TERMINOLOGI DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM


TERMINOLOGI DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM
I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Memahami hukum Islam berarti memahami hukum yang bersifat teosentris. Oleh karenanya, hokum islam sering dianggap sebagai hokum yang religius, sacral, dan abadi. Namun kenyataannya, dalam sejarah sepanjang perkembangannya, ia selalu menghadapi tantangan berupa perubahan social yang cukup radikal yang menuntut daya suai dari hokum. Sering kali dampak perubahan social itu begitu hebat sehingga mempengaruhi konsep-konsep serta pranata hokum yang telah terbentuk sekian lama seolah-olah dipaksa untuk dilakukan perubahan rekonstruktif dan bahkan dekonstruktif. Dengan demikian muncul kebutuhan baru yang berkenaan dengan epistemology hokum jika memang ini diperlukan.[1]
Dari pandangan yang semacam ini kita dapat menyimpulkan bahwa hokum islam yang selama ini dipandang sacral dan abadi, justeru menampakkan wajah yang seakan berbeda dengan yang aslinya. Sebagai contoh kasus, Sahabat Umar RA memutuskan berbeda dengan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran berkaitan dengan hokum pencurian. Kasus ini menjadi contoh menarik manakala kita kaitkan dengan kesakralan dan keabadian hokum islam, bahwa hukum islam memiliki daya suai yang jauh berbeda dengan wajah aslinya.
Di sisi lain, hampir semua ahli hokum islam berpandangan bahwa hokum islam mempunyai landasannya dalam wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Nabi, yakni Al-Quran dan Hadits. Karena bersifat ilahiyah atau bersumber pada wahyu, sumber-sumber ini diyakini sebagai sacral, final dan karenanya abadi.[2] Bahkan dipahami pula sebagai hokum yang bersumber dari kehendak Ilahi.[3]
Dalam kontroversi di atas tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan berkaitan dengan terminology hokum islam itu sendiri, apakah penyebutan hokum islam itu yang dimaksudkan adalah hal yang satu atau mencakup pula hal yang lainnya, terlebih berkaitan dengan metodologi hokum yang selama ini digunakan oleh para ulama dalam melahirkan produk hokum dari tingkah laku dan tindakan kaum muslimin sebagai objek dari kajian hokum islam.
TERMINOLOGI HUKUM ISLAM
Hokum islam merupakan dua rangkaian kata “hokum” dan  “islam”. Hukum islam dipahami sebagai seperangkat peraturan yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul SAW yang mengatur tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku untuk semua umat yang beragama islam.[4] Karena hukum islam ini berdasarkan wahyu Allah (Al-Quran) dan sunnah Rasul SAW maka hukum ini bersifat religius[5] dan memiliki prinsip-prinsip yang universal.[6]
Oleh karenanya walaupun hukum islam ini bersumber dari wahyu yang sakral akan tetapi tidak menunjukkan pada kekakuan terhadap adanya perubahan-perubahan yang terjadi dan dihadapi oleh manusia. Ia terus berkembang dan memiliki daya suai atau adaptabilitas atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Pada prakteknya hukum islam telah memberi tempat kepada perubahan-perubahan sosial. Asal-usul hukum muncul sebagai tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial, dan dalam pokok-pokok permasalahan serta metodologinya ia memperlihatkan daya suai terhadap perubahan sosial.
Namun demikian, Al-Quran sebagai sumber hukum islam tidak pernah menyebutkan kata hukum islam, melainkan hanya kata hukum Allah yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah (60) : 10. 
Artinya; ”Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Mumtahanah: 10).
