Peradilan Islam Pra Kemerdekaan


SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA
PRA KOLONIAL
Disusun oleh; Mohammad Nuh

Pendahuluan
Hukum islam telah ada di Indonesia bersamaan dengan datangnya islam ke Nusantara. Setidaknya, hukum ini jauh lebih lama dibandingkan hukum yang telah digunakan oleh bangsa ini sekarang. Namun, keberadaannya belum dapat tempat secara proporsional karena dianggap kurang mampu menghadapi perubahan zaman. Ditambah lagi dengan anggapan miring terhadap hukum pidana islam yang terkesan kejam dan membutuhkan upaya reformasi dalam konsepnya. Bahkan perlu adanya reinterpretasi atas hukum perdata islam, terlebih dengan hukum pidananya yang dirasa tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun demikian, sekalipun tampak kejam, masih banyak kelompok muslim yang merindukan kembali diberlakukannya hukum pidana yang dulu pernah diterapkan pada masa kerajaan islam mulai berkembang sebelum penjajahan Belanda. Hal ini dapat dilihat dari munculnya beberapa daerah yang mencoba menerapkan hukum islam dalam peraturan daerahnya. Ditambah lagi dengan ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan yang saat ini berlaku. Banyak kalangan masyarakat yang menilai tidak tercapainya keadilan dan kekecewaan yang harus dirasa ketika menilai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tidak sebanding dengan tindakan kejahatan yang dilakukannya.
Dalam sejarah perkembangannya, hukum islam di Indonesia mengalami penurunan yang cukup tidak menyenangkan. Pada mulanya hukum islam di indonesia diakui secara keseluruhan. Tidak ada pembatasan dalam pelaksanaannya. Yang terpenting adalah hukum islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Nabi harus diikuti dan ditaati oleh semua orang yang telah menyatakan diri sebagai muslim. Ketika terdapat seorang yang melnggar ketentuan hukum baik pidana maupun perdata, maka hukum yang diterapkan adalah huku islam. Namun setelah kedatangan bangsa Belanda, hukum islam mulai dikurangi perannya dengan meniadakan ketentuan hukum pidana.
Keberadaan hukum Islam yang sudah cukup lama ini setidaknya telah memberi warna tersendiri bagi bangsa Indonesia terutama dalam pembaharuan materil hukum perdata. Dan setidaknya terdapat empat macam produk hukum islam yang berkembang di Indonesia hingga saat ini, yakni; hukum fiqih, fatwa ulama, yurisprudensi peradilan islam, dan hukum perundang-undangan (qanun). Dalam makalah ini, penulis mencoba meninjau ulang berlakunya hukum islam di Indonesia dengan dibatasi pada masa sebelum penjajahan Belanda.

