Peradilan Islam Pra Kemerdekaan
SEJARAH HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
PRA
KOLONIAL
Disusun oleh;
Mohammad Nuh
Pendahuluan
Hukum islam telah ada di Indonesia bersamaan dengan datangnya islam
ke Nusantara. Setidaknya, hukum ini jauh
lebih lama dibandingkan hukum yang telah
digunakan oleh bangsa ini sekarang. Namun, keberadaannya belum dapat tempat
secara proporsional karena dianggap kurang mampu menghadapi perubahan zaman. Ditambah lagi dengan anggapan miring terhadap
hukum pidana islam yang terkesan kejam dan membutuhkan upaya reformasi dalam
konsepnya. Bahkan perlu adanya reinterpretasi atas hukum perdata islam, terlebih
dengan hukum pidananya yang dirasa tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun demikian, sekalipun tampak kejam, masih banyak
kelompok muslim yang merindukan kembali diberlakukannya hukum pidana yang dulu
pernah diterapkan pada masa kerajaan islam mulai berkembang sebelum penjajahan
Belanda. Hal ini dapat dilihat dari munculnya beberapa daerah yang mencoba
menerapkan hukum islam dalam peraturan daerahnya. Ditambah lagi dengan ketidak
percayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan yang saat ini berlaku. Banyak
kalangan masyarakat yang menilai tidak tercapainya keadilan dan kekecewaan yang
harus dirasa ketika menilai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan
tidak sebanding dengan tindakan kejahatan yang dilakukannya.
Dalam sejarah perkembangannya, hukum islam di Indonesia
mengalami penurunan yang cukup tidak menyenangkan. Pada mulanya hukum islam di
indonesia diakui secara keseluruhan. Tidak ada pembatasan dalam pelaksanaannya.
Yang terpenting adalah hukum islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
Nabi harus diikuti dan ditaati oleh semua orang yang telah menyatakan diri
sebagai muslim. Ketika terdapat seorang yang melnggar ketentuan hukum baik
pidana maupun perdata, maka hukum yang diterapkan adalah huku islam. Namun
setelah kedatangan bangsa Belanda, hukum islam mulai dikurangi perannya dengan
meniadakan ketentuan hukum pidana.
Keberadaan hukum Islam yang sudah cukup lama ini setidaknya
telah memberi warna tersendiri bagi bangsa Indonesia terutama dalam pembaharuan
materil hukum perdata. Dan setidaknya terdapat empat macam produk hukum islam
yang berkembang di Indonesia hingga saat ini, yakni; hukum fiqih, fatwa ulama,
yurisprudensi peradilan islam, dan hukum perundang-undangan (qanun). Dalam
makalah ini, penulis mencoba meninjau ulang berlakunya hukum islam di Indonesia
dengan dibatasi pada masa sebelum penjajahan Belanda.
Hukum Islam Pada Masa Kerajaan Islam
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari sejarah masuknya islam ke Nusantara. Membicarakan hukum islam
sama tuanya dengan islam sebagai sebuah agama. Demikian itu sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh Joseph Sacht bahwa tidak mungkin dapat mempelajari islam
tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam merupakan
bagian dari institusi agama yang tidak dimiliki oleh agama lain.[1]
Islam masuk ke Indonesia, sekalipun masih dalam
perdebatan, diperkirakan pada abad 1 H atau abad VII.[2]
Ketika baru berada di Indonesia, hukum islam belum dapat disebut sebagai
pranata sosial, karena pada waktu itu masih hanya dilakukan oleh perseorangan
atas dasar keimanan dan belum ada badan legislasi atau pihak-pihak yang
berwenang dalam hal itu. Pada saat itu, hukum Islam baru dalam taraf perkenalan
dan adaptasi dalam rangka upaya akulturasi dengan budaya Nusantara yang
dilakukan oleh para pedagang muslim sekaligus sebagai upaya penyebaran dan
dakwah islamiyah.
