IMPLEMENTASI SYAHADAT
DALAM HIDUP
1. Syahadat; implementasi
Iman, Islam dan Ihsan
Syahadat dalam Islam merupakan rukun pertama dan
sebagai dasar atau asas bagi rukun-rukun lainnya. Syahadat merupakan pernyataan
atau ikrar seorang hamba atas apa yang diimaninya, atau juga sebagai ikrar dari
persaksian seorang hamba atas ketuhanan Allah Swt dan Muhammad bin Abdullah sebagai
utusan-Nya dan meniadakan sifat ketuhanan atas selain Allah. Oleh sebab itu pembahasan
tentang syahadat sudah barang tentu didalamnya membahas tentang iman yang berarti
membahas pula tentang aqidah. Berbicara tentang syahadat, berarti pula
berbicara tentang dasar-dasar ajaran islam, tentang ketauhidan, dan tentang
keimanan.
Akan tetapi bukan berarti bahwa syahadat itu merupakan
pekerjaan hati semata, karena syahadat tergolong dalam ketentuan syara’, yakni
sebagai rukun Islam yang pertama, maka konsekwensinya adalah dilakukan
sebagaimana rukun-rukun islam yang lainnya.
Adapun aqidah jelas merupakan perbuatan hati, yaitu
kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Sebagai pernyataan
keimanannya tentu harus mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai keabsahan bahwa
ia telah memeluk islam. Konsekwensinya adalah bahwa setiap orang yang akan
masuk Islam diwajibkan terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat syahadat. Tujuannya
agar setiap muslim melakukan amalnya berdasarkan pada makna dua kalimat syahadat
dan dalam setiap tindakannya akan disertai keikhlasan, kejujuran, rendah hati, dan
berkeadilan. Dengan demikian orang yang mengamalkan rukun pertama adalah orang
yang bertakwa kepada Allah SWT.
Sehingga semua amalan yang kita lakukan pada intinya bertujuan
untuk menjaga agar tetap dalam kesaksian kita bahwa tiada tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah hamba dan utusannya. Keyakinan inilah yang harus kita pertahankan
hingga mati menjemput raga kita semua, sedangkan amal kita masih terhalang oleh
banyak hal yang berkaitan dengan kebendaan kita selama hidup di dunia.. Persaksian
inilah yang akan ditanyakan nanti di alam kubur sebagai pintu pertama seseorang
mempertanggungjawabkan keimanannya di depan Allah, yakni tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.
Pada hakikatnya hidup kita ini merupakan kesaksian
diri kita pada adanya Allah sebagai pencipta alam raya dan sebagai Tuhan kita,
kesaksian diri kita pada Dzat yang telah menunjukkan manusia pada jalan
kebenaran melalui para rasulnya, kesaksian kita pada kebenaran para rasul dan
dari semua yang datang dari diri mereka.
Intinya, sebagai ummat Muhammad SAW kita hidup di dunia
ini untuk kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, mengakui dan meyakini bahwa
Muhammad SAW sebagai hamba dan utusan Allah, mengimani semua yang datang dari
beliau, termasuk tentang para nabi dan para rasul Allah yang terdahulu. Setiap
tindakan dan amal kita sudah seharusnya bersandar pada prinsip syahadat tauhid
dan syahadat rasul. Karena semua amal yang kita lakukan adalah derifasi dari
pernyataan atas keyakinan dan kesaksian tadi dan tidak berdiri sendiri
melainkan diatasnya.
Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad menerangkan bahwa
keyakinan terbagi dalam tiga kategori. Pertama, yaqin. Yakni yakin bahwa
sesuatu itu ada, namun tidak disertai dengan bukti atas adanya sesuatu. Yakin
yang semacam ini hanya diperoleh dari informasi yang dianggap benar dan bersumber
dari informasi yang dianggap valid, namun ia tidak dapat membuktikan dan
menjelaskan tentang keberadaan sesuatu yang diyakininya itu. Keyakinan semacam
ini merupakan keyakinan kelompok awam yang hanya bersandar pada ucapan seorang
ulama.
