hadits yang tidak jelas asal-usulnya sebagai dasar hukum. Menggunakan
asas kemudahan dalam kehidupan bermasyarakat,[19] menghindari
keburukan dan memperhatikan muamalah manusia serta adat atau urf merupakan
hal yang penting menurut beliau dalam setiap penetapan hukum suatu masalah.
Berdasarkan keterangan tersebut, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam
beristidlal atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya
secara qath’iy dari al-Quran atau dari hadits yang diragukan kesahihannya lebih
cenderung menggunakan pola berfikir qiyas dan istihsan.
Kecenderungannya dalam menetapkan hukum tersebut beliau lebih senang menggunakan
qiyas dibanding dengan menjadikan hadits ahad yang belum jelas
kesahihannya sebagai dalil hukum. Hal ini karena Kufah terletak jauh dari
Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasul Saw yang secara sosiokultural jauh
berbeda dengan Kufah. Persoalan geopolitis dan sosiopolitis yang sangat
memungkinkan terjadinya pemalsuan hadits pun menjadi pendorong imam Abu Hanifah
menggunakan metode istidlal semacam itu. Berbeda dengan Hijaz yang memiliki
tradisi islam yang sangat kuat, mapan, dan
mengakar ke setiap sendi aspek kehidupan, Kufah memiliki kehidupan sosial
budaya yang jauh lebih maju, heterogen dan majemuk serta tidak memiliki tradisi
islam yang mengakar seperti di Hijaz. Sehingga pantas jika beliau dikenal
sebagai ulama yang dipandang lebih suka menggunakan ra’yu dan sangat
selektif dalam menerima hadits. Berbeda dengan Ulama Madinah yang banyak
memakai sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dalam
masyarakat.
Kesimpulan dan Penutup
Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama fiqih yang memiliki kepribadian luar
biasa, seorang yang zahid sekalipun sebagai pedagang yang kaya, dihargai oleh
sahabat-sahabatnya, dan ulama yang mendapat tempat yang baik dengan masyarakat dan
banyak diminati oleh para khalifah baik dari Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah
karena keilmuannya untuk menjabat sebagai qadli. Kufah adalah negeri
kelahiran beliau, merupakan tempat tumbuh subur dan berkembangnya ilmu
pengetahuan (termasuk penerjemahan buku-buku) dan ideologi-ideologi, tempat
bertemunya berbagai budaya dan politik.
Keilmuannya diakui oleh semua ulama setelahnya. Namun, ketinggian ilmunya
tertutupi dengan sifat wara’nya, tetap sebagai pedagang dan tidak tergiur
dengan dunia politik. Konsisten dengan pendapatnya dan tegas dalam keputusan
hukumnya. Hal demikian karena dukungan dari dirinya dan lingkungan sosial
budaya Kufah yang membentuk beliau menjadi besar, terutama murid-murid beliau
yang mampu mengangkat pemikiran-pemikiran hukum beliau. Abdullah bin al-Mubarak
memujinya dengan berkata “Imam Abu Hanifah adalah akal ilmu pengetahuan”[20] dan
Ibnu Jarir mengatakan ketika Abu Hanifah meninggal “ilmu sudah hilang”.[21] Sangat
pantas jika beliau mendapat gelar sebagai al-Imam al-A’dham (Imam Besar).
Dasar penetapan hukum yang dipegang oleh imam Abu Hanifah adalah terdiri
dari; al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih dan
masyhur diantara para ulama, fatwa-fatwa sahabat, qiyas, istihsan dan urf.
[1] Manna’
al-Qothon,Tarikh al-Tasyri’ al-Islami,(Kairo;Penerbit Maktabah
Wahbah,tanpa tahun),hlm. 325. Selanjutnya disebut al-Qothon,Tarikh.
[2]
TM Hasby
Ashshiddieqy,Pengantar Hukum Islam,(Semarang;PT Pustaka Rizki Putra,cet.
2,tahun 2001),hlm. 85. Selanjutnya disebut TM Hasby,Pengantar.
[3] Ahmad
al-Syurbasi,Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab,terj.,(Penerbit
Amzah,cet. Ke-4,tahun 2004),hlm. 35. Selanjutnya disebut al-Syurbasi,Sejarah
dan Biografi.
[4]
TM Hasby,Pengantar,hlm.
76
[5]
Khudhari Bik,Tarikh
al-Tasyri’ al-Islami,terj.(Semarang;Penerbit Daru Ihya Indonesia,tanpa
tahun), hlm. 408. Selanjutnya disebut,Khudhari,Tarikh.
[6] TM Hasby,Pengantar,hlm.
86
[7] al-Syurbasi,Sejarah
dan Biografi,hlm. 35
[8] Khudhary,Tarikh,hlm.
412-414
[9] Khudhary,Tarikh,hlm.
415
[10] Menurut
Muhammad Abu Zahroh yang dikutip oleh Jaih Mubarok dari bukunya Muhadlarat
fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah,Beirut; Jam’iyah al-Dirasat
al-Islamiyah, hlm. 185 menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah tidak menulis
kitab secara langsung kecuali beberapa risalah kecil yang dinisbatkan kepada
beliau, seperti risalah yang diberi nama al-Fiqh al-Akbar dan l-‘Alim
wa al-Muta’alim. Lihat Jaih Mubarok,Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam,(Bandung;Penerbit PT Remaja Rosdakarya, cet. Ke-1,tahun 2000),hlm.
77. Selajutnya disebut Jaih Mubarok,Sejarah dan Perkembangan.
[11]
al-Syurbasi,Sejarah
dan Biografi,hlm. 69
[12]
al-Syurbasi,Sejarah
dan Biografi,hlm. 17
[13]Amira
Mehnaaz, http://www.gaulislam.com/kufah-pusat-gerakan-ilmiah-islam
[14]
TM Hasby,Pengantar,hlm.
87
[15] Khudhary,Tarikh,hlm.
410
[16] KH Ibrahim
Hosein,Fiqih perbandingan masalah pernikahan,(Jakarta;Penerbit Pustaka
Firdaus, cet. 1, tahun 2003),hlm. 79. Selanjutnya disebut Ibrahim Hosein,Fiqih
Perbandingan.
[17] Ibrahim
Hosein,Fiqih Perbandingan,hlm. 80.
[18]
Jaih Mubarok,Sejarah
dan Perkembangan.hlm. 75
[19]
al-Syurbasi,Sejarah
dan Biografi,hlm. 21
[20]
al-Syurbasi,Sejarah
dan Biografi,hlm. 70
[21]
al-Syurbasi,Sejarah
dan Biografi,hlm. 12
Komentar