Dalam proses islamisasi kepulauan Indonesia yang
dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum
Islam adalah besar. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa kalau seorang
saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita
itu diislamkan lebih dulu dan pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan
hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antar
anggota-anggotanya dengan kaedah-kaedah hukum Islam atau kaedah-kaedah lama
yang telah disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang anggota
keluarga itu meninggal dunia, harta peninggalnnya dibagi menurut hukum kewrisan
Islam.[3]
Kaitannya dengan perdagangan dan perekonomian, secara
umum diberbagai kesultanan Nusantara berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang
(Syarikah mufawwadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (Arab:
qirad, mudharabah). Berbagai hukum tersebut adalah bagian hukum
perekonomian islam. Ini menunjukkan bahwa pada masa itu telah diterapkan sistem
hukum Islam.[4]
Melalui proses islamisasi yang demikian itu kemudian
hukum islam pun telah berkembang sejalan dengan perkembangan agama islam itu
sendiri. Hukum islam pun menjadi bagian dari hukum adat yang berkembang di
Nusantara berkat akulturasi dan asimilasi budaya Islam (dalam hal ini hukum
Islam) dan budaya lokal. Islam mulai dianut oleh kelompok orang dalam sebuah
masyarakat yang teratur namun belum sampai pada bentuk masyarakat yang
mempunyai pemerintahan. Ketika itu pula hukum islam digunakan oleh kelompok
masyarakat itu. Jika terjadi persengketaan biasanya dari pihak yang bersengketa
itu mengangkat seorang muhakkam dari kalangan mereka yang dianggap
memiliki kemampuan dalam hukum islam.
Hukum Islam pada saat itu masih tidak tertulis seperti
halnya hukum adat. Artinya, tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan.
Hukum Islam yang berlaku pada saat itu adalah hukum fiqih hasil ijtihad para
ulama yang dilakukan secara patuh oleh masyarakat Islam karena kesadaran dan
keyakinan mereka bahwa hukum Islam adalah hukum yang benar.[5]
Hukum islam saat itu menjadi sub sistem dari hukum adat
sebagai sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, islam
sebagai agama dan hukum semakin mengakar dan mampu mewarnai kehidupan sebagian
besar bangsa Indonesia.
Keadaan ini mulai berjalan semenjak Islam ditetapkan
sebagai agama resmi pada kerajaan-kerajan Islam yang muncul di beberapa belahan
daerah Nusantara seperti kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara sekitar tahun
1345. Ibnu Batutah pelancong muslim dari Maroko mempunyai catatan unik
kaitannya dengan pemberlakuan hukum Islam dalam pemerintahan Malik al-Zahir di
Samudera Pasai. Beliau mengagumi kemampuan sang sultan dalam berdiskusi tentang
berbagai masalah Islam dan ilmu hukum Islam. Hukum yang digunakan sebagai
rujukan dalam menentukan ketetapan hukum pun masih terbatas pada hukum fiqih
yang dikodifikasikan oleh ulama-ulama timur tengah karya ulama-ulama madzhab.
Menurut sejarah, dari Pasailah hukum Islam madzhab fiqih Syafi’i diperkenalkan
dan disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di tanah air.[6]
Pada masa kerajaan Mataram (1613-1645) dibawah
kepemimpinan seorang raja yang bergelar Sultan, Sultan Agung adalah raja
sekaligus ulama yang ahli dalam memahami syari’at agama Islam. Pada masa ini
hukum Islam diberlakukan, karena hukum yang digunakan dalam pemerintahannya
adalah hukum Islam. Setiap kejahatan yang menjadi urusan peradilan pun dihukumi
menurut hukum Islam. Sekalipun masih dalam upaya penyesuaian, namun sistem
hukum Islam mulai diperkenalkan. Penghulu pada masa Sultan Agung mempunyai
tugas tidak hanya sebagai imam, tetapi juga sebagai mufti atau penasehat hukum
Islam, qadli atau hakim, wali hakim dan amil zakat.[7]
Penghulu merupakan peranan sentral dalam memperkenalkan hukum Islam pada
masyarakat kala itu.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam yang berlaku tidak
hanya yang bersifat normatif saja seperti sholat, zakat, puasa dan haji, yakni
hukum Islam yang secara normatif yang tidak memerlukan bantuan penyelenggara
negara untuk melaksanakannya dan diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran umat
Islam, atau yang dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Tetapi juga
menyangkut hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yakni hukum Islam
yang mengatur hubungan manusia dengan yang lainnya didalam masyarakat yang
disebut dengan istilah muamalah (ibadah ghair mahdhah). Yakni
hukum Islam yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya
melalui upaya peradilan seperti pelanggaran kejahatan murni atau persengketaan
hak milik dan semacamnya.[8]
Artinya, hukum yang berlaku pada masa ini tidak hanya sebatas pada hukum
perdata saja, tetapi juga menyangkut pelanggaran kejahatan dalam kategori hukum
pidana Islam. Hukum Islam pun (dalam hal ini fiqih) berkembang dengan lahirnya
fatwa para ulama ketika itu disamping juga yurisprudensi peradilan.