Hukum Islam Pada Masa Kerajaan Islam
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya islam ke Nusantara. Membicarakan hukum islam sama tuanya dengan islam sebagai sebuah agama. Demikian itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Joseph Sacht bahwa tidak mungkin dapat mempelajari islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam merupakan bagian dari institusi agama yang tidak dimiliki oleh agama lain.[1]
Islam masuk ke Indonesia, sekalipun masih dalam perdebatan, diperkirakan pada abad 1 H atau abad VII.[2] Ketika baru berada di Indonesia, hukum islam belum dapat disebut sebagai pranata sosial, karena pada waktu itu masih hanya dilakukan oleh perseorangan atas dasar keimanan dan belum ada badan legislasi atau pihak-pihak yang berwenang dalam hal itu. Pada saat itu, hukum Islam baru dalam taraf perkenalan dan adaptasi dalam rangka upaya akulturasi dengan budaya Nusantara yang dilakukan oleh para pedagang muslim sekaligus sebagai upaya penyebaran dan dakwah islamiyah.
Dalam proses islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa kalau seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dulu dan pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antar anggota-anggotanya dengan kaedah-kaedah hukum Islam atau kaedah-kaedah lama yang telah disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang anggota keluarga itu meninggal dunia, harta peninggalnnya dibagi menurut hukum kewrisan Islam.[3]
Kaitannya dengan perdagangan dan perekonomian, secara umum diberbagai kesultanan Nusantara berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (Syarikah mufawwadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (Arab: qirad, mudharabah). Berbagai hukum tersebut adalah bagian hukum perekonomian islam. Ini menunjukkan bahwa pada masa itu telah diterapkan sistem hukum Islam.[4]
Melalui proses islamisasi yang demikian itu kemudian hukum islam pun telah berkembang sejalan dengan perkembangan agama islam itu sendiri. Hukum islam pun menjadi bagian dari hukum adat yang berkembang di Nusantara berkat akulturasi dan asimilasi budaya Islam (dalam hal ini hukum Islam) dan budaya lokal. Islam mulai dianut oleh kelompok orang dalam sebuah masyarakat yang teratur namun belum sampai pada bentuk masyarakat yang mempunyai pemerintahan. Ketika itu pula hukum islam digunakan oleh kelompok masyarakat itu. Jika terjadi persengketaan biasanya dari pihak yang bersengketa itu mengangkat seorang muhakkam dari kalangan mereka yang dianggap memiliki kemampuan dalam hukum islam.
Hukum Islam pada saat itu masih tidak tertulis seperti halnya hukum adat. Artinya, tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan. Hukum Islam yang berlaku pada saat itu adalah hukum fiqih hasil ijtihad para ulama yang dilakukan secara patuh oleh masyarakat Islam karena kesadaran dan keyakinan mereka bahwa hukum Islam adalah hukum yang benar.[5]
Hukum islam saat itu menjadi sub sistem dari hukum adat sebagai sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, islam sebagai agama dan hukum semakin mengakar dan mampu mewarnai kehidupan sebagian besar bangsa Indonesia.
Keadaan ini mulai berjalan semenjak Islam ditetapkan sebagai agama resmi pada kerajaan-kerajan Islam yang muncul di beberapa belahan daerah Nusantara seperti kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara sekitar tahun 1345. Ibnu Batutah pelancong muslim dari Maroko mempunyai catatan unik kaitannya dengan pemberlakuan hukum Islam dalam pemerintahan Malik al-Zahir di Samudera Pasai. Beliau mengagumi kemampuan sang sultan dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu hukum Islam. Hukum yang digunakan sebagai rujukan dalam menentukan ketetapan hukum pun masih terbatas pada hukum fiqih yang dikodifikasikan oleh ulama-ulama timur tengah karya ulama-ulama madzhab. Menurut sejarah, dari Pasailah hukum Islam madzhab fiqih Syafi’i diperkenalkan dan disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di tanah air.[6]
Pada masa kerajaan Mataram (1613-1645) dibawah kepemimpinan seorang raja yang bergelar Sultan, Sultan Agung adalah raja sekaligus ulama yang ahli dalam memahami syari’at agama Islam. Pada masa ini hukum Islam diberlakukan, karena hukum yang digunakan dalam pemerintahannya adalah hukum Islam. Setiap kejahatan yang menjadi urusan peradilan pun dihukumi menurut hukum Islam. Sekalipun masih dalam upaya penyesuaian, namun sistem hukum Islam mulai diperkenalkan. Penghulu pada masa Sultan Agung mempunyai tugas tidak hanya sebagai imam, tetapi juga sebagai mufti atau penasehat hukum Islam, qadli atau hakim, wali hakim dan amil zakat.[7] Penghulu merupakan peranan sentral dalam memperkenalkan hukum Islam pada masyarakat kala itu.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam yang berlaku tidak hanya yang bersifat normatif saja seperti sholat, zakat, puasa dan haji, yakni hukum Islam yang secara normatif yang tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya dan diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran umat Islam, atau yang dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Tetapi juga menyangkut hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yakni hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan yang lainnya didalam masyarakat yang disebut dengan istilah muamalah (ibadah ghair mahdhah). Yakni hukum Islam yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya melalui upaya peradilan seperti pelanggaran kejahatan murni atau persengketaan hak milik dan semacamnya.[8] Artinya, hukum yang berlaku pada masa ini tidak hanya sebatas pada hukum perdata saja, tetapi juga menyangkut pelanggaran kejahatan dalam kategori hukum pidana Islam. Hukum Islam pun (dalam hal ini fiqih) berkembang dengan lahirnya fatwa para ulama ketika itu disamping juga yurisprudensi peradilan.
AC Milner mengatakan bahwa Aceh merupakan kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat dalam melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara pada abad 17. Dalam bidang ekonomi misalnya, Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan atas diharamkannya riba dan dirham sebagai mata uang Aceh kala itu.[9]
Disamping itu, formalisasi hukum Islam telah lama terjadi di Aceh. Sultan Alauidin dan Iskandar Muda tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan masyarakatnya dalam hukum muamalah saja, tetapi juga kaitannya dengan ibadah sholat dan ibadah puasa pun diatur secara ketat. Hukuman pun dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan itu. Demikian pula, Sultaan Iskandar Muda menerapkan pidana Islam secara murni. Sebagai salah satu contoh, beliau merajam puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzinah dengan seorang isteri perwira. Kerajaannya Aceh Darussalam sudah dilengkapi dengan Undang-undang Dasar yang berlandaskan Islam dengan nama Kitab Adat Mahkota  Alam.[10]
Di Jawa, hukum Islam pun sudah tersebar beriringan dengan tersebarnya ulama-ulama di Nusantara. Yakni, ketika para Ulama pengemban dakwah Islam utusan Sultan Muhammad I ke pulau Jawa yang dikenal dengan istilah Wali Songo yang terjadi pada 808 H/1404 M.[11] Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, hukum Islam diberlakukan dengan baik. Namun, ada perbedaan dalam penerapan hukum Islam di kerajaan-kerajaan Jawa ini. Di kerajaan Demak hukum Islam diberlakukan disamping hukum adat kebiasaan Jawa kuno. Hal ini karena Demak merupakan kerajaan yang berhasil meruntuhkan kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu Jawa. Masyarakatnya masih sangat kental dengan kebudayaan Jawa dan tidak sedikit dari mereka yang masih menganut agama Hindu. Maka, sebagai salah satu upaya dakwah Islam yang dilakukan adalah melakukan akulturasi budaya dan mengislamisasikannya dengan nilai-nilai Islam. Akan tetapi hukum Islam tetap diberlakukan dalam pelaksanaan upaya peradilan. Hal ini tergambarkan dari peran peradilan kala itu yang menggunakan hukum Islam.[12] Begitu juga dengan kerajaan Cirebon, hukum Islam diberlakukan disamping hukum adat yang berlaku.[13]
Adapun kerajaan Banten berbeda dalam menerapkan hukum Islam. Karena sudah tidak dominannya pengaruh adat istiadat Hindu-Buda di wilayah kerajaan ini, Sultan Hasanuddin sangat ketat dalam melaksanakan hukum Islam. Disamping kerajaannya berdasarkan pada Islam, hukum yang diberlakukan pun bercorak hukum Islam. Pemberlakuan hukum pidana Islam merupakan bagian dari pelaksanaan Syari’at Islam di Banten.[14]