Oleh karena itu untuk memahami hokum islam penting kiranya untuk memahami makna syari’at dan fiqih. Hal ini disebabkan oleh karena hubungan antara keduanya sangat erat dengan hokum islam, walaupun dapat dibedakan, tetapi keduanya tidak mungkin dipisahkan, karena syariat adalah landasan fiqih sedangkan fiqih merupakan pemahaman tentang syariat.[7] Dalam literatur Barat terdapat term Islamic law yang secara harfiah dapat disebut hukum Islam. dalam penjelasan terhadap kata Islamic law sering ditemukan  definisi; keseluruhan kitab Allah yang mengatur  kehidupan setiap muslim dalam segala “aspeknya” dari definisi ini terlihat bahwa hukum Islam itu mendekati kepada arti Syari’at Islam.[8]
Syari’ah sering digunakan sebagai sinonim dari kata “din” dan “millah” yang bermakna segala peraturan  yang berasal dari Allah swt yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits  yang bersifat “qathi” atau jelas nashnya.[9]
Syari’at secara harfiah bermakana “sumber air” atau “sumber kehidupan”, sedangkan syariat dalam kalangan ahli hokum islam mempunyai pengertian umum dan khusus. Syariat dalam pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam islam, atau seperti yang diungkapkan oleh At-Tahanami penulis kitab Kasyafu istilahati al-funun yang dikutip langsung oleh Wahbah Zuhaili bahwa Syariat adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah untuk hambanya dari beberapa hokum yang dibawa oleh seorang Nabi dan para nabi, baik yang berkaitan dengan cara melakukan sesuatu yang disebut syari’ah far’iyah atau syari’ah amaliyah, hal ini termaktub dalam ilmu fiqih. Jika berkenaan dengan akidah disebut dengan syari’at ashliyah atau syari’at I’tiqodiyah yang dikaji dalam ilmu kalam.[10] Syari’at dalam pengertian ini sering disebut dengan fiqih akbar yang mencakup akidah, syariat dan akhlak.[11] Dalam pengertian semacam ini, syariat dipahami sebagai syariat agama secara keseluruhan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Syari’at juga sering ditujukan pada ajaran islam yang dipahamai langsung dari Al-Quran dan Sunnah, yang merupakan realitas metafisika yang diketahui melalui keduanya. Adapun syari’at dalam pengertian khusus dikenal sebagai hokum amaliyah yang ditetapkan Allah untuk umat manusia melalui wahyu yang disampaikan oleh Rosul sebagai jalan menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak.[12]
Syariat dalam pengertian inilah yang pada akhirnya dipahami sebagai hokum islam atau hokum syari’at sebagai khithob Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, yang mengandung perintah atau larangan, atau berbentuk pilihan, dan bisa pula tentang sesuatu yang menjadi sebab, syarat dan bahkan menjadi penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.[13]
Syariat dalam pengertian semacam ini yang menghantarkan kita pada pemahaman syari’at yang berhubungan erat dengan fiqih. Karena melalui syariat, pemahaman tentang hokum suatu perbuatan mukalaf akan dapat dipahami, apakah hokum suatu perbuatan itu haram atau wajib, atau menjadi sebab bagi adanya sesuatu seperti misalnya tergelincirnya matahari adalah sebagai sebab diwajibkannya sholat dzuhur. Bisa juga sebagai syarat, misalnya suci dari hadats adalah syarat dari sholat.
Melalui syariat, hokum suatu perbuatan akan dapat dipahami, maka memahami hokum tentang amaliyah mukallaf  melalui dalil-dalil syar’i yang terperinci merupakan pemahaman tentang hokum yang dikenal dengan istilah fiqih.
Secara harfiyah fiqih bermakna “faham” atau “tahu secara mendalam”. Secara terminology pengertian fiqih merupakan pemahaman tentang hokum syari’at yang berhubungan dengan manusia mukallaf yang diperoleh dari dalil-dalil syar’i yang terperinci. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Kholaf bahwa fiqih adalah pemahaman tentang hokum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari dali-dalilnya yang terperinci.
Dengan demikian, jika ketentuan hokum syar’i yang bersifat amaliyah itu telah dijelaskan oleh nash dan diketahui secara dharury seperti shalat, zakat, puasa dan ibadah haji tidak lagi disebut fiqih sebagai mana yang dimaksud oleh definisi di atas, melainkan ia adalah syari’at. Maka dapat dipahami bahwa hukum syar’i yang bersifat amaliyah bila bukan dalam bentuk hasil penggalian seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah, tidak disebut fiqih. karena fiqih itu sendiri merupakan hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash secara qothy.