AC Milner mengatakan bahwa Aceh merupakan kerajaan Islam
di Nusantara yang paling ketat dalam melaksanakan hukum Islam sebagai hukum
negara pada abad 17. Dalam bidang ekonomi misalnya, Sultan Iskandar Muda
mengeluarkan kebijakan atas diharamkannya riba dan dirham sebagai mata uang
Aceh kala itu.[9]
Disamping itu, formalisasi hukum Islam telah lama terjadi
di Aceh. Sultan Alauidin dan Iskandar Muda tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan masyarakatnya dalam hukum muamalah saja, tetapi juga kaitannya
dengan ibadah sholat dan ibadah puasa pun diatur secara ketat. Hukuman pun
dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan itu. Demikian pula, Sultaan
Iskandar Muda menerapkan pidana Islam secara murni. Sebagai salah satu contoh,
beliau merajam puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzinah dengan
seorang isteri perwira. Kerajaannya Aceh Darussalam sudah dilengkapi dengan
Undang-undang Dasar yang berlandaskan Islam dengan nama Kitab Adat Mahkota Alam.[10]
Di Jawa, hukum Islam pun sudah tersebar beriringan dengan
tersebarnya ulama-ulama di Nusantara. Yakni, ketika para Ulama pengemban dakwah
Islam utusan Sultan Muhammad I ke pulau Jawa yang dikenal dengan istilah Wali
Songo yang terjadi pada 808 H/1404 M.[11]
Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, hukum Islam diberlakukan dengan
baik. Namun, ada perbedaan dalam penerapan hukum Islam di kerajaan-kerajaan
Jawa ini. Di kerajaan Demak hukum Islam diberlakukan disamping hukum adat
kebiasaan Jawa kuno. Hal ini karena Demak merupakan kerajaan yang berhasil
meruntuhkan kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu Jawa. Masyarakatnya masih
sangat kental dengan kebudayaan Jawa dan tidak sedikit dari mereka yang masih
menganut agama Hindu. Maka, sebagai salah satu upaya dakwah Islam yang
dilakukan adalah melakukan akulturasi budaya dan mengislamisasikannya dengan
nilai-nilai Islam. Akan tetapi hukum Islam tetap diberlakukan dalam pelaksanaan
upaya peradilan. Hal ini tergambarkan dari peran peradilan kala itu yang
menggunakan hukum Islam.[12]
Begitu juga dengan kerajaan Cirebon, hukum Islam diberlakukan disamping hukum
adat yang berlaku.[13]
Adapun kerajaan Banten berbeda dalam menerapkan hukum
Islam. Karena sudah tidak dominannya pengaruh adat istiadat Hindu-Buda di
wilayah kerajaan ini, Sultan Hasanuddin sangat ketat dalam melaksanakan hukum
Islam. Disamping kerajaannya berdasarkan pada Islam, hukum yang diberlakukan
pun bercorak hukum Islam. Pemberlakuan hukum pidana Islam merupakan bagian dari
pelaksanaan Syari’at Islam di Banten.[14]
Hukum Fiqih Islam Pada Masa Pra Kolonial
Hukum fiqih yang berkembang pada masa pra kolonial tidak
hanya pada satu madzhab saja, sekalipun dalam perkembangannya fiqih yang
menjadi anutan secara mayoritas mengarah pada satu madzhab saja. Pada permulaan
abad ke-12 di pantai timur Sumatera berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan
yang berhaluan Syi’ah dengan nama Perlak yang terletak di muara sungai
Peureulak dan Pasai dengan bantuan dinasti Fatimiyah di Mesir. Namun, semenjak
dinasti Fatimiyah tumbang pada tahun 1268 hubungan kaum Syi’ah di Perlak
dan kaum Syi’ah di Mesir terhenti. Selang tidak begitu panjang
berdirilah dinasti baru Mesir yang beraliran madzhab Syafi’i dengan nama
dinasti Mamaluk. Dari Mesir mengirimkan seorang utusan yang bernama Syekh
Isma’il untuk memusnahkan aliran Syi’ah di pantai timur Sumatera itu. Utusan
itu berhasil membujuk Marah Silu untuk berpindah dari Syi’ah ke madzhab
Syafi’i kemudian ia dinobatkan menjadi sultan pertama bagi kesultanan baru yang
bernama Samudera dengan nama Malik al-Shaleh. Selama Malik al-Shaleh berkuasa,
penganut Syi’ah ditindas.
Sejak tahun 1295, aliran Syi’ah mendapat dukungan
dari kesultanan Aru/Barumun yang dipimpin oleh putra Malik al-Shaleh yang
bernama Malik al-Mansur. Diantara penganjur aliran Syi’ah di pantai
timur Sumatera ini adalah Hamzah Fansuri penyair ternama dari Baros dan
Syamsuddin al-Samatrani pada masa Sultan Iskandar Muda. Namun, aliran Syi’ah
di kesultanan Aceh ini dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang
dipimpin oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri.