Kedua,‘ainul yaqin. Yakni yakin atas sesuatu
melalui pandangan mata dan akal. Jika dikaitkan dengan syahadat tauhid, maka
kesaksian adanya Allah baru sebatas dibuktikan melalui adanya alam dan diyakini
dengan akal bahwa jika ada alam maka pasti ada yang menciptakannya. Dan yang
menciptakannya pastilah Dzat yang paripurna, yakni Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketiga, haqqul yaqin. Yakni yakin bahwa sesuatu
itu ada dan disertai bukti logis serta dapat dirasakan secara intuitif. Yakin
semacam ini tidak hanya dapat menjelaskan atas bukti-bukti adanya sesuatu itu,
tetapi juga ia merasakannya.
Dalam hal ini Kyai Muhamad Khozin menjelaskan bahwa
dari ketiga kategori yakin itu dapat digambarkan seperti orang yang sedang
berjalan di siang hari yang sangat terik. Karena kehausan, atas dasar informasi
dari orang lain yang dipercayainya ia yakin jika air es itu dingin dan dapat
menghilangkan dahaga. Akan tetapi ia belum membuktikannya. Inilah yang disebut yaqin.
Setelah berjumpa dengan penjual es, maka ia memandangi air es itu tampak begitu
sejuk dan dingin. Keyakinan yang pertama dapat ia buktikan dengan melihat
tempat es yang mengeluarkan embun dan tampak disana fatamorgana yang sejuk.
Pada tahap ini disebut ‘ainul yaqin. Ketika ia menghampiri tempat es
itu, ia mulai merasakan sejuknya es. Dan ketika ia menjamah tempat es itu ia
semakin yakin bahwa es itu dingin dan menyejukkan ketika diminum saat kehausan.
Pada tahap akhir, ia meminumnya dan merasakan dingin dan sejuknya es dengan
seyakin-yakinnya atau disebut dengan yakin yang sebenarnya (haqqul yaqin).
Begitu juga dengan Syahadat yang merupakan
pengejawantahan dari keyakinan, maka syahadat memiliki tahapan seperti di atas.
Kesaksian tahap pertama bersifat dogmatis, merupakan kesaksian dari seseorang yang
berdasarkan pada doktrin keagamaan belaka. Kesaksian semacam ini hanya karena
ittiba’ pada orang lain dan tidak berdasar pada pemahaman keilmuan yang cukup. Mengucapkan
dan mengamalkannya pun tanpa didasari ilmu, apakah yang demikian sudah cukup?
Sedangkan islam menganjurkan untuk terus belajar hingga akhir hayat (long
live education), “carilah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat”.
Yakni ilmu yang haqqul yaqin, ilmu yang dapat dirasakan kebenarannya.
Seyogyanya, orang islam terus menggali dan mempelajari
makna syahadat sampai ia benar-benar menjadi muslim yang sempurna, sebagai
insane kamil, manusia yang sempurna seperti Nabi Muhammad SAW. Beliau pun
menganjurkan kita untuk terus memperbaharui islam dan memperbaiki iman kita
dengan dua kalimat Syahadat. Bahkan sekalipun Nabi SAW itu sebagai Rasul Allah,
karena beliau merupakan uswah hasanah bagi setiap manusia, beliau tetap
membaca dan mengulang-ulang kalimah thoyibah tersebut setelah usai sholat.
Syahadat sebagai implementasi iman
Orang yang beriman atau beraqidah (berkeyakinan) bahwa
tidak ada tuhan selain Allah namun ia tidak menyatakan keimanannya maka
dianggap belum memasuki agama manapun dan sudah pasti tidak dianggap beragama islam.
Bagaimana mungkin ia beragama Islam sedangkan ia belum memasuki pintu gerbang
agama tersebut. Namun ini tidak berlaku bagi orang yang terlahirkan dari orang
tua yang telah memeluk Islam. Akan tetapi mempelajari dan memahami dua kalimat
syahadat adalah suatu kewajiban bagi semua umat manusia, terlebih-lebih bagi
umat muslim. Tujuannya adalah untuk menjaga dan memperbaharui keimanan dan
keislaman kita sebagaimana Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh.