Hukum Fiqih Islam Pada Masa Pra Kolonial
Hukum fiqih yang berkembang pada masa pra kolonial tidak hanya pada satu madzhab saja, sekalipun dalam perkembangannya fiqih yang menjadi anutan secara mayoritas mengarah pada satu madzhab saja. Pada permulaan abad ke-12 di pantai timur Sumatera berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang berhaluan Syi’ah dengan nama Perlak yang terletak di muara sungai Peureulak dan Pasai dengan bantuan dinasti Fatimiyah di Mesir. Namun, semenjak dinasti Fatimiyah tumbang pada tahun 1268 hubungan kaum Syi’ah di Perlak dan kaum Syi’ah di Mesir terhenti. Selang tidak begitu panjang berdirilah dinasti baru Mesir yang beraliran madzhab Syafi’i dengan nama dinasti Mamaluk. Dari Mesir mengirimkan seorang utusan yang bernama Syekh Isma’il untuk memusnahkan aliran Syi’ah di pantai timur Sumatera itu. Utusan itu berhasil membujuk Marah Silu untuk berpindah dari Syi’ah ke madzhab Syafi’i kemudian ia dinobatkan menjadi sultan pertama bagi kesultanan baru yang bernama Samudera dengan nama Malik al-Shaleh. Selama Malik al-Shaleh berkuasa, penganut Syi’ah ditindas.
Sejak tahun 1295, aliran Syi’ah mendapat dukungan dari kesultanan Aru/Barumun yang dipimpin oleh putra Malik al-Shaleh yang bernama Malik al-Mansur. Diantara penganjur aliran Syi’ah di pantai timur Sumatera ini adalah Hamzah Fansuri penyair ternama dari Baros dan Syamsuddin al-Samatrani pada masa Sultan Iskandar Muda. Namun, aliran Syi’ah di kesultanan Aceh ini dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang dipimpin oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri.
Aliran Syi’ah menyebar dari daerah Aceh ke daerah Minangkabau dimulai sejak tahun 1513. Penyebaran ini dilakukan bersamaan dengan upaya pengislaman secara intensif oleh Tuanku Burhanuddin Syah yang berkuasa di Pariaman sebagai bawahan Aceh. Beliau adalah putra dari Syamul Syah dari Mahkota Alam yang ikut mendirikan kesultanan Aceh.[15]
Madzhab Syafi’i dibawa ke Indonesia oleh Syekh Isma’il dari Mesir. Dan orang pertama yang menganut madzhab ini adalah sultan Malik al-Shaleh.[16] Namun, madzhab ini baru tersebar luas setelah Malaka menjadi kerajaan dibawah kesultanan Iskandar Syah. Iskandar Syah adalah menantu Sultan Zaenal  Abidin Bahian Syah dari Samudera Pasai. Kekuasaannya sampai pada pantai timur Sumatera dan pantai timur Semenanjung. Daerah Aru, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri termasuk daerah jajahan kesultanan Malaka.[17]