Aliran Syi’ah menyebar dari daerah Aceh ke daerah
Minangkabau dimulai sejak tahun 1513. Penyebaran ini dilakukan bersamaan dengan
upaya pengislaman secara intensif oleh Tuanku Burhanuddin Syah yang berkuasa di
Pariaman sebagai bawahan Aceh. Beliau adalah putra dari Syamul Syah dari
Mahkota Alam yang ikut mendirikan kesultanan Aceh.[15]
Madzhab Syafi’i dibawa ke Indonesia oleh Syekh Isma’il
dari Mesir. Dan orang pertama yang menganut madzhab ini adalah sultan Malik
al-Shaleh.[16]
Namun, madzhab ini baru tersebar luas setelah Malaka menjadi kerajaan dibawah
kesultanan Iskandar Syah. Iskandar Syah adalah menantu Sultan Zaenal Abidin Bahian Syah dari Samudera Pasai.
Kekuasaannya sampai pada pantai timur Sumatera dan pantai timur Semenanjung.
Daerah Aru, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri termasuk daerah jajahan
kesultanan Malaka.[17]
Buku Hukum dan Kitab Fiqih Pada Masa Pra
Kolonial
Sekalipun belum dikatakan sebagai qanun atau
peundang-undangan, namun beberapa buku yang dijadikan panduan dalam bernegara
dan penetapan hukum di beberapa kerajaan di Nusantara menjadi sumber penting
sekaligus sebagai bukti atas penerapan hukum Islam di negeri ini. Dalam
beberapa penelitian menjelaskan bahwa dalam buku hukum itu memuat pula
didalamnya tentang hukum pidana Islam. Artinya, hukum Islam di Indonesia
sebenarnya telah dilakukan secara sempurna oleh beberapa kerajaan.
Yang menarik adalah Undang-undang Dasar Islam yang
terdapat pada kerajaan Aceh Darussalam yang bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Hal
ini menandakan bahwa pada masa itu sudah dikenal sistem pemerintahan yang
berdasarkan pada hukum yang terkodifikasi. Kemudian, di Cirebon adanya Papakem Cirebon
sebagai kumpulan buku hukum yang mengatur prilaku hukum masyarakat Cirebon
ketika itu. didalamnya terdapat buku hukum yang berjudul Jaaya Lengkara,
Hukum Raja Niscaya, Undang-undang Matoram, Kontra menawa dan Adilullah. Sekalipun
dikenal sebagai hukum Jawa Kuno, akan tetapi dari segi isinya dipengaruhi oleh
nilai-nilai hukum Islam.[18]
Selain dari buku hukum tersebut, muncul beberapa karya
kitab fiqih yang di susun oleh beberapa ahli hukum Islam di Indonesia. Nuruddin
al-Raniri menulis buku hukum Islam berjudul Sirat al-Mustaqim pada tahun
1628. Beliau disebut sebagai tokoh Islam abad 17 yang banyak melahirkan buku.
Selain buku diatas, karya-karya fiqih al-Raniri lainnya berjudul Jawahir
al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Kaifiyat al-Shalat dan Tanbih al-‘Awm fi
Tahqiq al-Kalam fi al-Nawafil.[19]
Selain al-Raniri adalah Abdul Rauf al-Sinkli. Beliau
termasuk Mujtahid Nusantara yang menulis karya fiqih yang cukup baik. Karyanya
berjudul Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyah li
al-Malik al-Wahhab ditulis atas permintaan Sultan Aceh, Sayyidat al-Din dan
diselesaikan pada tahun 1074 H/1633M. Kaitannya dengan buku ini, Azyumardi Azra
menuturkan bahwa buku ini tampaknya ditulis dalam suasana psikologis yang
mendua. Penerimaan al-Sinkli terhadap kepemimpinan wanita di Aceh dipandang
bahwa ia telah mengompromikan integritas intelektualnya, bukan saja untuk
menerima perintah seorang perempuan, tapi juga dengan tidak memecahkan masalah
itu secara layak. Namun demikian, ungkap Azyumardi, kasus ini juga merupakan
indikasi toleransi pribadinya.[20]
Kesimpulan dan Penutup
1.