Setelah kita mengetahu makna syari’ah dan fiqih, baru kita dapat memahami makna hokum islam seperti yang termaktub di atas bahwa sesungguhnya syari’at dan fiqih merupakan bagian dari hokum islam, akan tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa fiqih adalah syari’at.
METODOLOGI HUKUM ISLAM
Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hokum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hokum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Quran. Dalam keadaan tertentu yang tidak diketemukan jawabanya dalam Alquran, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadits atau sunnah.[14]
Pada masa Nabi SAW memang seakan tidak ada kesulitan dalam menentukan hokum, sekalipun dari beberapa sahabat beliau ada pula yang sudah berupaya menggunakan metode ijtihad sebagai upaya penemuan hokum islam. Dan apa yang dilakukan oleh para sahabat seperti Muadz bin Jabal dan lain-lain dibenarkan oleh beliau.
Dengan demikian kita ketahui bahwa sumber hukum islam adalah Al-Quran Al-Karim dan Sunnah Rasulullah serta ijtihad. Namun, setelah problematika kehidupan semakin bertambah sedangkan pengenalan Al-Quran terhadap hukum, mayoritasnya bersifat universal, tidak parsial, global dan tidak rinci, muncullah masalah baru berkaitan dengan metodologi hokum islam.
Motede penemuan hukum yang dilakukan pada masa sahabat masih cukup sederhana, namun kesedrhanaan itu karena ditunjang oleh kemampuan para sahabat dalam memahami Al-Quran dan Hadits Nabi. Sehingga seolah-olah mereka tidak menemukan kesulitan dalam menentukan hokum baik dengan cara istinbath maupun ijtihad seperti yang dilakukan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib dalam menetapkan hokum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “bila ia minum ia akan mabuk, dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina”. Dari pernyataan Ali itu, akan diketahui bahwa Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari’ah”[15] sebagai bagian dari metode penemuan hokum islam.
Hal ini menunjukkan bahwa fiqih lahir bersama dengan metodologinya, yakni yang dikenal dengan istilah “ushul fiqih”. Maka ketika para sahabat melakukan istimbath hokum, mereka tidak akan menentukannya dengan tanpa batasan dan pedoman.[16] Metodologi ini terus berlanjut hingga masa tabi’in, mereka meneruskan tradisi pengambilan hokum dengan cara-cara yang telah dilakukan oleh para sahabat. Hingga pada akhirnya imam Syafi’I mengkodifikasikannya menjadi sebuah ilmu baru dalam metodologi hokum islam.
Ushul fiqih merupakan metode-metode ditemukannya cara-cara secara nyata yang harus ditempuh oleh seorang faqih dalam mengeluarkan hokum dari dalil-dalilnya yang sesuai dengan hirarki dalil dalam hokum islam. Maka didahulukanlah Al-Quran atas Sunnah dan seterusnya..[17]
Kata “Ushul Fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “Ushul” dan kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti fiqih dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu : ”ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”. Kata ”Ushul” yang merupakan jamak dari kata ”ashal” secara etimologi berarti ”sesuatu yang menjadi dasar bagi lainnya. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitif dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqih itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan ”Fiqh”. Dengan demikian ”Ushul Fiqih” secara istilah tehnik hukum berarti : ”Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci”, atau dalam artian sederhana adalah : ”Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalinya”.[18]
Ilmu ushul Fiqih dibentuk dengan tujuan untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dali syara’ yang terinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasanya itu dapat difahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami pula secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu. Ada dua maksud mengetahui ushul fiqih : Pertama, dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu. Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqih yang terurai dalam kitb-kitab fiqih tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, maka diperlukan rumusan kaidah baru yang merujuk pada kaidah terdahulu sehingga hukum baru pun dapat ditemukan.[19]
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh maka bahasan pokok ushul fiqih itu adalah tentang dalil-dalil atau sumber hukum syara’, hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu dan kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandungnya.