Buku Hukum dan Kitab Fiqih Pada Masa Pra Kolonial
Sekalipun belum dikatakan sebagai qanun atau peundang-undangan, namun beberapa buku yang dijadikan panduan dalam bernegara dan penetapan hukum di beberapa kerajaan di Nusantara menjadi sumber penting sekaligus sebagai bukti atas penerapan hukum Islam di negeri ini. Dalam beberapa penelitian menjelaskan bahwa dalam buku hukum itu memuat pula didalamnya tentang hukum pidana Islam. Artinya, hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah dilakukan secara sempurna oleh beberapa kerajaan.
Yang menarik adalah Undang-undang Dasar Islam yang terdapat pada kerajaan Aceh Darussalam yang bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Hal ini menandakan bahwa pada masa itu sudah dikenal sistem pemerintahan yang berdasarkan pada hukum yang terkodifikasi. Kemudian, di Cirebon adanya Papakem Cirebon sebagai kumpulan buku hukum yang mengatur prilaku hukum masyarakat Cirebon ketika itu. didalamnya terdapat buku hukum yang berjudul Jaaya Lengkara, Hukum Raja Niscaya, Undang-undang Matoram, Kontra menawa dan Adilullah. Sekalipun dikenal sebagai hukum Jawa Kuno, akan tetapi dari segi isinya dipengaruhi oleh nilai-nilai hukum Islam.[18]
Selain dari buku hukum tersebut, muncul beberapa karya kitab fiqih yang di susun oleh beberapa ahli hukum Islam di Indonesia. Nuruddin al-Raniri menulis buku hukum Islam berjudul Sirat al-Mustaqim pada tahun 1628. Beliau disebut sebagai tokoh Islam abad 17 yang banyak melahirkan buku. Selain buku diatas, karya-karya fiqih al-Raniri lainnya berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Kaifiyat al-Shalat dan Tanbih al-‘Awm fi Tahqiq al-Kalam fi al-Nawafil.[19]
Selain al-Raniri adalah Abdul Rauf al-Sinkli. Beliau termasuk Mujtahid Nusantara yang menulis karya fiqih yang cukup baik. Karyanya berjudul Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab ditulis atas permintaan Sultan Aceh, Sayyidat al-Din dan diselesaikan pada tahun 1074 H/1633M. Kaitannya dengan buku ini, Azyumardi Azra menuturkan bahwa buku ini tampaknya ditulis dalam suasana psikologis yang mendua. Penerimaan al-Sinkli terhadap kepemimpinan wanita di Aceh dipandang bahwa ia telah mengompromikan integritas intelektualnya, bukan saja untuk menerima perintah seorang perempuan, tapi juga dengan tidak memecahkan masalah itu secara layak. Namun demikian, ungkap Azyumardi, kasus ini juga merupakan indikasi toleransi pribadinya.[20]