Dalam hadits lain Rasulullah Saw mengisyaratkan bahwa
di zaman akhir nanti umat islam bagaikan buih di lautan yang mudah hilang dan
larut ketika riak dan gulungan ombak menerjang. Mungkin ini merupakan deskripsi
dari hadits beliau yang menjelaskan bahwa nanti di zaman akhir banyak orang
yang di pagi hari beriman namun ia kafir di sore harinya.
Namun sangat jarang sekali orang yang menyadari akan pentingnya
mempelajari dan mendalami makna dua kalimat syahadat. Kebanyakan dari kita
beranggapan bahwa syahadat tidak perlu kita pelajari karena telah islam sejak
lahir dan sudah merasa cukup dengan mempelajari islam. Padahal, tidak sedikit
dari tindakan, ucapan dan kehendak hati kita yang telah membawa diri kita pada
rusaknya makna ketundukan kita kepada Allah dan rasulNya. Dan apa yang kita
pelajari tentang syahadat mungkin hanya sebatas pada makna tekstualnya saja.
Karena syahadat sebagai implementasi dari keyakinan
maka setiap orang muslim yang belum baligh harus dipersiapkan terlebih dahulu
untuk memahami syahadat yang sudah barang tentu di dalamnya juga harus mempelajari
aqidah atau unsur-unsur keimanan. Ini merupakan konsekwensi atas pemaknaan
syahadat sebagai implementasi dari keimanan aqidah seseorang.
Secara bahasa syahadat terambil dari kata syahida
yasyhadu syahadatan yang berarti bersaksi. Oleh karenanya kesaksian bahwa
tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW sebagai utusan Allah harus tetap dijaga
hingga maut menjemput kita, tidak hanya sekadar diucapkan tetapi juga
ditanamkan dalam hati, karena jika syahadat tersebut hilang dari diri kita maka
amal yang telah dilakukan selama hidup akan sia-sia. Dalam hal ini syahadat
sebagai implementasi dari aqidah atau keyakinan kita adalah menjaga keyakinan
kita bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan Allah
sepanjang hidup dan selama kita masih menghirup nafas. Syahadat yang dimaksud
bukan berupa pernyataan verbal belaka, melainkan sebuah tindakan hati yang
terus menerus mengingat Allah dengan tetap terjaganya keyakinan disertai dengan
ketundukan bahwa Allahlah Tuhan semesta alam yang telah mengatur, menjaga,
melindungi atas kehidupan kita. Ketundukan ini berupa tindakan-tindakan
amaliyah syar’iyah secara ikhlas dan konsisten yang dihiasi dengan ketakwaan
kepada Allah Swt.
Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas
semua amal perbuatan yang dilakukannya selama hidup di dunia. Ketika belum mencapai
aqil baligh maka semua tindakannya masih berada dibawah tanggung jawab orang
tuanya, dan ketika mati sebelum baligh, mereka tidak akan dimintai pertanggung
jawaban. Setelah mencapai aqil baligh maka segala konsekwensi taklif agama, segala
kewajiban dan tanggung jawab amaliyah berada pada dirinya. Maka sebagai bukti
kesiapan atas tanggung jawab amaliyahnya adalah dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat. Dan ini merupakan tanggung jawab orang tua atas anaknya untuk
memasuki agama islam secara kaffah. Namun dalam pelaksanaannya harus melalui
tahapan-tahapan yang dilakukan secara menyeluruh. Aqidah secara syara’ berarti
iman kepada Allah, para malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya,
dan kepada hari akhir serta qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut
juga sebagai Rukun Iman.
Jika kedapatan orang yang menyatakan dirinya beriman,
namun ia belum menyatakannya, maka ia termasuk ke dalam golongan orang yang
beriman namun belum menunjukkan diri bahwa ia telah tunduk kepada keimanannya.
Atau dengan kata lain secara syar’i orang tersebut telah beriman (mukmin) namun
belum islam (muslim). Demikian yang telah dilakukan oleh Abu Thalib ayah
kandung Ali bin Abi Thalib karromallahu wajhah semasa hidupnya beliau mengimani
bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah, namun secara lisan belum pernah
menyatakan keislamannya dihadapan orang lain.
Komentar