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikanya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metoda tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metoda dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hali ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan taentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan penekanan dari beberapa pokok bahasan tersebut.[20]
 
ISTINBATH DAN IJTIHAD SEBAGAI METODOLOGI HUKUM
Istinbat dan ijtihad merupakan bagian dari pembahasan ilmu ushul fiqih, maka perlu kiranya membahas keduanya sebagai metode pengambilan hokum islam. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Istinbath ini menggunakan kaidah-kaidah tertentu yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil-dalil yang ada. Ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa ketentuan untuk menggali hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar’iyah dan kaidah lughawiyyah. Kaidah syar’iyah berarti ketentuan umum yang ditempuh syara’ dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum (mukallaf) serta perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan sebaginya. Mengerti tentang ruang lingkup hukum syara’ mulai dari pengertian dan pembagiannya, hukum wadh’i, hakim, mahkum bih, mahkum alaih, dan lain-lain. Sedangkan kaidah lughawiyyah berarti berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya, ’am dan khos, musytarok, mutlak dan muqoyad, nasakh mansukh dan muhkam mutasyabihat.
Adapun ijtihad memiliki makna yang hampir sama dengan istinbath. Akan tetapi ijtihad hanya dilakukan pada hal-hal yang tidak terdapat dalam dalil-dalil secara shorih dan jelas, sehingga diperlukan upaya lebih mendalam untuk mengeluarkan hukumnya. Adapun metode-metode ijtihad sendiri ada yang disepakati dan ada pula yang tidak disepakati oleh para ulama.
Metode ijtihad yang disepakati oleh para ulama adalah ijma’ dan qiyas, adapun metode yang ulama tidak bersepakat didalamnya adalah mashlahah mursalah, istihsan, urf, istishab dan sad al-dzari’ah.



[1] Lihat Muhammad Kholid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam,(Bandung, Penerbit PUSTAKA, Cet.I, 1996) halaman 1. selanjutnya disebut Mas’ud, filsafat.
[2] Mas’ud, Filsafat halaman 7.
[3] Mas’ud, Filsafat halaman 8.
[4] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta,Penerbit Logos Wacana Ilmu,cet.I,1991) hlm. 12. selanjutnya disebut Jamil, Filsafat.
[5] Mas’ud,Filsafat, hlm. 14
[6] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,(Bandung,Pusat Penerbitan Universitas LPPM Unisba,1995) hlm. 69. selanjutnya disebut Juhaya,Filsafat.
[7] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam.,(Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,Anggota IKAPI,cet.V,1996) hlm. 44
[8] Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. II 1992), h. 17-18.
[9] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Pres, Cet. I;1996), h. 41.
[10] Wahbah Zuhaili,Al-Qur’an, Paradigma Hukum dan Peradaban,(Surabaya: Risalah Gusti, cet.I,1996) hlm. 48
[11] Juhaya S. Praja,Tjun Surjaman(Ed.), Hukum Islam di Indonesia,(Bandung:PT Remaja Rosda Karya,cet.I;1991) hlm. v
[12] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih,jilid I;(Jakarta;Logos Wacana Ilmu,cet. I;1997) hlm. 4. selanjutnya disebut Syarifuddin,Ushul Fiqih
[13] Muhtar Yahya,Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,(Bandung; Al-Ma’arif,cet.III;1993) hlm.
[14] Syarifuddin,Usul Fiqih hlm. 33
[15] Syarifuddin,Usul Fiqih hlm. 36
[16] Lihat Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqih,(Dar al-Fikr al-Araby;tanpa tahun) hlm. 11
[17] Lihat Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqih,(Dar al-Fikr al-Araby;tanpa tahun) hlm. 7
[18] Syarifuddin,Usul Fiqih hlm. 35
[19] Syarifuddin,Usul Fiqih hlm. 41
[20] Syarifuddin,Usul Fiqih hlm. 42

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Hukum Islam

Tarikh Tasyri' Masa Sahabat

Wasiat