Kesimpulan dan Penutup
1.              Akar sejarah hukum Islam di Indonesia dimulai dari mulai masuknya Islam ke Bumi Nusantara. Hukum Islam menjadi hukum tersendiri disamping hukum adat lokal yang bernuansa Hindu-Buda. Pada awalnya, hukum Islam hanya dilakukan oleh para penganut agama Islam. Melalui akulturasi budaya Islam sebagai agama mampu beradaptasi dan memperluas penyebarannya dengan langkah-langkah persuasif. Dengan langkah ini hukum Islam menjadi sesuatu yang dianggap lumrah menurut adat bangsa ini. Jadilah hukum Islam sebagai bagian dari hukum adat beriringan dengan hukum adat lokal yang juga tidak kalah menyejarah. Namun dalam perkembangannya, hukum Islam menjadi hukum yang digunakan oleh pemerintahan kerajaan. Sehingga penyebarannya menjadi semakin efektif dan menjadikan hukum Islam ini tidak hanya sekadar hukum normatif yang bersumber dari agama tetapi juga sebagai hukum yang bersifat formalis yang dilakukan oleh badan legislatif kenegaraan dalam hal ini kerajaan.
2.              Perkembangan hukum Islam di Indonesia diwarnai oleh hukum fiqih Islam madzhab tertentu. Tercatat ada dua madzhab yang masuk, sekalipun pada akhirnya didominasi oleh madzhab tertentu, dalam hal ini madzhab Syafi’i. Pada masa selanjutnya, yakni masa kolonial (1803), sebenarnya telah masuk juga madzhab fiqih Hanafi melalui Minangkabau yang dibawa oleh Haji Pobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin yang bermadzhab Hanafi sekaligus membawa semangat pergerakan Wahabi dari Arab Saudi. Pada mulanya, ketiga orang tersebut merupakan orang Minangkabau yang ditarik menjadi tentara Turki beraliran Hanafi yang bertugas di Makkah. Akibat serangan tentara Wahabi mereka ditawan, karena mereka orang asing dan bukan orang Turki. Ketiganya segera mendapatkan indoktrinasi dalam gerkan Wahabi dan dalam madzhab Hanbali. Mereka pun pindah madzhab, dan ketika mereka kembali dari Makkah ke Minangkabau, mereka tidak menyebarkan madzahab Hanbali, tetapi tetap membentuk gerakan Wahabi dan menyiarkan agama Islam Mazhab Hanafi sesuai dengan pesan Abdullah bin Saud.[21]
3.              Khazanah intelektual hukum Islam di Indonesia yang diawali oleh lahirnya beberapa karya fiqih pada masa awal Islam di Indonesia menjadi bukti kuat atas berlakunya hukum Islam secara formal di kerajaan-kerajaan Islam. Ditambah lagi dengan adanya buku panduan yang digunakan oleh kerajaan dalam menyelesaikan persoalan hukum atau disebut sebagai upaya peradilan atas terjadinya pelanggaran maupun terjadinya perselisihan beberapa pihak, baik antara pribadi dengan pribadi, masyarakat, atau dengan pemegang kekuasaan.


[1] Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta; Penerbit Prenada Media, cet. Ke-1,tahun 2004),hlm. 2. Selanjutnya disebut Amiur dan Azhar,Hukum Perdata Islam.
[2] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan Agama di Indonesia,(Cirebon;Penerbit Nurjati Press,cet. Ke-1,tahun 2011),hlm. 39. Selanjutnya disebut Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan. Bandingkan dengan Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Penerbit Rajawali Press, cet. Ke-16,tahun 2011),hlm. 209. Selanjutnya disebut Daud Ali,Hukum Islam. Lihat pula Hamka,Sejarah Umat Islam,jilid III,(Jakarta;Bulan Bintang,tahun 1981),hlm. 35. Selanjutnya disebut Hamka,Sejarah.

[3] Daud Ali,Hukum Islam,hlm. 233
[4] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan Agama di Indonesia,(Cirebon;Penerbit Nurjati Press,Cet. Ke-1,tahun 2011),hlm. 40. Selanjutnya disebut Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan.
[5] Daud Ali,Hukum Islam,hlm. 211
[6] Muhammad Daud Ali,Hukum Islam,Peradilan Agama dan Masalahnya, Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. (Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I. Tahun 1991), hlm. 69. Selanjutnya disebut Daud Ali,Hukum Islam, peradilan Agama.
[7] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 42
[8] Lihat Daud Ali,Hukum Islam, peradilan Agama,hlm. 75
[9] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 45
[10]Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 46
[11]Rahimsyah,Kisah Wali Songo,(Surabaya;Karya Agung, t.t),hlm. 6 dalam Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 40
[12] Lihat Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 47
[13] Lihat Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 48
[14] Lihat Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 49
[15] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 51
[16] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 52
[17] Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 52
[18] Lihat Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 48
[19] Amiur dan Azhar,Hukum Perdata Islam,hlm. 4
[20] Amiur dan Azhar,Hukum Perdata Islam,hlm. 5. Lihat pula Azyumardi Azra,Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII,(Bandung;Penerbit Mizan,tahun 1994),hlm. 200. Selanjutnya disebut Azra,Jaringan.
[21] Lihat Kosim Rusdi,Sejarah Peradilan,hlm. 53

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Hukum Islam

Tarikh Tasyri' Masa Sahabat

Wasiat