Akar sejarah hukum Islam di Indonesia dimulai dari mulai
masuknya Islam ke Bumi Nusantara. Hukum Islam menjadi hukum tersendiri
disamping hukum adat lokal yang bernuansa Hindu-Buda. Pada awalnya, hukum Islam
hanya dilakukan oleh para penganut agama Islam. Melalui akulturasi budaya Islam
sebagai agama mampu beradaptasi dan memperluas penyebarannya dengan
langkah-langkah persuasif. Dengan langkah ini hukum Islam menjadi sesuatu yang
dianggap lumrah menurut adat bangsa ini. Jadilah hukum Islam sebagai bagian dari
hukum adat beriringan dengan hukum adat lokal yang juga tidak kalah menyejarah.
Namun dalam perkembangannya, hukum Islam menjadi hukum yang digunakan oleh pemerintahan
kerajaan. Sehingga penyebarannya menjadi semakin efektif dan menjadikan hukum
Islam ini tidak hanya sekadar hukum normatif yang bersumber dari agama tetapi
juga sebagai hukum yang bersifat formalis yang dilakukan oleh badan legislatif
kenegaraan dalam hal ini kerajaan.
2.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia diwarnai oleh hukum
fiqih Islam madzhab tertentu. Tercatat ada dua madzhab yang masuk, sekalipun
pada akhirnya didominasi oleh madzhab tertentu, dalam hal ini madzhab Syafi’i.
Pada masa selanjutnya, yakni masa kolonial (1803), sebenarnya telah masuk juga
madzhab fiqih Hanafi melalui Minangkabau yang dibawa oleh Haji Pobang, Haji
Sumanik dan Haji Miskin yang bermadzhab Hanafi sekaligus membawa semangat
pergerakan Wahabi dari Arab Saudi. Pada mulanya, ketiga orang tersebut
merupakan orang Minangkabau yang ditarik menjadi tentara Turki beraliran Hanafi
yang bertugas di Makkah. Akibat serangan tentara Wahabi mereka ditawan,
karena mereka orang asing dan bukan orang Turki. Ketiganya segera mendapatkan
indoktrinasi dalam gerkan Wahabi dan dalam madzhab Hanbali. Mereka pun
pindah madzhab, dan ketika mereka kembali dari Makkah ke Minangkabau, mereka
tidak menyebarkan madzahab Hanbali, tetapi tetap membentuk gerakan Wahabi dan
menyiarkan agama Islam Mazhab Hanafi sesuai dengan pesan Abdullah bin Saud.[21]
3.
Khazanah intelektual hukum Islam di Indonesia yang
diawali oleh lahirnya beberapa karya fiqih pada masa awal Islam di Indonesia
menjadi bukti kuat atas berlakunya hukum Islam secara formal di
kerajaan-kerajaan Islam. Ditambah lagi dengan adanya buku panduan yang
digunakan oleh kerajaan dalam menyelesaikan persoalan hukum atau disebut
sebagai upaya peradilan atas terjadinya pelanggaran maupun terjadinya
perselisihan beberapa pihak, baik antara pribadi dengan pribadi, masyarakat,
atau dengan pemegang kekuasaan.
[1] Amiur
Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta;
Penerbit Prenada Media, cet. Ke-1,tahun 2004),hlm. 2. Selanjutnya disebut Amiur
dan Azhar,Hukum Perdata Islam.
[2] Kosim
Rusdi,Sejarah Peradilan Agama di Indonesia,(Cirebon;Penerbit Nurjati
Press,cet. Ke-1,tahun 2011),hlm. 39. Selanjutnya disebut Kosim Rusdi,Sejarah
Peradilan. Bandingkan
dengan Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Penerbit Rajawali Press, cet.
Ke-16,tahun 2011),hlm. 209. Selanjutnya disebut Daud Ali,Hukum Islam.
Lihat pula Hamka,Sejarah Umat Islam,jilid III,(Jakarta;Bulan
Bintang,tahun 1981),hlm. 35. Selanjutnya disebut Hamka,Sejarah.
[4] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan Agama di Indonesia,(Cirebon;Penerbit
Nurjati Press,Cet. Ke-1,tahun 2011),hlm. 40.
Selanjutnya disebut Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan.
[6] Muhammad Daud Ali,Hukum Islam,Peradilan Agama dan Masalahnya,
Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. (Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I. Tahun 1991), hlm. 69. Selanjutnya disebut Daud Ali,Hukum
Islam, peradilan Agama.
[11]Rahimsyah,Kisah Wali Songo,(Surabaya;Karya Agung, t.t),hlm. 6 dalam Kosim
Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 40
[20] Amiur dan Azhar,Hukum Perdata Islam,hlm. 5. Lihat pula Azyumardi Azra,Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII,(Bandung;Penerbit
Mizan,tahun 1994),hlm. 200. Selanjutnya disebut Azra,Jaringan.
Komentar